Pria gila dengan Anixety-nya

1583 Words
"Bangun...!" suruh Kale kasar. Ia bahkan menyingkap selimut Mina. "Eehh...!" Mina yang masih terbuai mimpi berusaha menarik selimutnya lagi. "Gak bisa, ini selimut gue. Lo'kan cuma boleh tidur disini!" kata pria itu angkuh. "Eemm...! Bu aku masih mau tidur" rancau Mina yang menyangka ia sedang dibangunkan oleh Zakiyah. Mungkin karena rasa rindu luar biasa yang membuat ia cepat bermimpi tentang Zakiyah Kale menunduk menatap wajah damai Mina membuat ia malas membangunkan wanita itu kembali "Ya udahlah... Gue juga udah ngantuk kok!" papar Kale, langsung merebahkan tubuhnya di samping Mina. Pagi tiba, pelan Mina membuka matanya. Saat ia menegaskan penglihatannya hanya ada Kale di sampingnya dengan masih bertelanjang d**a. "Aahhkkk...!" teriak Mina kontan memukul bahu Kale. Ia masih teringat dengan perlakuan Kale padanya semalam. Dan sekarang seenaknya lelaki itu tidur di sebelahnya "Woy... Woy... Udik... dik!" bentak Kale jadi terjaga. "Ngapain kamu disini?!" tanya Mina seraya bertumpu pada lututnya. "Heeh... Ini kamar gue!" teriak Kale seraya menyingkap selimutnya. Mina melirik sekitar, ia segera mau turun. "Eeh... Tunggu mau kemana lo, enak ajah lo pergi gitu ajah setelah bangunin gue" cegat Kale mencengkram tangan Mina 'Aku mohon, ijinkan aku pergi!" lirih Mina seolah memutar tangannya agar terlepas dari pegangan Kale. "Gak bisa... Mulai saat ini lo akan tinggal disini!" putus Kale melepaskan tangan Mina. Membuat Mina terhempas dan jatuh di lantai 'Tinggal disini?!' tanyanya dalam hati dengan perasaan begitu takut Sesaat Mina berfikir, Kale sudah lebih dulu mengunci kamarnya. "Hhhaah..." Mina berlari ke ambang pintu. Ia berusaha menggedor pintu itu dengan kekuatan penuh. "Buka... Buka...!" rancaunya hampir menangis. Padahal Mina berjanji tak akan lagi meneteskan air mata untuk kekejaman ibu dan anak itu. Tapi ia selalu gagal dan tak mampu membendung luapan rasa kesalnya yang menjadikan matanya lagi-lagi berkabut kepedihan sedang hatinya terasa begitu perih. "Buka... Buka. Tlong bukakan pintunya!" ucapannya melemah seiring dengan pukulannya yang semakin mengendur. --- "Tuan muda?!" panggil Eugine yang mendengar suara Mina yang begitu kalut dari dalam. "Ya...!" sahut Kale sambil memasang jam tangannya. Ia sedang berada di ruangan gantinya. "Saya... saya mendengar suara nona Mina meminta tolong, Tuan" ucap Eugine takut-takut. Kale menaiki sudut bibirnya. "Ya... Saya tahu" jawabnya cepat. "Tapi mengurung nona Mina bukankah tindakan yang keterlaluan Tuan. Setahu saya... Tuan Hadi tak pernah melakukan hal itu. Ia begitu menghormati Nyonya Rose walau bagaimanapun sifat Nyonya Rose" papar Eugine. Kale menatap Eugine "Begitu,yah?!" katanya yang selalu terobsesi menjadi bayangan Hadi. Ia akan melakukan apapun untuk menjadi mirip dengan ayahnya itu. "Kalau gitu, biar nanti saya buka'kan pintunya buat dia!" katanya berjanji. "Dan Tuan, boleh sekalian bersikap baik pada Nona Mina. Maaf... Bukannya saya lancang. Namun Nona Mina adalah anak angkat kesayangan ayah Tuan. Saya hanya ingin mengingatkan, Mungkin saja Tuan lupa" ujar Eugine kembali. Tapi kali ini Kale nampak tak suka. Yah... karena wanita itulah ayahnya seakan membagi cintanya antara ia dan Mina di masa lalu. Kale tak menjawab... Ia justru pergi berniat bermain golf. ---- Mina POV. Entah sejak kapan semua menjadi seperti ini. Aku yang tak mampu pergi. Meski sangat inginnya aku berlari... Namun lagi-lagi aku terpaku dalam takdir yang tak mampu ku dustai. Bahwa saat ini aku telah menikah, dan mungkin sebentar lagi akan ada satu nyawa yang akan tumbuh di rahimku sebagai syarat kebebasanku. Tapi... Sebelum ia hadir disinipun aku telah menjualnya. Maaf'kan Ibu Nak, Maaf untuk ketidak mampuanku. Mina POV end Wanita itu kembali menitikan air mata seraya mengelus perutnya. Tapi ia masih mencoba berdiri. Mina sadar sepertinya tak akan ada yang mau membuka'kan pintu jati itu untuknya. Ia berjalan ke lemari Kale, membukanya karena Mina tak berniat bernafas dengan keadaan telanjang seharian penuh. Sayang di lemari itu tak ada satupun baju. Hanya ada kumpulan dasi, sarung tinju, dan beberapa piagam. Mina berusaha mencari hal lain yang bisa ia pakai. Dan ia hanya menemukan seragam milik Kale. Terpaksa ia memakai seragam yang sangat dibangga-banggakan Kale. Tapi oleh Mina lengannya hanya di gulung asal. Seraya mencapit bagian bahunya yang ke lebaran. Sebentar Mina mematut dirinya di cermin. Nampak ia yang semakin kecil dengan baju kebesaran seorang Kale itu. Mina mencoba mengitari jalan. Mengikuti langkah Kale. Ia kembali ke kamar mandi. Seingatnya, pintu ini yang menghubungkan antara kamarnya dan kamar pria gila itu. Tapi lagi-lagi pintunya sudah di kunci dari luar Ceklllekk... cekllek... "Huufft...!" Kali ini ia hanya mendesah pasrah. Karena teriakpun tak akan ada gunanya. Dan Mina terlalu lelah menangis. "Abdi negara. Tapi kelakuannya...!" gerutunya mencela Kale seraya menggeleng tak mengerti mengapa lelaki itu begitu senang memaksanya. "Hheemm...!" Mina memutuskan kembali ke kamar saja. Daripada harus terus di kamar mandi. Tapi Mina tak akan sudi tidur kembali di ranjang. Mina hanya akan menunggu Kale di ambang pintu. Berharap bisa secepatnya keluar --- Sampai malam tiba, Kalepun tak kunjung pulang. Tak ada yang memberi Mina makan. Karena tak ada satu orangpun dari maid yang berani membuka kamar pria itu termasuk Eugine. Apalagi kamar Kale di rancang khusus. Kunci pintunya memakai pasword yang sayangnya cuma segelintir orang yang tahu apa paswordnya Kale pulang dalam keadaan setengah mabuk ia langsung menaiki lift menuju kamarnya. Lelaki itu bahkan lupa telah mengunci Mina di dalam. Yah... Kale baru saja minum-minum saat menghadiri pesta sahabatnya yang sebentar lagi akan melepas masa lajangnya. Ia berfikir, seharusnya ia juga melakukan ritual itu... Sayang, tak ada seorangpun yang tahu pernikahannya. Dan Kale rasa pernikahan ini memang tak perlu di ketahui siapapun. Kale tersenyum di dalam lift. Theo temannya nampak sangat bahagia karena sebentar lagi mau menikah. Ahk... andai ia juga bisa semudah itu bahagia. Namun Kale merasa tak semudah itu hatinya diselimuti rasa melegakan jiwa. Ada satu hal yang membuat kehidupannya tak pernah lengkap. Hal yang membuat ia merasa ca-cat dan berbeda dari yang lainnya. Bahkan hal itu sudah ia sadari berada di dalam dirinya sejak kecil. Yaitu ia yang begitu jarang mendapat rasa kasih dari ayahnya sendiri Kale merasa hal itu sangat memalukan disaat semua kawannya selalu bercerita tentang kegiatan mereka bersama ayah mereka. Tapi Kale bahkan hanya punya sedikit kenangan. Dan biasanya ia hanya akan membanggakan ayahnya yang rela bertempur di medan perang Meski Kale kecil tak mengerti mengapa mesti ada pertikaian sesama manusia, tapi semakin beranjak besar. Ia tahu... bahwa terkadang perselisihan tentang sudut pandang dapat semakin melebar jarak perbedaan yang seharusnya bukan untuk di perdebatkan. Dan biasanya temannya akan terpengaruh dengan cerita Kale dan mulai merasa iri padanya. Padahal... jauh di lubuk hatinya, justru sangat menginginkan sesosok ayah yang akan terus ada di sampingnya setiap hari. Sekedar bertanya apa yang ja lakukan hari ini atau apa ada yang ingin ia ceritakan pada ayahnya. Sayang... semua hanya berada dalam khayalnya. Hadi dan Rose terlalu sibuk. Dan tak jarang meninggalkan ia sendirian hanya bersama para maid Lelaki itu telah sampai di ambang pintu kamarnya. Seperti biasa, ia mendorong kuat. Tapi pintu itu seakan terganjal sesuatu. "Aauuuww...!" lirih Mina seakan kehabisan suara. Ia telah begitu lama tertidur di depan pintu dengan tubuh ringkih karena belum juga makan. "Lo!" pekik Kale. Sedang Mina masih meringkuk membuat tubuhnya menjadi seperti huruf U. Dengan punggung menekuk ke bawah. Matanya memanas melihat Mina memakai seragam miliknya. Ia mengepal tangannya kuat. Sangat ingin marah. Karena sebelumnya tak ada yang pernah berani memakai baju itu selain dirinya 'Tuan... Tuan Hadi tak pernah menelantarkan istrinya sendiri!' entah mengapa nasihat Eugine begitu membekas di otaknya. Cepat Kale menggendong Mina. Meletakkan wanita itu di ranjangnya, menyelimuti serta memberi Mina paracetamol karena sepertinya wanita itu demam. "Cepet minum!" suruhnya membuka paksa mulut Mina. Tapi Mina tak ingin menelan pil itu. "Eehh...!" lenguhnya menolak pil itu masuk ke mulutnya. Kale menggeleng, kembali memaksa Mina membuka mulut untuk meletakkan pil itu di bawah lidahnya. "Cuuuhhhh...!" Mina melempar pilnya kembali. Untuk apa lelaki itu baik padanya. Untuk membunuhnya secara perlahan?! Tanpa sengaja pilnya justru menempel di pipi Kale membuat lelaki itu kehilangan batas kesabarannya. Ia berdiri seraya bertolak pinggang. "Lo... lo mau apa, Hhhaah!" pekiknya tapi Mina tak menjawab. Ia hanya memejamkan matanya rapat. "Oke kalau itu cara lo buat protes! Gue gak akan peduli!" ujarnya lagi. Kale berbalik badan, ia mengigit jarinya gelisah. Kale memang menderita anxiety atau gangguan kecemasan yang terkadang bisa muncul kapan saja. Biasanya ia akan selalu cemas jika ada hal yang berjalan tidak sesuai keinginannya. Jika ada sesuatu yang ia sadari berada di bawah kendalinya. Padahal Kale juga merasa ia sangat kuat dan berkuasa. Seharusnya semua hal dapat dengan mudah tunduk dengan satu jentikkan jemarinya "Gimana ini?!" runtuknya sendiri seolah fikirannya buntu. Ia belum pernah menghadapi seseorang yang membantahnya. Biasanya ialah yang membantah "Aahhkkk...!" Kale langsung mengambil satu butir obat. Kali ini ia yang meminumnya. Kembali ia membuka mulut Mina dengan kedua jarinya yang ia tekan di rahang Mina. Kale sudah menyimpan pil serta air di mulutnya. Ia mencium Mina dan mentransfer pil itu langsung dengan lidahnya. "Eegghh...!" Mina berusah berontak tapi Kale bahkan tak minggir sama sekali. Niatan awalnya hanya untuk memberikan pil itu berganti pada keinginannya kembali merasakan mencecap bibir Mina. Kale melepaskan ciumannya. "Sekarang lo makan dulu!" suruhnya. Mengambil telepon rumah dan menelpon maid untuk mempersiapkan makan malam Mina. "Buatkan wanita itu bubur, karena sepertinya ia sedang sakit!" cicit Kale memberi perintah Sebentar saja sudah tersaji bubur nasi komplit dengan taburan ayamnya. Mina sendiri tak mampu menahan godaan menghirup aroma yang keluar dari bubur itu. "Terima kasih!" tutur Kale seraya mengambil mangkok bubur yang masih panas itu. Lalu kembali ia menutup pintunya. Tak ingin maid itu melihat Mina. Mina hanya akan melihat dia di rumah ini. Itu bukan karena begitu protektifnya Kale pada istrinya. Tapi ini adalah satu penyiksaan yang Kale ciptakan untuk Mina. Bayangkan... bagaimana rasanya hanya akan menemui satu orang yang kau benci sepenuh hatimu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD