Kala itu...

1456 Words
Pemuda dua puluh tiga tahun itu berusaha mengingat hari terakhir dimana ia merasakan arti sebuah keluarga yang lengkap. Flashback On Sayang... sayang si patokaan sayang... matego tego gorokan sayang. Nyanyian riang dengan teriakan anak-anak sebagai pengisi suaranya. Begitulah Hasa melalui harinya yang tenang, bersama Ina, Ama dan si kecil Mina. "Hasa... Hasa.., barmain saja kau, tolong bantu Ina' jaga adik kau!" teriak Alice, ibu Hasa dan Mina. Saat itu Hasa masih berusia delapan tahun. Ia tergolong anak yang riang serta memiliki banyak kawan dan tadi itu ia sedang bermain dengan teman sejawatnya. Sedang Mina adalah gadis mungil nan manja dengan usia balitanya. Nampak wajah sang ibu yang sedikit tersenyum, begitu bersyukur memiliki kedua anak yang sehat juga riang. Sebuah senyuman terakhir dari Alice yang selalu terkenang di dalam sanubari pemuda itu. Senyum yang kala itu begitu melegakan jiwanya. Tapi sekarang saat ia kembali membuka memorinya, hanya akan membuat hatinya semakin bernas. Ama' mereka adalah Datu. Lelaki yang gagah dengan segala jerih payahnya menjadi petani di ladang orang. Biasanya saat musim panen mereka akan mendapatkan hasil bumi tersebut sebagai upah hasil kerja keras, Datu. "Ina' ingin ke ladang dulu kasih makan ke Ama' kalian," titah Alice lembut. "Nya'ku ikut Ina'!" pinta si kecil Mina, matanya memelas seolah tak rela terpisah. "Jangan Nak, kau tahukan ladang dou' dari sini. Kau sama kakakmu saja. Hasa tolong jaga adik kau, Nak. Ina' akan cepat kembali," titah Alice yang sudah berdiri membawa bakul berisi hantaran makan siang untuk Datu. "Tolong.., tolong.., tolong. Ada longsor, tanah longsor!!" pekik para warga Ibunya segera berlari kembali ke dalam rumah. Tujuannya adalah memperingati bencana itu ke kedua anaknya. Alice tahu dimana longsor yang dimaksud para warga. Pastinya tempat bekerja Datu yang memang tanahnya sedikit curam. "Hasa.., tolong jaga Mina. Jangan biarkan ia pergi jauh darimu. Ina' ingin menyusul Ama' kalian," ucap Alice terburu-buru. Setelahnya ia langsung memasukkan tubuh kedua anaknya ke dalam lemari kaca. Hanya benda itu yang mereka miliki di gubuk tua tempat mereka merebahkan lelah dan lemari itu terlihat cukup kokoh untuk mereka bersembunyi. Alice cukup yakin lemari itu kuat jika seandainya longsor sampai ke daerah rumahnya, memang cuaca sedang tidak baik saat itu. Hujan deras selalu membuat cemas para warga yang mendirikan bangunan rumahnya di dekat tebing. Sang ibu segera berlari, wanita itu kalut. Antara menolong suami tercintanya atau tetap bersama anak terkasihnya. Tapi Alice cukup yakin longsor tak akan sampai Ke rumahnya. Alice benar. Longsor memang tak sampai Ke rumahnya. Tapi sayangnya akibat longsor itu merusakkan tanggul yang alirannya mengalir begitu deras. Memporak-porandakan apa saja yang dilalui air bah tersebut, tak terkecuali rumah Mina dan Hasa yang hanya dibuat dari anyaman bambu sederhana. "Tole… Mina takut," desis gadis kecil itu menyuarakan isi hatinya, Hasa hanya memeluk Mina erat, dalam hati ia juga takut apalagi suara air semakin terdengar jelas. Tapi Hasa tak bisa pergi dari sana, ia ingat nasihat Ina'nya untuk tetap di sini menjaga Mina. Brruugghh.., Bbrrugghh..kllotak... klotak! Secara naluri kedua kakak adik itu semakin mengeratkan pelukkan masing-masing. Sampai air seakan mendorong lemari itu begitu keras membuat Mina dan Hasa terlempar jauh dari dalam rumahnya. Pintu lemari tersebut sudah menganga lebar. Bahkan satu bagiannya sudah berhamburan entah ke mana. Hasa semakin terpejam kuat seraya terus memeluk Mina yang menangis tersedu-sedu. "Ina'... Ama'...." teriak Mina kuat. Seperti kali ini. Semua yang terjadi berada di luar kendalinya. Hanya terus mengikuti arus meski ia juga begitu lelah menerima kenyataan yang ada. Tak akan ada satupun orang yang mampu mendengar rintihan Mina kecuali Hasa. Hasa sedikit membuka matanya terlihat beberapa mayat mengambang di derasnya air yang mungkin tidak akan surut dalam waktu cepat. Pemuda kecil itu tak tahu arah hidupnya dan adiknya sekarang. Yang Hasa tahu ia hanya bergantung pada sebuah do'a yang ia panjatkan tulus ke sang pencipta. Do'a yang tidak putus-putusnya ia panjatkan sebab Hasa percaya Tuhan tidak akan pernah tidur. Ia akan selalu mendengar aungan dari para Umat-Nya. Dan Hasa tak mau berburuk sangka. Alih-alih menyerah. Justru semakin hari semakin kuatlah hatinya. Kembali ia teriang do'a-nya ketika itu. "Ya Allah.., maafkan kami yang telah berbuat kerusakan di muka bumi-MU, aku tahu KAU pantas marah untuk itu, tapi aku jauh lebih yakin jika KAU maha pemaaf. Selamatkanlah keluarga kami Ya Allah, dari kerasnya amukkan alam dunia-MU…" Panjatan do'a terus Hasa rintihkan di setiap pergerakkan air yang membuat mereka masih terus terombang-ambing sewaktu itu. Tiba-tiba saja air membawa mereka jatuh ke tebing yang cukup tinggi, bagai naik roller coster dengan kecepatan 150 km/ jam. Tapi sayangnya mereka tidak memakai pengaman, dan keadaan tidak sedang selucu permainan. "Haha... hhaa... haahhh." Mina dan Hasa berusaha bernafas. Karena air yang masuk ke dalam lemari berkaca tersebut, tangan mereka tetap berpegangan kuat. Karena hanya itu yang mereka miliki saat itu yaitu saling bergantung satu sama lainnya. "Mina... Mina..," teriak Hasa saat melihat wajah Mina berubah pucat pasi, Hasa tahu adik kecilnya itu sedang dilanda hiportemia luar biasa. Pipi merah mudanya berubah jadi biru keunguan. "Mina, tolong Mina.., bertahanlah!" desis Hasa sambil menahan isak tangis, Matanya pun berkabut karena terlalu banyak kena percikkan air ditambah kini ia tersedu, membuatnya tak bisa lagi menatap Mina secara jelas. Hasa melap wajahnya kasar. Sangat tak mampu kehilangan Mina. Dan saat itu pula... Klotak...! Lemari jati itu menerpa permukaan. Mina dan Hasa jadi tidak sadarkan diri. --- Mata Hasa sedikit terbuka, tapi rasa sakit di seluruh tubuhnya membuat Hasa hanya mampu terpaku. Ia menatap para wartawan yang sibuk lalu-lalang mengejar berita, lalu ia memilih merapatkan kembali netranya, lelah dengan keadaan yang menimpanya. Sedang indera pendengarannya fokus dengan setiap aksara yang tersaji menjadi peneman penenggak kopi di pagi hari. Meski semua tak bisa semudah itu diterima bagi para korban, termasuk Mina dan Hasa. "Pagi ini kami akan melaporkan bencana longsor disertai pecahnya tanggul yang berada di daerah Tondano, Sulawesi Utara." Info seorang wartawan, yang tengah meliput kejadian yang membuat mereka tercerai. Para bantuan telah banyak yang hadir setelah air bah terkonfirmasi jauh lebih surut, meski jejaknya masih membayangi puluhan kilometer daerah tersebut. Terbukti banyak mayat yang masih belum di evakuasi disana. Hasa begitu terbuai dengan rasa sakit di tubuhnya di selingi dengan suara burung bangkai mematuk mangsanya. Tapi sesaat saja ia terlonjak kaget saat menyadari tak ada Mina di sisinya. Tidak, ke mana Mina, ke mana adiknya? adakah seseorang yang bisa menjelaskan kepada Hasa? Pemuda kecil itu menangis sesenggukkan, apa yang harus ia katakan pada Alice dan Datu? Padahal ia berjanji menjaga Mina. Tapi jika tugas "semudah" ini saja tak mampu ia emban. Bagaimana Hasa bisa menjadi salah satu anggota kepolisian seperti mimpinya. "Adik, ayok kita ke tempat penampungan." Ajak seorang relawan, sekuat tenaga Hasa menampik tangan relawan tersebut. "Tidak nya'ku hanya mau pergi bersama adikku, Mina." sahutnya kasar. Hasa langsung berlari dari sana. "Mina... Mina." panggil Hasa. Ia berjalan terseok di tengah hamburan potongan tubuh manusia. Hasa tahu, semua ini akibat dari banyaknya penebangan pohon secara liar. Orang-orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Tanpa pernah mau berempati kepada alam. Mata Hasa terpaku, ia shock saat mengenali wajah penuh tanah yang tergeletak di depan matanya, anak itu tak mungkin tak mengenali Alice yang sudah pergi menjemput surganya. Kini yang tersisa hanya tubuh kaku Alice. "Ina'...." panggil Hasa parau. Ia kacau, ibunya tadi ijin pergi sebentar. Tapi kenapa sekarang wanita itu pergi selamanya? "Ina'..." Hasa kecil mendekap kepala Alice erat seraya tersedu. Ia tidak siap bahkan tak akan pernah siap di tinggal Alice secepat ini. "Dek… Kita harus cepat menguburkan mayat ibumu, berikan mayat itu pada kami," ucap relawan terburu-buru. Hasa tahu, relawan itu tidak salah. Ia hanya melakukan pekerjaan mulianya. Tapi sayangnya tidak semudah itu melepaskan kepergian ibunya. Adakah seseorang yang siap dengan perpisahan dengan orang-orang ia kasihi. Jika ada, tolong ajarkan Hasa, sebab pemuda itu belum mampu merajut kata rela. "Nya'ku mau mandikan ina'ku." Biar untuk terakhir kalinya ia mencoba berbakti. Nampak relawan itu diam, ia mengerti keinginan Hasa. Dengan di bantu sebuah tandu, sampai mereka ke tempat yang jauh lebih jernih airnya. Hasa mulai seksama memandikan tubuh Alice meski dengan keterbatasan dan kebodohannya sebagai anak kecil waktu itu. "Nak... Sekarang kita kuburkan Ibumu, yah," sahut relawan wanita yang juga ikut menangis. Hasa hanya mengangguk lemah tanda ia cukup sadar untuk melepas kepergian Alice, meski masih kecil Hasa tahu... Jika sebaiknya jenazah segera di kebumikan. --- Hasa mulai kembali menyusuri tenda pengungsian. Ia masih harus mencari Mina, satu-satunya hartanya yang paling berharga sekarang ini. Tapi sampai sore pun ia tak mendapatkan kabar. Hatinya mulai resah. Apa adiknya itu ada di antara tumpukkan mayat? Akhirnya... Hasa bisa bernafas lega, karena nyatanya tak ada tubuh anak kecil di sana. Tapi itu berarti pencariannya terhadap Mina belum berakhir. Dan ia siap mengerahkan seluruh hidupnya untuk mencari gadis kecil itu. Flashback Off Bahkan hingga detik ini, sampai membuat Hasa memutuskan menjadi salah satu wartawan pencari berita... Berharap dengan pekerjaannya ia lebih mudah mendapatkan kabar tentang Mina.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD