Labeldo - 12

4120 Words
Dua hari kemudian, Sakugo tersadarkan dari pingsannya, atau bisa disebut juga sebagai fase tidur nyenyaknya yang panjang. Setelah mata dan kesadarannya telah pulih seratus persen, dia bertanya-tanya mengapa dirinya merasa sangat lemas dan lapar dari biasanya, Karlia yang duduk di dekat ranjangnya, berkata dan menjelaskan pada kejadian yang sebelumnya menimpa anak itu, dengan suara yang pelan dan lembut, ia juga menasehati dan memperingati Sakugo untuk menjaga kesehatannya dan tidak malu untuk meminta bantuan jika dirinya sedang dalam kesulitan. Karlia juga mengatakan bahwa untuk sementara, Sakugo tidak bisa berlatih lagi dengannya, karena dia merasa anak itu masih belum cukup siap untuk memulai sebuah latihan berat. Namun, Sakugo marah mendengarnya, dan tidak terima jika dirinya tidak diperbolehkan untuk berlatih, padahal sesi peresmian labeldo tinggal beberapa hari lagi. Sakugo benar-benar kecewa pada keputusan Karlia, sementara Karlia hanya bisa pasrah dan tentu tidak mengubah pikirannya. Saat Karlia meninggalkan kamarnya dengan membiarkan Sakugo sendirian dengan pikirannya, ia sebenarnya tidak tega melihat Sakugo yang merasa sangat kecewa pada keputusannya. Karlia sadar, itu adalah hal yang paling mengecewakan bagi Sakugo mendengar gurunya berkata bahwa ia tidak lagi diperbolehkan untuk memulai latihan, tapi Karlia tidak punya pilihan lain. Karlia juga sebenarnya tidak ingin memutuskan hal itu sebab tinggal beberapa hari lagi sampai ujian masuk labeldo dimulai, tapi dia juga tidak ingin memberatkan Sakugo yang masih belum siap untuk berlatih, dia harus membiarkan Sakugo beristirahat sebanyak mungkin atau kemungkinan paling buruknya, dia harus membatalkan rencananya yang hendak menjadikan Sakugo menjadi seorang labeldo, meski itu adalah pilihan terakhirnya, tapi dia berharap dia tidak perlu mengambil keputusan itu karena itu artinya selama ini dia buang-buang waktu menemui dan mengajari berbagai hal seputar dunia labeldo pada Sakugo. Untuk menyegarkan pikirannya, Karlia mengambil es krim di lemari esnya dan menyantapnya di ruang tengah sembari duduk santai di sofa, menyaksikan acara televisi. Sementara Sakugo, yang kini sedang duduk sendirian di kamarnya, tengah merenung dalam diam, pikirannya sedang tenggelam di hal-hal yang berat, sampai dia nyaris menuju ke masalah kecemasan dan kepanikan. Sakugo benar-benar kaget dan terkejut saat Karlia tiba-tiba saja memutuskan untuk tidak lagi memperbolehkan atau mengizinkan Sakugo untuk berlatih, dia benar-benar tidak pernah menduga bahwa Karlia akan mengatakan hal seperti itu. Padahal sebelumnya, Karlia sangat bersemangat bahkan terkesan memaksa untuk menjadikan Sakugo menjadi seorang labeldo sejati. Tapi mengapa semuanya jadi berubah secara cepat begini? Apa yang salah? Apa penyebabnya hingga Karlia jadi demikian? Apakah ini karena kondisinya yang masih rapuh? Itu bisa saja. Sakugo jadi menyesalkan pada dirinya sendiri atau lebih tepatnya, pada tubuhnya sendiri, karena sangat lemah dan rapuh, dan tidak mampu bertahan lebih lama di sesi latihan pertama dengan Karlia. Sakugo sekali bahwa dirinya mampu menjadi seorang labeldo yang sangat tangguh dan kuat, tapi jika semuanya jadi seperti ini, keyakinannya jadi runtuh dan mungkin bisa saja ia jadi merasa rendah diri dan tidak lagi menganggap dirinya mampu menjadi seorang labeldo. Sakugo sangat tertekan dan terpukul, dia tidak ingin jadi berakhir seperti ini, seharusnya tidak seperti ini. Pasti ada yang salah, atau mungkin dia harus memperbaiki dirinya sendiri agar dia bisa dikatakan layak untuk memulai latihan berat dengan Karlia. Intinya, dia harus membuktikan pada Karlia bahwa dirinya adalah orang yang kuat dan tidak akan pernah ambruk lagi untuk yang kedua kalinya. Tapi, untuk bisa mewujudkan hal itu, dia harus membujuk Karlia terlebih dahulu untuk memulai kembali latihannya seperti sebelumnya. Akhirnya, Sakugo memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan menghampiri Karlia yang sedang santai menyantap es krim dingin di sofa sembari menonton televisi. Melihat kedatangan Sakugo dengan wajah sedingin es membuat Karlia agak terkejut, ia pun bertanya perihal kondisi Sakugo, dan dengan intonasi sedingin es, Sakugo menjelaskan bahwa dia sudah pulih seratus persen dan siap untuk kembali memulai latihan dengannya. Pada saat itulah, Karlia terkejut dan menentang permintaan Sakugo karena dia masih merasa anak itu belum begitu siap untuk memulai latihan berat, tapi Sakugo menegaskan dengan keras bahwa dia sudah seratus persen pulih dan ingin membuktikan bahwa omongannya bukanlah omongan semata. Namun, Karlia juga sama keras kepalanya, dan tetap menolak permintaan Sakugo, akhirnya terjadilah pertengkaran besar di antara mereka di rumah itu, Sakugo maupun Karlia saling membenturkan perkataan-perkataan kasar dan sangat kejam, bahkan mereka jadi terkesan saling merendahkan dan saling membenci, sampai akhirnya Sakugo kembali masuk ke dalam kamar dan membenturkan pintu dengan suara yang sangat kencang. Sementara Karlia kembali duduk di sofanya dengan melipat tangannya, ia bahkan sampai terengah-engah saat selesai bertengkar dengan anak itu. Karlia tidak pernah menyangka Sakugo akan memaksa begitu untuk memulai latihan, padahal dia kira anak itu akan mematuhi omongannya, sungguh, memikirkan itu semua membuatnya kepalanya jadi pusing. Karlia bingung dan tidak tahu lagi harus berbuat apa pada anak itu. Namun di sisi lain, Karlia juga bisa memahami perasaan Sakugo yang kesal dan kecewa pada keputusan ini, dia pasti merasa seperti direndahkan dan tidak dipercayai lagi olehku sehingga dia jadi meledak dan bersikap kasar pada gurunya sendiri. Mungkin jika Karlia berada di posisi Sakugo, dia juga akan bertindak sama seperti anak itu. Namun, Karlia juga tidak bisa mengambil dari satu sisi saja, sebab di sisi lainnya lagi, dalam sudut pandang seorang guru ke murid, dia tidak bisa membiarkan muridnya terluka untuk yang kedua kalinya lagi, itulah kenapa dia mengambil keputusan ini, semata-mata untuk kebaikan muridnya sendiri, dia tidak ingin Sakugo jatuh pingsan lagi dan mungkin akan lebih parah dari sebelumnya. Karlia tidak ingin itu sampai terjadi sebab itulah dia bersikeras menentang permintaan Sakugo yang ingin kembali memulai latihan. Dia hanya ingin Sakugo sehat dan bisa beraktivitas secara normal lagi. Sama seperti harapan ibu pada anaknya, seperti ulah intinya. Sayangnya, Sakugo tampaknya masih belum memahami penyebab inti dari keputusan yang diambil oleh Karlia, dan menyimpulkan secara sembrono bahwa keputusan Karlia adalah bukti bahwa gurunya merendahkannya atau tidak lagi mempercayainya, padahal Karlia sama sekali tidak berpikiran seperti itu. Kesalahpahaman di antara mereka jadi semakin besar tiap harinya, sampai akhirnya mereka sama sekali tidak berbicara satu sama lain meski tinggal satu rumah dan satu atap. Sakugo dan Karlia sebenarnya ingin mengembalikan keadaan rumah normal kembali, tapi mereka masih membela egonya masing-masing dan sama-sama keras kepala sehingga keheningan masih menjadi musik favorit di  sela-sela kegiatan mereka setiap harinya di rumah. Tidak ada obrolan, tidak ada canda tawa, tidak ada kebersamaan. Mereka seperti orang asing yang kebetulan tinggal di rumah yang sama, sangat menyedihkan. Dua hari kemudian, Sakugo tersadarkan dari pingsannya, atau bisa disebut juga sebagai fase tidur nyenyaknya yang panjang. Setelah mata dan kesadarannya telah pulih seratus persen, dia bertanya-tanya mengapa dirinya merasa sangat lemas dan lapar dari biasanya, Karlia yang duduk di dekat ranjangnya, berkata dan menjelaskan pada kejadian yang sebelumnya menimpa anak itu, dengan suara yang pelan dan lembut, ia juga menasehati dan memperingati Sakugo untuk menjaga kesehatannya dan tidak malu untuk meminta bantuan jika dirinya sedang dalam kesulitan. Karlia juga mengatakan bahwa untuk sementara, Sakugo tidak bisa berlatih lagi dengannya, karena dia merasa anak itu masih belum cukup siap untuk memulai sebuah latihan berat. Namun, Sakugo marah mendengarnya, dan tidak terima jika dirinya tidak diperbolehkan untuk berlatih, padahal sesi peresmian labeldo tinggal beberapa hari lagi. Sakugo benar-benar kecewa pada keputusan Karlia, sementara Karlia hanya bisa pasrah dan tentu tidak mengubah pikirannya. Saat Karlia meninggalkan kamarnya dengan membiarkan Sakugo sendirian dengan pikirannya, ia sebenarnya tidak tega melihat Sakugo yang merasa sangat kecewa pada keputusannya. Karlia sadar, itu adalah hal yang paling mengecewakan bagi Sakugo mendengar gurunya berkata bahwa ia tidak lagi diperbolehkan untuk memulai latihan, tapi Karlia tidak punya pilihan lain. Karlia juga sebenarnya tidak ingin memutuskan hal itu sebab tinggal beberapa hari lagi sampai ujian masuk labeldo dimulai, tapi dia juga tidak ingin memberatkan Sakugo yang masih belum siap untuk berlatih, dia harus membiarkan Sakugo beristirahat sebanyak mungkin atau kemungkinan paling buruknya, dia harus membatalkan rencananya yang hendak menjadikan Sakugo menjadi seorang labeldo, meski itu adalah pilihan terakhirnya, tapi dia berharap dia tidak perlu mengambil keputusan itu karena itu artinya selama ini dia buang-buang waktu menemui dan mengajari berbagai hal seputar dunia labeldo pada Sakugo. Untuk menyegarkan pikirannya, Karlia mengambil es krim di lemari esnya dan menyantapnya di ruang tengah sembari duduk santai di sofa, menyaksikan acara televisi. Sementara Sakugo, yang kini sedang duduk sendirian di kamarnya, tengah merenung dalam diam, pikirannya sedang tenggelam di hal-hal yang berat, sampai dia nyaris menuju ke masalah kecemasan dan kepanikan. Sakugo benar-benar kaget dan terkejut saat Karlia tiba-tiba saja memutuskan untuk tidak lagi memperbolehkan atau mengizinkan Sakugo untuk berlatih, dia benar-benar tidak pernah menduga bahwa Karlia akan mengatakan hal seperti itu. Padahal sebelumnya, Karlia sangat bersemangat bahkan terkesan memaksa untuk menjadikan Sakugo menjadi seorang labeldo sejati. Tapi mengapa semuanya jadi berubah secara cepat begini? Apa yang salah? Apa penyebabnya hingga Karlia jadi demikian? Apakah ini karena kondisinya yang masih rapuh? Itu bisa saja. Sakugo jadi menyesalkan pada dirinya sendiri atau lebih tepatnya, pada tubuhnya sendiri, karena sangat lemah dan rapuh, dan tidak mampu bertahan lebih lama di sesi latihan pertama dengan Karlia. Sakugo sekali bahwa dirinya mampu menjadi seorang labeldo yang sangat tangguh dan kuat, tapi jika semuanya jadi seperti ini, keyakinannya jadi runtuh dan mungkin bisa saja ia jadi merasa rendah diri dan tidak lagi menganggap dirinya mampu menjadi seorang labeldo. Sakugo sangat tertekan dan terpukul, dia tidak ingin jadi berakhir seperti ini, seharusnya tidak seperti ini. Pasti ada yang salah, atau mungkin dia harus memperbaiki dirinya sendiri agar dia bisa dikatakan layak untuk memulai latihan berat dengan Karlia. Intinya, dia harus membuktikan pada Karlia bahwa dirinya adalah orang yang kuat dan tidak akan pernah ambruk lagi untuk yang kedua kalinya. Tapi, untuk bisa mewujudkan hal itu, dia harus membujuk Karlia terlebih dahulu untuk memulai kembali latihannya seperti sebelumnya. Akhirnya, Sakugo memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan menghampiri Karlia yang sedang santai menyantap es krim dingin di sofa sembari menonton televisi. Melihat kedatangan Sakugo dengan wajah sedingin es membuat Karlia agak terkejut, ia pun bertanya perihal kondisi Sakugo, dan dengan intonasi sedingin es, Sakugo menjelaskan bahwa dia sudah pulih seratus persen dan siap untuk kembali memulai latihan dengannya. Pada saat itulah, Karlia terkejut dan menentang permintaan Sakugo karena dia masih merasa anak itu belum begitu siap untuk memulai latihan berat, tapi Sakugo menegaskan dengan keras bahwa dia sudah seratus persen pulih dan ingin membuktikan bahwa omongannya bukanlah omongan semata. Namun, Karlia juga sama keras kepalanya, dan tetap menolak permintaan Sakugo, akhirnya terjadilah pertengkaran besar di antara mereka di rumah itu, Sakugo maupun Karlia saling membenturkan perkataan-perkataan kasar dan sangat kejam, bahkan mereka jadi terkesan saling merendahkan dan saling membenci, sampai akhirnya Sakugo kembali masuk ke dalam kamar dan membenturkan pintu dengan suara yang sangat kencang. Sementara Karlia kembali duduk di sofanya dengan melipat tangannya, ia bahkan sampai terengah-engah saat selesai bertengkar dengan anak itu. Karlia tidak pernah menyangka Sakugo akan memaksa begitu untuk memulai latihan, padahal dia kira anak itu akan mematuhi omongannya, sungguh, memikirkan itu semua membuatnya kepalanya jadi pusing. Karlia bingung dan tidak tahu lagi harus berbuat apa pada anak itu. Namun di sisi lain, Karlia juga bisa memahami perasaan Sakugo yang kesal dan kecewa pada keputusan ini, dia pasti merasa seperti direndahkan dan tidak dipercayai lagi olehku sehingga dia jadi meledak dan bersikap kasar pada gurunya sendiri. Mungkin jika Karlia berada di posisi Sakugo, dia juga akan bertindak sama seperti anak itu. Namun, Karlia juga tidak bisa mengambil dari satu sisi saja, sebab di sisi lainnya lagi, dalam sudut pandang seorang guru ke murid, dia tidak bisa membiarkan muridnya terluka untuk yang kedua kalinya lagi, itulah kenapa dia mengambil keputusan ini, semata-mata untuk kebaikan muridnya sendiri, dia tidak ingin Sakugo jatuh pingsan lagi dan mungkin akan lebih parah dari sebelumnya. Karlia tidak ingin itu sampai terjadi sebab itulah dia bersikeras menentang permintaan Sakugo yang ingin kembali memulai latihan. Dia hanya ingin Sakugo sehat dan bisa beraktivitas secara normal lagi. Sama seperti harapan ibu pada anaknya, seperti ulah intinya. Sayangnya, Sakugo tampaknya masih belum memahami penyebab inti dari keputusan yang diambil oleh Karlia, dan menyimpulkan secara sembrono bahwa keputusan Karlia adalah bukti bahwa gurunya merendahkannya atau tidak lagi mempercayainya, padahal Karlia sama sekali tidak berpikiran seperti itu. Kesalahpahaman di antara mereka jadi semakin besar tiap harinya, sampai akhirnya mereka sama sekali tidak berbicara satu sama lain meski tinggal satu rumah dan satu atap. Sakugo dan Karlia sebenarnya ingin mengembalikan keadaan rumah normal kembali, tapi mereka masih membela egonya masing-masing dan sama-sama keras kepala sehingga keheningan masih menjadi musik favorit di  sela-sela kegiatan mereka setiap harinya di rumah. Tidak ada obrolan, tidak ada canda tawa, tidak ada kebersamaan. Mereka seperti orang asing yang kebetulan tinggal di rumah yang sama, sangat menyedihkan. Dua hari kemudian, Sakugo tersadarkan dari pingsannya, atau bisa disebut juga sebagai fase tidur nyenyaknya yang panjang. Setelah mata dan kesadarannya telah pulih seratus persen, dia bertanya-tanya mengapa dirinya merasa sangat lemas dan lapar dari biasanya, Karlia yang duduk di dekat ranjangnya, berkata dan menjelaskan pada kejadian yang sebelumnya menimpa anak itu, dengan suara yang pelan dan lembut, ia juga menasehati dan memperingati Sakugo untuk menjaga kesehatannya dan tidak malu untuk meminta bantuan jika dirinya sedang dalam kesulitan. Karlia juga mengatakan bahwa untuk sementara, Sakugo tidak bisa berlatih lagi dengannya, karena dia merasa anak itu masih belum cukup siap untuk memulai sebuah latihan berat. Namun, Sakugo marah mendengarnya, dan tidak terima jika dirinya tidak diperbolehkan untuk berlatih, padahal sesi peresmian labeldo tinggal beberapa hari lagi. Sakugo benar-benar kecewa pada keputusan Karlia, sementara Karlia hanya bisa pasrah dan tentu tidak mengubah pikirannya. Saat Karlia meninggalkan kamarnya dengan membiarkan Sakugo sendirian dengan pikirannya, ia sebenarnya tidak tega melihat Sakugo yang merasa sangat kecewa pada keputusannya. Karlia sadar, itu adalah hal yang paling mengecewakan bagi Sakugo mendengar gurunya berkata bahwa ia tidak lagi diperbolehkan untuk memulai latihan, tapi Karlia tidak punya pilihan lain. Karlia juga sebenarnya tidak ingin memutuskan hal itu sebab tinggal beberapa hari lagi sampai ujian masuk labeldo dimulai, tapi dia juga tidak ingin memberatkan Sakugo yang masih belum siap untuk berlatih, dia harus membiarkan Sakugo beristirahat sebanyak mungkin atau kemungkinan paling buruknya, dia harus membatalkan rencananya yang hendak menjadikan Sakugo menjadi seorang labeldo, meski itu adalah pilihan terakhirnya, tapi dia berharap dia tidak perlu mengambil keputusan itu karena itu artinya selama ini dia buang-buang waktu menemui dan mengajari berbagai hal seputar dunia labeldo pada Sakugo. Untuk menyegarkan pikirannya, Karlia mengambil es krim di lemari esnya dan menyantapnya di ruang tengah sembari duduk santai di sofa, menyaksikan acara televisi. Sementara Sakugo, yang kini sedang duduk sendirian di kamarnya, tengah merenung dalam diam, pikirannya sedang tenggelam di hal-hal yang berat, sampai dia nyaris menuju ke masalah kecemasan dan kepanikan. Sakugo benar-benar kaget dan terkejut saat Karlia tiba-tiba saja memutuskan untuk tidak lagi memperbolehkan atau mengizinkan Sakugo untuk berlatih, dia benar-benar tidak pernah menduga bahwa Karlia akan mengatakan hal seperti itu. Padahal sebelumnya, Karlia sangat bersemangat bahkan terkesan memaksa untuk menjadikan Sakugo menjadi seorang labeldo sejati. Tapi mengapa semuanya jadi berubah secara cepat begini? Apa yang salah? Apa penyebabnya hingga Karlia jadi demikian? Apakah ini karena kondisinya yang masih rapuh? Itu bisa saja. Sakugo jadi menyesalkan pada dirinya sendiri atau lebih tepatnya, pada tubuhnya sendiri, karena sangat lemah dan rapuh, dan tidak mampu bertahan lebih lama di sesi latihan pertama dengan Karlia. Sakugo sekali bahwa dirinya mampu menjadi seorang labeldo yang sangat tangguh dan kuat, tapi jika semuanya jadi seperti ini, keyakinannya jadi runtuh dan mungkin bisa saja ia jadi merasa rendah diri dan tidak lagi menganggap dirinya mampu menjadi seorang labeldo. Sakugo sangat tertekan dan terpukul, dia tidak ingin jadi berakhir seperti ini, seharusnya tidak seperti ini. Pasti ada yang salah, atau mungkin dia harus memperbaiki dirinya sendiri agar dia bisa dikatakan layak untuk memulai latihan berat dengan Karlia. Intinya, dia harus membuktikan pada Karlia bahwa dirinya adalah orang yang kuat dan tidak akan pernah ambruk lagi untuk yang kedua kalinya. Tapi, untuk bisa mewujudkan hal itu, dia harus membujuk Karlia terlebih dahulu untuk memulai kembali latihannya seperti sebelumnya. Akhirnya, Sakugo memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan menghampiri Karlia yang sedang santai menyantap es krim dingin di sofa sembari menonton televisi. Melihat kedatangan Sakugo dengan wajah sedingin es membuat Karlia agak terkejut, ia pun bertanya perihal kondisi Sakugo, dan dengan intonasi sedingin es, Sakugo menjelaskan bahwa dia sudah pulih seratus persen dan siap untuk kembali memulai latihan dengannya. Pada saat itulah, Karlia terkejut dan menentang permintaan Sakugo karena dia masih merasa anak itu belum begitu siap untuk memulai latihan berat, tapi Sakugo menegaskan dengan keras bahwa dia sudah seratus persen pulih dan ingin membuktikan bahwa omongannya bukanlah omongan semata. Namun, Karlia juga sama keras kepalanya, dan tetap menolak permintaan Sakugo, akhirnya terjadilah pertengkaran besar di antara mereka di rumah itu, Sakugo maupun Karlia saling membenturkan perkataan-perkataan kasar dan sangat kejam, bahkan mereka jadi terkesan saling merendahkan dan saling membenci, sampai akhirnya Sakugo kembali masuk ke dalam kamar dan membenturkan pintu dengan suara yang sangat kencang. Sementara Karlia kembali duduk di sofanya dengan melipat tangannya, ia bahkan sampai terengah-engah saat selesai bertengkar dengan anak itu. Karlia tidak pernah menyangka Sakugo akan memaksa begitu untuk memulai latihan, padahal dia kira anak itu akan mematuhi omongannya, sungguh, memikirkan itu semua membuatnya kepalanya jadi pusing. Karlia bingung dan tidak tahu lagi harus berbuat apa pada anak itu. Namun di sisi lain, Karlia juga bisa memahami perasaan Sakugo yang kesal dan kecewa pada keputusan ini, dia pasti merasa seperti direndahkan dan tidak dipercayai lagi olehku sehingga dia jadi meledak dan bersikap kasar pada gurunya sendiri. Mungkin jika Karlia berada di posisi Sakugo, dia juga akan bertindak sama seperti anak itu. Namun, Karlia juga tidak bisa mengambil dari satu sisi saja, sebab di sisi lainnya lagi, dalam sudut pandang seorang guru ke murid, dia tidak bisa membiarkan muridnya terluka untuk yang kedua kalinya lagi, itulah kenapa dia mengambil keputusan ini, semata-mata untuk kebaikan muridnya sendiri, dia tidak ingin Sakugo jatuh pingsan lagi dan mungkin akan lebih parah dari sebelumnya. Karlia tidak ingin itu sampai terjadi sebab itulah dia bersikeras menentang permintaan Sakugo yang ingin kembali memulai latihan. Dia hanya ingin Sakugo sehat dan bisa beraktivitas secara normal lagi. Sama seperti harapan ibu pada anaknya, seperti ulah intinya. Sayangnya, Sakugo tampaknya masih belum memahami penyebab inti dari keputusan yang diambil oleh Karlia, dan menyimpulkan secara sembrono bahwa keputusan Karlia adalah bukti bahwa gurunya merendahkannya atau tidak lagi mempercayainya, padahal Karlia sama sekali tidak berpikiran seperti itu. Kesalahpahaman di antara mereka jadi semakin besar tiap harinya, sampai akhirnya mereka sama sekali tidak berbicara satu sama lain meski tinggal satu rumah dan satu atap. Sakugo dan Karlia sebenarnya ingin mengembalikan keadaan rumah normal kembali, tapi mereka masih membela egonya masing-masing dan sama-sama keras kepala sehingga keheningan masih menjadi musik favorit di  sela-sela kegiatan mereka setiap harinya di rumah. Tidak ada obrolan, tidak ada canda tawa, tidak ada kebersamaan. Mereka seperti orang asing yang kebetulan tinggal di rumah yang sama, sangat menyedihkan. Dua hari kemudian, Sakugo tersadarkan dari pingsannya, atau bisa disebut juga sebagai fase tidur nyenyaknya yang panjang. Setelah mata dan kesadarannya telah pulih seratus persen, dia bertanya-tanya mengapa dirinya merasa sangat lemas dan lapar dari biasanya, Karlia yang duduk di dekat ranjangnya, berkata dan menjelaskan pada kejadian yang sebelumnya menimpa anak itu, dengan suara yang pelan dan lembut, ia juga menasehati dan memperingati Sakugo untuk menjaga kesehatannya dan tidak malu untuk meminta bantuan jika dirinya sedang dalam kesulitan. Karlia juga mengatakan bahwa untuk sementara, Sakugo tidak bisa berlatih lagi dengannya, karena dia merasa anak itu masih belum cukup siap untuk memulai sebuah latihan berat. Namun, Sakugo marah mendengarnya, dan tidak terima jika dirinya tidak diperbolehkan untuk berlatih, padahal sesi peresmian labeldo tinggal beberapa hari lagi. Sakugo benar-benar kecewa pada keputusan Karlia, sementara Karlia hanya bisa pasrah dan tentu tidak mengubah pikirannya. Saat Karlia meninggalkan kamarnya dengan membiarkan Sakugo sendirian dengan pikirannya, ia sebenarnya tidak tega melihat Sakugo yang merasa sangat kecewa pada keputusannya. Karlia sadar, itu adalah hal yang paling mengecewakan bagi Sakugo mendengar gurunya berkata bahwa ia tidak lagi diperbolehkan untuk memulai latihan, tapi Karlia tidak punya pilihan lain. Karlia juga sebenarnya tidak ingin memutuskan hal itu sebab tinggal beberapa hari lagi sampai ujian masuk labeldo dimulai, tapi dia juga tidak ingin memberatkan Sakugo yang masih belum siap untuk berlatih, dia harus membiarkan Sakugo beristirahat sebanyak mungkin atau kemungkinan paling buruknya, dia harus membatalkan rencananya yang hendak menjadikan Sakugo menjadi seorang labeldo, meski itu adalah pilihan terakhirnya, tapi dia berharap dia tidak perlu mengambil keputusan itu karena itu artinya selama ini dia buang-buang waktu menemui dan mengajari berbagai hal seputar dunia labeldo pada Sakugo. Untuk menyegarkan pikirannya, Karlia mengambil es krim di lemari esnya dan menyantapnya di ruang tengah sembari duduk santai di sofa, menyaksikan acara televisi. Sementara Sakugo, yang kini sedang duduk sendirian di kamarnya, tengah merenung dalam diam, pikirannya sedang tenggelam di hal-hal yang berat, sampai dia nyaris menuju ke masalah kecemasan dan kepanikan. Sakugo benar-benar kaget dan terkejut saat Karlia tiba-tiba saja memutuskan untuk tidak lagi memperbolehkan atau mengizinkan Sakugo untuk berlatih, dia benar-benar tidak pernah menduga bahwa Karlia akan mengatakan hal seperti itu. Padahal sebelumnya, Karlia sangat bersemangat bahkan terkesan memaksa untuk menjadikan Sakugo menjadi seorang labeldo sejati. Tapi mengapa semuanya jadi berubah secara cepat begini? Apa yang salah? Apa penyebabnya hingga Karlia jadi demikian? Apakah ini karena kondisinya yang masih rapuh? Itu bisa saja. Sakugo jadi menyesalkan pada dirinya sendiri atau lebih tepatnya, pada tubuhnya sendiri, karena sangat lemah dan rapuh, dan tidak mampu bertahan lebih lama di sesi latihan pertama dengan Karlia. Sakugo sekali bahwa dirinya mampu menjadi seorang labeldo yang sangat tangguh dan kuat, tapi jika semuanya jadi seperti ini, keyakinannya jadi runtuh dan mungkin bisa saja ia jadi merasa rendah diri dan tidak lagi menganggap dirinya mampu menjadi seorang labeldo. Sakugo sangat tertekan dan terpukul, dia tidak ingin jadi berakhir seperti ini, seharusnya tidak seperti ini. Pasti ada yang salah, atau mungkin dia harus memperbaiki dirinya sendiri agar dia bisa dikatakan layak untuk memulai latihan berat dengan Karlia. Intinya, dia harus membuktikan pada Karlia bahwa dirinya adalah orang yang kuat dan tidak akan pernah ambruk lagi untuk yang kedua kalinya. Tapi, untuk bisa mewujudkan hal itu, dia harus membujuk Karlia terlebih dahulu untuk memulai kembali latihannya seperti sebelumnya. Akhirnya, Sakugo memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan menghampiri Karlia yang sedang santai menyantap es krim dingin di sofa sembari menonton televisi. Melihat kedatangan Sakugo dengan wajah sedingin es membuat Karlia agak terkejut, ia pun bertanya perihal kondisi Sakugo, dan dengan intonasi sedingin es, Sakugo menjelaskan bahwa dia sudah pulih seratus persen dan siap untuk kembali memulai latihan dengannya. Pada saat itulah, Karlia terkejut dan menentang permintaan Sakugo karena dia masih merasa anak itu belum begitu siap untuk memulai latihan berat, tapi Sakugo menegaskan dengan keras bahwa dia sudah seratus persen pulih dan ingin membuktikan bahwa omongannya bukanlah omongan semata. Namun, Karlia juga sama keras kepalanya, dan tetap menolak permintaan Sakugo, akhirnya terjadilah pertengkaran besar di antara mereka di rumah itu, Sakugo maupun Karlia saling membenturkan perkataan-perkataan kasar dan sangat kejam, bahkan mereka jadi terkesan saling merendahkan dan saling membenci, sampai akhirnya Sakugo kembali masuk ke dalam kamar dan membenturkan pintu dengan suara yang sangat kencang. Sementara Karlia kembali duduk di sofanya dengan melipat tangannya, ia bahkan sampai terengah-engah saat selesai bertengkar dengan anak itu. Karlia tidak pernah menyangka Sakugo akan memaksa begitu untuk memulai latihan, padahal dia kira anak itu akan mematuhi omongannya, sungguh, memikirkan itu semua membuatnya kepalanya jadi pusing. Karlia bingung dan tidak tahu lagi harus berbuat apa pada anak itu. Namun di sisi lain, Karlia juga bisa memahami perasaan Sakugo yang kesal dan kecewa pada keputusan ini, dia pasti merasa seperti direndahkan dan tidak dipercayai lagi olehku sehingga dia jadi meledak dan bersikap kasar pada gurunya sendiri. Mungkin jika Karlia berada di posisi Sakugo, dia juga akan bertindak sama seperti anak itu. Namun, Karlia juga tidak bisa mengambil dari satu sisi saja, sebab di sisi lainnya lagi, dalam sudut pandang seorang guru ke murid, dia tidak bisa membiarkan muridnya terluka untuk yang kedua kalinya lagi, itulah kenapa dia mengambil keputusan ini, semata-mata untuk kebaikan muridnya sendiri, dia tidak ingin Sakugo jatuh pingsan lagi dan mungkin akan lebih parah dari sebelumnya. Karlia tidak ingin itu sampai terjadi sebab itulah dia bersikeras menentang permintaan Sakugo yang ingin kembali memulai latihan. Dia hanya ingin Sakugo sehat dan bisa beraktivitas secara normal lagi. Sama seperti harapan ibu pada anaknya, seperti ulah intinya. Sayangnya, Sakugo tampaknya masih belum memahami penyebab inti dari keputusan yang diambil oleh Karlia, dan menyimpulkan secara sembrono bahwa keputusan Karlia adalah bukti bahwa gurunya merendahkannya atau tidak lagi mempercayainya, padahal Karlia sama sekali tidak berpikiran seperti itu. Kesalahpahaman di antara mereka jadi semakin besar tiap harinya, sampai akhirnya mereka sama sekali tidak berbicara satu sama lain meski tinggal satu rumah dan satu atap. Sakugo dan Karlia sebenarnya ingin mengembalikan keadaan rumah normal kembali, tapi mereka masih membela egonya masing-masing dan sama-sama keras kepala sehingga keheningan masih menjadi musik favorit di  sela-sela kegiatan mereka setiap harinya di rumah. Tidak ada obrolan, tidak ada canda tawa, tidak ada kebersamaan. Mereka seperti orang asing yang kebetulan tinggal di rumah yang sama, sangat menyedihkan.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD