Dokter dadakan

1443 Words
Setelah memaksa meminumkan Mina obat, Kale kembali berniat menekan Mina memakan bubur itu dari suapan tangannya. "Ayok makan!" tuntut Kale seraya menyodorkan satu sendok bubur penuh. Kale fikir, Mina akan kembali mengelak. Tapi nyatanya wanita itu memajukan mulutnya dan melahap bubur itu. Kale bahkan terperangah karena Mina menarik mangkok bubur itu darinya dan memakannya begitu lahap. 'Jika kematianku adalah keinginan kalian, maka aku tak akan mati begitu saja. Aku berjanji... gak akan memberikan sesuatu yang menjadi harapan kalian!' tekad Mina dalam hati. Ia membalas tatapan Kale dengan berani. Sambil melahap buburnya tanpa melihat isi mangkuknya. Mulutnya terus melahap. Tanpa sadar membuat mulutnya belepotan. Kale tersenyum tanpa sadar, sedang ibu jarinya melap bibir Mina dengan gerakkan perlahan. Mina justru memajukan wajahnya agar dapat disentuh oleh Kale sepenuhnya. "Tumben lo nurut?!" sarkas lelaki itu. "Apa aku punya pilihan untuk mengelak, Mas?!" jawab Mina pasrah. "Enggak sih. Disini lo cuma harus menjalankan perintah gue ataupun Mama gue!" tekan Kale dengan masih mempertahankan sikap angkuhnya. "Maka saat ini, itulah yang aku lakukan. Kalau kamu memintaku makan. Aku akan makan, dan kalau kamu meminta aku terus disini. Aku juga tak akan keluar kemanapun!" sahut Mina santai. "Bagus...!" puji Kale kembali mengambil mangkok Mina. Ia ingin menyuapi Mina lagi. Kale cuma takut kecerobohan Mina membuat seragam dia kotor. "Ohyah... Ngapain lo pakai seragam gue?!" ketusnya tak suka. Kalau saja kali ini Mina sedang gak nurut. Pasti Kale akan memaksa Mina membuka seragamnya. "Oooh... ini seragam kamu, Mas?!" jawab Mina malah balik bertanya dengan tatapan polosnya. Ia bahkan menyentuh tiga lencana bergambar bintang itu. "Iyah itu punya gue!" jawab Kale pongah. "Tapi aku merasa pernah melihat seragam ini di televisi" balas Mina. Ia selalu tak pernah absen menonton tayangan penaikan serta penurunan bendera merah putih saat tujuh belas agustus-an. "Yah pastilah!" jawab Kale sedikit menaiki sudut bibirnya. Betul-betul udik. pikir Kale. "Eemmm... aku lihat dimana,yah?!" tanya Mina sendiri sambil mengetuk jarinya di dagu "Ooh... Aku lihat sewaktu Tuan Hadi menolong aku!" bohong Mina. Ia bahkan sudah lupa dengan kejadian itu. Setiap kali Mina mencoba mengingat masa kecilnya yang suram justru kepalanya terasa berdenyut-denyut begitu perih. Tapi bukan berarti Mina gak tahu apa yang bisa membuat Kale bahagia. Yah, menjadi mirip dengan ayahnya adalah obsesinya. Mina tahu itu dari Eugine. Bahwa Kale akan melakukan apapun agar banyak orang yang bilang ia mirip dengan Hadi, ayahnya "Masa?!" pekik Kale begitu semangat. Hhaah. Lelaki itu telah masuk perangkapnya. Heii... Jangan dikira seekor tikus tak akan mengigit meskipun telah dikurung sedemikian rupa. "Iyah, Mas!" sahut Mina semakin semangat. "Jadi maksud lo, gue mirip sama ayah gue?!" selidik Kale lagi "Hm... Gantengan Mas sih!" puji Mina enteng. Membuat Kale mengulum senyum. Bagaimanapun ia manusia biasa yang suka di puji. "Bokap gue juga ganteng!" belanya masih malu-malu. 'Iyahlah... Tuan Hadi sama kamu mana bisa di samakan. Kamu itu kejam, iblis jadi-jadian. Tapi kalau Tuan Hadi itu sangat baik, ia bagaikan malaikat yang menerangi hidupku!' sahut Mina dalam hati memberikan istilah malaikat dan iblis untuk anak dan ayah itu. Berbeda hal tapi selalu saling bertautan. "Menurutku, Kalian itu sesuai. Saling melengkapi!" cicit Mina. Wajah Kale merona kemerahan. Ia telah terbuai dengan pujian Mina. Kale begitu haus untuk kembali mendengarnya. Selama ini hanya ada orang yang mengelu-elukan kehebatannya. Tapi gak ada satupun yang mengkaitkan dirinya pada ayahnya Jika banyak orang yang ingin terbebas dari bayang-bayang orangtua. Tapi Kale yang selalu sendiri seakan butuh pengakuan dari orang lain kalau ia memang betul-betul darah daging Hadi Tjandra. "Lo mau apa?!" Begitulah Kale, saat ia bahagia ia akan memberikan orang itu apapun keinginannya. Baginya uang bukan masalah, lembar-lembaran itu hanya terus memenuhi dompetnya tanpa pernah ia pakai. Ia bahkan tak pernah mengambil gajinya sebagai salah satu abdi negara. Bekerja menjadi Letnan satu baginya hanya sebuah passion. Serta mencapai kepuasan batin supaya mirip dengan jejak hidup ayahnya. "Aku mau apa?! aku gak mau apa-apa!" sahut Mina pelan. Mencoba menaruh mangkuknya di atas nakas. Tapi dengan cepat Kale membantunya. Mengambil mangkuk itu dan ialah yang meletakkan disana. Mina melirik ke Kale. Oke. Lelaki ini akan menjadi sangat baik saat bahagia. "Kenapa lihatin gue kayak gitu?!" tanya Kale tak suka. Apa salahnya kalau ia membantu Mina meletakkan mangkuk yang terbuat dari tanah liat itu. "Jangan ge-er dulu lo. Lo tahu, Mangkuk ini di buat khusus untuk keluarga gue. Di ukir dan si bentuk langsung oleh seniman ternama asal Shanghai, China. Dan gue gak mau kalau sampai jatuh pecah gitu ajah. Lihat'kan gambarnya dibuat begitu mendetail!" papar Kale yang malah membahas mangkuk bubur itu. Ia memang sangat menyukai seni. Di dalam dirinya yang sangar, terdapat seorang Kale yang selalu tertarik saat membahas karya seni. "Aku tahu, Mas. Dan terima kasih untuk buburnya" jawab Mina yang tidak berusaha mengelak. Membuat Kale diam tak tahu apa yang harus ia lakukan "Gue mau mandi dulu. Lo kalau mau istrahat, istrahat ajah!" suruhnya masuk ke kamar mandi. Setelah Kale masuk Mina menatap mangkuk itu. Hhaah... Dasar orang kaya sombong! Memang apa hebatnya makan bubur di mangkuk edisi khusus. Tangannya berjalan ke nakas. Tapi matanya tetap berjaga-jaga ke arah kamar mandi. Praangg.... Yah, Mina sengaja menyenggol mangkuk itu. Ia ingin melihat reaksi Kale. "Aahhkkk... aduh!" pekiknya. Tapi Kale tak kunjung keluar, Kamar mandinya terlalu luas. Jadi suara Mina tak cukup terdengar olehnya. "Ck...!" Mina menggeram kesal. Kembali ide kotor hinggap di otaknya. Mina turun dari ranjang. Terduduk di bawah dengan lutut yang mengenai pecahan mangkuk sehingga berdarah. Bukan tanpa sebab, ia mau tahu apa Kale masih mau menggagahi seorang yang terluka sepertinya. Setega apa lelaki itu padanya. "Aaahkkk... Mas! Sakit!" pekiknya semakin kencang. Kali ini usahanya berhasil, Kale keluar dengan tubuh masih basah. Cepat ia melap rambutnya agar air tidak menetes kemana-mana. "Lo kenapa?!" pekiknya. Melihat mangkuk kesayangannya pecah tak lagi berbentuk "Aku jatoh, Mas!" rengek Mina mengulurkan tangannya "Kok bisa?!" selidik Kale tapi juga meringis melihat darah yang mengalir dari belakang tubuh Mina. Keadaan begitu kacau balau dengan tumpahan kuah kecap dimana-mana. "Tadi aku kepleset sewaktu ingin bangun, dan tangan aku malah menyenggol mangkuk itu!" bohong Mina. Padahal ia memang sengaja melakukannya. Kale tak menjawab tapi tangannya menarik Mina untuk bangun. "Duuh... Seragam gue jadi kotor gini lagi!" gerutunya memperhatikan seragamnya yang di pakai Mina. Mina sangat ingin tertawa, karena tadi ia juga sempat melumuri bajunya dengan kuah kecap. "Maaf Mas, namanya juga jatoh! jadi... aku juga mana tahu bakalan jadi kayak gini. Duuhh...Iyah, kotor lagi!" cicitnya seolah di selimuti rasa bersalah. Kale menggelengkan kepala. Ingin marah tapi ia juga tak bisa menyalahkan Mina. Wanita itu benar... Gak ada yang bisa memprediksikan apa yang terjadi saat kecelakaan berlangsung. Kale terlihat meringis kesakitan. Mina menangkap wajah takut lelaki itu. Baru kali ini melihat reaksinya yang mirip manusia. Biasanyakan lelaki itu bagai sebuah tank tidak berperasaan. "Mas gak tega sama aku?! gakpapa kok Mas... Aku cuma terluka di bagian lutut aku tapi mungkin sebentar lagi juga sembuh!" sahut Mina mencoba menenangkan Kale "Lutut apaan. Itu belakang paha lo juga berdarah!" pekik Kale menunjuk arah aliran darah di tubuh Mina. Mina menengok melihat sendiri pecahan kaca itu menancap di pahanya. Pantas saja ia sedikit merasa perih dan gatal pada bagian sana. Menyadarinya justru membuat Mina lemas. Beruntung Kale ada di depannya. Sehingga wanita itu tak perlu jatuh sekali lagi. "Lo tiduran sambil tengkurap dulu. Biar gue yang beresin pecahan ini!" titahnya panik. Ia mengambil sapu dan pengki. Kale memang tak akan menginjikan siapapun memasuki kamarnya. Apalagi sekarang Mina memakai seragam yang begitu ia banggakan dan berakhir kotor setelah ia pakai... Enggak... enggak... itu sangat memalukan bagi Kale Mata Tjandra. Ia sudah selesai membersihkan pecahan mangkuk. Kale berjalan ke lemari kecilnya mengambil kotak P3K untuk mengobati Mina. Ia kembali ke dekat Mina dan duduk di pinggiran ranjang. Tangan kirinya terpasang sarung tangan latex siap menjadi dokter dadakan untuk Mina. Ia memang telah mempelajari berbagai aspek kehidupan termasuk bidang kedokteran. Berjaga-jaga jika suatu saat nanti ia membutuhkannya saat di medan perang. Kale, lelaki yang begitu anti bergantung pada orang lain. Ia cuma ingin mengandalkan dirinya sendiri. Dengan telaten Kale menyirami kapas menggunakan al-kohol supaya luka tidak infeksi. "Mas mau ngapain?!" tanya Mina kalut. Ia gak siap jika lukanya terkena cairan dingin itu. "Lo mau gue obatin" jawabnya pendek. Sambil mempersiapkan perban, serta kapas baru yang sudah ditambah obat merah. "Jangan Mas!" rengek Mina yang tak kuat dengan perih. Kale tak menjawab. Ia justru menempelkan kapas yang mengandung alkohol ke paha Mina. Nyesss Mina merapatkan giginya menahan rasa perih. "Mas... Mas udah Mas!" gerutunya lagi dengan tangan mencoba menghalangi aksi Kale. Tapi dengan mudah Kale menggenggam tangannya. "Jangan gerak... Gue mau tarik sisanya!" kata Kale "Jangan Mas!" larang Mina semakin menjadi. Tapi Kale sudah tertunduk dengan wajah begitu serius melihat luka. "Makanya... Besok-besok lo jangan kebanyakan gaya!" ucapnya masih mencoba mengoyak luka Mina dengan pinset.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD