Harriet Pergi ke Ibukota

1225 Words
“Harriet…” Liam mengerjapkan matanya saat matahari sudah memanjat naik ke angkasa. Ia melihat Daniel yang terpaku terkejut melihatnya bangun. “Y-Young Lord…” Liam tidak mempedulikannya, dan melihat ke segala arah. Harriet tidak ada. Ia juga tidak bisa merasakan keberadaannya di sekitar kastil. Apakah sudah lama semenjak Harriet pergi? “Sudah berapa hari sejak Harriet berangkat ke Ibukota?” tanya Liam. Daniel mengerjap dan mengangkat alisnya tinggi-tinggi. “Madam berangkat pagi ini, saat matahari belum muncul,” jawab Daniel kemudian. Liam terkejut. Ia tidak menyangka ia bisa bangun lagi secepat ini. Tapi ia juga memang mulai merasakan bahwa tubuhnya terus kelelahan dan ia tidak bisa bergerak bebas seperti saat ia bangun saat bulan purnama. Ia ingin melihat Harriet. Apakah sudah terlambat jika mengejarnya sekarang? Mangapa ia tidak bisa bangun lebih cepat? Tanpa sadar, kekosongan di d**a Liam terasa semakin jelas, jauh lebih jelas dari biasanya. Tiba-tiba, rasa sakit yang luar biasa menyebar dari dadanya. “Ugh!” Liam memuntahkan darah ke lantai, membuat Daniel terkejut. “Young Lord!” Sakit. Rasanya sakit sekali. Liam mengutuk tubuhnya dan merasakan pandangannya kabur sekali lagi. Saat Daniel mendekat untuk memeriksanya, Liam mencengkeram lengan Daniel dan menatapnya tajam. “Jangan katakan kondisiku pada Harriet,” ucap Liam. Rasa sakit kembali menyerangnya dan ia memuntahkan lagi lebih banyak darah. “Young Lord, saya akan memanggil tabib!” Daniel akan berlari pergi, namun Liam masih menahannya. “Saat Harriet kembali…” Liam berusaha sekuat tenaga untuk mengatakannya sebelum ia kehilangan kesadaran lagi. “...jangan biarkan dia… sedih…” Dan kegelapan menyelimutinya. . Semakin lama, kastil Almandine terlihat semakin kecil. Harriet yang duduk di atas kuda merah dapat melihat ujung menara tertinggi yang kini hanya bagai segaris hitam di tengah langit biru. Sir Russel, asisten Old Duke yang mengikuti kepergian Harriet pun berkuda mendekatinya. “Madam, kita sudah keluar dari kota. Kita bisa memacu kuda kita sekarang,” ucap Sir Russel. Harriet tersenyum dan mengangguk. Mereka memacu kuda mereka menjauh. Butuh waktu lima hari berkuda untuk mencapai ibukota dari utara ke selatan dengan istirahat yang cukup. Berkat jalan lintas perdagangan yang mulus dan aman, berkuda di Benua Kekaisaran Euclase yang luas dapat ditempuh dua sampai tiga kali lebih cepat daripada di benua-benua lainnya. Ini berkat kerja keras seluruh penduduk benua yang bertekad untuk maju bersama. Dan di puncak semuanya, adalah Keluarga Euclase, Keluarga Kekaisaran yang telah berkuasa selama hampir 150 tahun sekarang. Ada alasan mengapa Harriet tunduk dan patuh sepenuhnya pada Sang Kaisar. Itu karena Kaisar adalah pria yang sangat bijaksana. Ia juga licik, perhitungan dan suka bersiasat, tapi itu semua dilakukan dengan cara yang bersih dan berdasar keadilan demi kekaisaran. Ia juga tidak suka main curang, meski sebenarnya ia bisa mencurangi semua orang dengan otak yang ia miliki. Prinsip keadilannya, kekuatan mental bajanya dan tangan besinya yang tegas berhasil mempertahankan kesatuan benua setelah menerima tahta dari pendahulunya. Kaisar Soleil III, atau yang biasa dipanggil Kaisar Axias Euclase. Setelah berkendara selama lima hari, Harriet mempersiapkan dirinya sendiri dengan menyewa kamar di hotel untuk setiap anggota rombongannya dan dirinya sendiri. Ia mandi dan membeli gaun baru yang cocok dengan high fashion ibukota terkini, lalu berangkat langsung ke istana. Untungnya, ia sampai di istana sebelum jam minum teh. Biasanya pada jam segini, Kaisar sudah mulai bersantai dari pekerjaannya yang dibantu oleh deretan manusia jenius yang mengabdi penuh untuk kekaisaran. Ia tahu persis soal ini, karena Harriet pernah menjadi salah satu dari mereka. Melewati ruang kerja Kaisar yang di jaga ketat oleh prajurit, Harriet hanya melambaikan tangannya dan para penjaga itu langsung membungkuk dan menyambutnya. Harriet membuka pintu ganda, dan saat ia masuk, para pria dan wanita di sana langsung menoleh ke arahnya dan terkejut sambil menyapanya. “Madam!” “Marchioness!” “Madam Goldlane!” “Apa kabar, semuanya?” Harriet tersenyum lembut, tapi terus berjalan menuju ke ruangan selanjutnya. “Madam, tunggu sebentar!” “Yang Mulia Kaisar sedang–” Harriet membuka pintu ganda lagi. … GROOOOK … … GROOOOOOK … … Harriet mendekati sofa. Seorang pria paruh baya berambut biru tua sedang tidur terlentang di atas sofa. Satu kaki pria itu naik ke punggung sofa, dan satu tangannya menjulur ke lantai. Dengkuran keras pria itu pasti sudah keluar ruangan kalau saja ruangan ini tidak dibangun khusus kedap suara agar tidak ada yang bisa menguping pembicaraan penting dari luar. Seorang dari luar, salah satu sekretaris Kaisar masuk ke dalam dan menghampiri Harriet. “Madam, apa anda mau minum teh?” tanya pemuda itu. Harriet mengangguk. Ia memperhatikan wajah Kaisar yang mulai penuh kerutan dan rambutnya yang mulai beruban. Pria paruh baya itu tidur seperti tidak punya kepedulian apapun pada dunia ini. Tapi jelas bahwa kantung matanya terlihat lebih parah dari biasanya. “Sudah berapa hari Yang Mulia tidak tidur?” tanya Harriet. Si sekretaris tersenyum tidak berdaya. “Kira-kira sudah tiga hari, tapi di hari-hari sebelumnya, beliau juga sulit tidur,” jawabnya. Harriet mengangguk lagi, dan pemuda itu pergi. Saat teh Harriet disajikan, ia meminumnya dengan tenang sambil menunggu Kaisar bangun. Namun, bahkan hingga matahari tenggelam di ufuk barat, Kaisar tetap tertidur pulas di tempatnya. Dan Harriet juga masih setia duduk di tempat yang sama. Para sekretaris dan pelayan sudah menyalakan liiln dan lampu minyak, dan keributan itu membuat Kaisar perlahan terbangun. Saat pria itu membuka matanya, menunjukkan iris hitam kelam yang segelap malam dan tatapan tajam yang masih agak kosong dan bingung, Harriet mengulum senyum tipis. “Yang Mulia, bagaimana tidur anda?” tanyanya dengan suara dalam dan tenang. Pria paruh baya itu mengusap air liur di pipinya dan menyipitkan matanya pada Harriet. “Aneh. Aku sudah bangun atau masih dalam mimpi? Bagaimana bisa Harri sudah datang kemari padahal baru bulan lalu aku mengirim surat padanya?” Kaisar sepertinya sudah tahu bahwa Harriet tidak akan merespon surat panggilannya dengan cepat. Harriet tersenyum tipis. Ia menaruh cangkirnya kembali ke tatakannya dan berdiri sambil melihat sekilas laporan-laporan di meja Kaisar. “Apakah anda lupa anda sudah hampir menginjak usia 53 tahun? Anda tidak sama seperti dulu, jangan memaksakan tubuh senja anda.” Kaisar mengerjap, melihat lebih jelas Harriet yang memandang keluar jendela. “Hanya Harri yang bisa mengkritik Kaisar dengan menyebutnya sudah tua… jadi kau benar-benar datang ya? Kapan? Kenapa kau tidak membangunkanku?” “Saya tiba tadi sore,” jawab Harriet. “Kira-kira saya sudah menunggu 3 jam untuk anda bangun,” lanjutnya. Pria paruh baya di sofa menguap, dan merenggangkan tubuhnya. “Ayo makan malam dulu,” ucap pria itu. Harriet menyipitkan matanya kesal. “Jangan begitu, aku sudah banyak pekerjaan belakangan ini, setidaknya biarkan aku makan malam. Temani aku, ini perintah Kaisar,” ucapnya. Harriet menghela napas. Keduanya pun pergi ke ruang makan berdampingan. “Bagaimana kabarmu?” tanya Kaisar. “Saya sehat walafiat,” jawab Harriet. “Adikmu?” Kaisar bertanya lagi. Dan Harriet mengerutkan alisnya. “Berkat anda, dia sekarang sudah baik-baik saja,” jawabnya sinis. “Dan bagaimana dengan suami barumu?” Harriet terdiam. Tentu saja Kaisar akan membahas ini. “Bagaimana bisa kau menikah tanpa ijinku, Harriet Goldlane?” Harriet menyipitkan mata pada tatapan mata hitam dan mengerikan itu. Axias Euclase, Kaisar Ketiga Benua Kekaisaran Euclase, atau yang berjuluk Ksatria Naga Biru yang menguasai Langit Fajar. Kaisar terbaik dan paling dicintai oleh rakyatnya, dan pria yang menjadikan Harriet tangan kanannya. “Apalagi dengan Keluarga Monster itu, Almandine?” tanya pria itu tajam. “Apa kau sudah kehilangan akal sehatmu?” . . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD