Dalam gelap, Naraya berlari secepat dia bisa. Diterobosnya sunyi dalam jalan setapak menuju lokasi. Tangannya menyibak ranting-ranting yang menghalangi. Keringat sudah bercucuran di dahi, lengan dan sekujur badannya tapi ia terus berlari. Berusaha memangkas waktu yang semakin malam. Berusaha menepiskan kegelisahannya. Sebab semakin cepat tentu akan semakin baik. Sampai akhirnya terlihat cahaya di ujung pandangan, basecamp Pasuspala semakin dekat.
“Pasuspala Jaya! Salam Lestari!” serunya lantang dengan mengepalkan tangan di udara.
Seorang Senior mendengar seruan Naraya dalam gelap. Menyadari bahwa yang datang adalah bagian dari juniòr yang akan pelantikan, senior itu berteriak, “Merayap!”
Naraya segera membanting badan dalam posisi tiarap, memajukan siku kanan dan kiri, merayap secepat ia bisa. Begitu sampai di hadapan senior tersebut. Naraya langsung berdiri tegak. “Lapor!”
“Kurang keras!”
“Lapor!”
“Kurang keras!” Lalu Senior tersebut mencontohkan suara yang diinginkannya, membuat siapa saja yang mendengar seperti terisap hidup-hidup. “Lapor!”
Naraya menarik napas dalam-dalam dan berteriak sekuatnya. “Lapor! Anggota muda Pasuspala Angkatan 13. Nama Naraya Alisha Hardiyanto. Nomor seri 005. Siap menerima instruksi selanjutnya. Laporan selesai.”
“Masuk ke barisan!”
Mendengar instruksi tersebut, Naraya langsung berlari sigap. Masuk di antara peserta bernomor seri 004 dan 006 yang secara otomatis bergeser ke kiri dan ke kanan, merenggangkan jarak supaya dia bisa masuk ke barisan. Seperti yang sudah diprediksi, selama Naraya berada di acara OSIS tidak ada satu anggota muda pun yang berleha-leha. Mereka semua menunggu sampai Naraya, saudara seangkatannya datang. Selama menunggu mereka push up, sit up, back up, squat jump, merayap, push up, sit up, back up, squat jump begitu lagi diulang. Sudah berapa banyak? Tidak terhitung. Apakah mereka lelah? Tidak boleh. Acara bahkan belum dimulai.
Senior yang didampingi seorang pengurus itu melihat barisan sudah rapi. “Berhitung … dimulai!”
Peserta mulai berhitung secara tertib, setelah itu hening, menunggu arahan selanjutnya. Kemudian dari atas batu besar yang gelap, terdengar sebuah suara yang serak dan dalam. “Selamat malam Anggota Muda Pasuspala. Selamat datang di acara Pelantikan Slayer Pasuspala Angkatan 13. Bagi yang merasa ingin mengundurkan diri, kami persilakan dari sekarang. Ada?”
Peserta hanya diam dan mendengarkan saksama. Suara itu tegas dan lantang mengarah ke peserta, mukanya tidak terlihat. Cahaya lampu tembak sengaja disorot mengarah ke peserta, membelakangi senior, sehingga muka senior tersebut tidak terlihat. Hanya terdengar suara yang bahkan peserta tidak bisa mengenali siapa yang bersuara. Sosok itu tidak sendiri, di belakangnya ada puluhan orang berjaga, juga diam tidak bersuara, menghadap ke arah peserta.
“Enggak ada yang mau mundur, ya? Karena mulai detik ini sampai pelantikan selesai …” Sosok itu menjeda kalimat, seakan membiarkan senyap menggigiti tekad para peserta secara dramatis. “… Dua Pasal akan terus berlaku!”
Bersamaan dengan kalimat terakhir senior tadi, petir menggelegar di langit malam mereka. Bulan perak hilang, langit semakin pekat, suasana sangat mencekam. Dari arah kanan di pangkal barisan sebuah tangan penuh energi mengayunkan telapaknya ke muka seluruh peserta. Semua terkena tamparan tanpa pandang bulu sebagai salam perkenalan. Sesampainya di ujung barisan, muka yang ditutup slayer dari hidung ke bawah terlihat cahaya. Walaupun dalam posisi siap dan tidak menoleh, semua peserta tahu, yang barusan itu adalah Kang Supri, senior angkatan 3 dengan julukan Jenderal Maut.
Embusan angin makin kencang, seperti memberi pertanda alam bahwa akan turun hujan. Syal peserta berkibar-kibar tertiup angin, peserta lengah karena dibuai udara sejuk. Dalam posisi mereka lengah, mendarat pukulan dua setengah kancing ke masing-masing peserta tidak ada perbedaan cewek ataupun cowok. Pukulan itu juga ibarat gong peresmian bahwa pelantikan slayer sudah dibuka. Naraya tersentak. Dia bahkan tidak merasakan bagaimana tangan itu mendarat di tubuhnya sehingga jatuh terpental. Seluruh barisan peserta berantakan.
Dia dapat melihat Adjam bergegas menuju senior tersebut, seperti berusaha mengingatkan untuk mengurangi kèkèràsàn fisik. Pasuspala sudah menjadi incaran para guru sebab santer terdengar kabar bahwa sering terjadi kontak fisik setiap kali pelantikan.
“Biarin, Djam. Anak zaman sekarang ini perlu dididik lebih kèjàm, biar jangan jadi generasi tempe yang bisanya rebahan doang! Kalian anak pencinta alam. Di alam, kalau kalian lemah, kalian akan mati. Kalau kalian sombong, kalian akan tersesat. Bangun! Baris kembali dalam tiga hitungan!”
Naraya yang sudah bangkit, merapat ke barisan. Sambil memanggul carrier penuh berukuran 50 liter, seluruh peserta diperintahkan untuk mengambil posisi push up. Tidak sekali dua kali badan peserta dicungkil oleh sepatu boots senior ketika dianggap push up-nya tidak sempurna. Seakan sengaja, setiap kali barisan rapi, ada saja senior yang berusaha untuk menghancurkan barisan. Beberapa peserta terjatuh, bahkan ada yang terjerembap.
Ketika menjelang tengah malam, Naraya dan Ajeng disisihkan dari barisan. Diminta menontoni peserta lain yang masih mengikuti perintah senior.
“Ini angkatan 13? Mana kesolidan satu angkatan? Lo diam aja waktu melihat saudara-saudara lo susah kayak begitu?” Seorang senior cewek mendatangi Naraya dan Ajeng. “Lo berdua enggak pantas jadi bagian dari angkatan ini kalau cuma diam aja waktu saudara seangkatan lo susah! Cewek itu ibarat tulang di Pespel.”
Naraya bangkit, diikuti Ajeng, masuk kembali ke barisan untuk bersama-sama menempuh malam. Serangan yang datang membabi-buta, seolah berusaha mengecoh. Namun, peserta sempat dibisiki pengurus untuk saling menjaga barisan.
Serempak seluruh peserta merentangkan kedua tangan, berpegangan erat. Saling menggenggam lengan tangan yang berada kanan kirinya, seperti tanaman yang menjalar di tiang, meliuk mencengkeram sekuat mungkin yang dibisa agar salah satu dari mereka tidak ada yang terlepas.
Jika salah satu ada yang hampir terjatuh, yang lain akan membantu menarik tangannya. Jika salah satu tersungkur, maka yang lain akan membantu berdiri. Semua untuk satu, satu untuk semua. Sakit satu maka sakit semua. Mereka seperti satu badan. Ketika salah satu indera pada badan tersebut sakit, maka seluruh badan tersebut juga merasakan sakitnya.
Sedangkan senior, semua mendadak bengis dan kesetanan, membuat malam terasa sangat panjang. Tidak ada tanda-tanda bahwa cercah pagi akan datang. Namun, sekali lagi, peserta tidak menyerah. Didikan setahun terakhir ini menguatkan semua tekad akan bersama-sama sampai ujung perjalanan. Berjuang bersama atau gagal bersama.
Semakin malam, satu dua badan peserta mulai terjatuh sedangkan tangan yang lain pun mulai melemah. Carrier yang penuh juga serangan yang bertubi-tubi membuat lelah. Untuk memberi kekuatan terhadap diri sendiri saja masih kurang tetapi harus membagi kekuatan untuk yang lain. Ternyata benar kata mitos, saat pelantikan malam akan terasa seribu kali lipat lebih panjang dari biasanya.
Dari kejauhan, terdengar suara dua pasang kaki berlari ke arah mereka, semakin lama semakin mendekat dengan head lamp di kepala.
“Berhenti semua!” Satu dari senior yang datang itu menepis pukulan senior lain, sedangkan satunya lagi berusaha melerai senior yang tingkahnya mulai kelewatan. “Kelewatan kalian!” bentak berang.
Mereka yang sedang berpesta atas pènyiksàán fisik serempak berhenti dan menoleh, lantas mematung.
“Kalian pikir mereka itu siapa? Hah?!” Tampak seseorang yang menepis pukulan tadi adalah senior juga, berambut gondrong dengan tampang sangat emosi. Lelaki itu mengangkat tangan dan menunjuk tanah kosong di samping. “Kumpul semua per angkatan di sini.”
Naraya mencoba mengenal tamu dadakan itu dalam senyap. Dia tidak kenal. Senior tersebut tidak pernah berkunjung ke sekolah jika ada latihan atau kumpul Pasuspala. Tetapi mengapa senior-senior semua patuh? Bahkan Kang Supri yang dijuluki Jenderal Maut.
Dua orang yang baru datang tentulah bukan orang sembarangan. Walaupun sosok itu pakaiannya sama seperti yang lain yaitu kemeja lapangan berwarna hitam dengan logo mata angin putih di dàdà kiri tapi badge nama mereka membuat tidak ada satu pun yang berani membantah. Nama mereka berdua selalu dihafal setiap anggota dalam setiap angkatan. Tidak ada yang bisa lupa dan melewatkan nama tersebut. Meskipun kenyataannya, tidak semua sempat bertemu dan berkenalan langsung dengan nama tersebut.
“Selamat pagi semua. Gue Revi, angkatan 1, Gemaung Fajar. Di sebelah gue, Reza, sama-sama angkatan 1,” ujarnya mengenalkan diri.
Naraya menelan ludah. Kang Revi dan Kang Reza adalah bagian dari pendiri Pasuspala. Kesibukan masing-masing membuat mereka hampir tidak pernah datang ke acara Pasuspala. Diamnya Kang Revi mampu menggetarkan senior yang lain.
“Kita ciptakan Pespel bukan buat ajang pamer kekuatan, bukan buat ajang sok paten, bukan buat ajang sok hebat. Pespel dibikin oleh orang-orang yang memiliki kesamaan hobi kepada alam. Kalau adik-adik kita salah, kalau adik-adik kita masih dirasa kurang. Ini tanggung jawab kita semua untuk mendidik dan mengajari, bukan menghajar!”
Kang Revi menunjuk peserta. “Mereka … adik-adik kita, saudara kita. Kita memang beda rahim, beda bapak, beda ibu, tapi satu peranakan. Peranakan Pasuspala!” sergahnya yang mulai kepanasan mendengar banyak protes dilayangkan dari pihak sekolah mengenai adanya praktik kèkèràsàn saat pelantikan Pasuspala. Dia tidak pernah mengajarkan itu, tes fisik boleh selama tujuannya adalah mengetes mental peserta bukan sebagai ajang yang membahayakan nyawa seseorang. Seluruh senior yang liar tak terkendali tadi lalu diam, tertunduk, malu, dan merasa bersalah.
Keadaan lebih lanjut sudah tidak bisa didengar peserta lagi, sebab pengurus mulai menggiring seluruh peserta menuju tanah datar. Meminta mereka mendirikan tenda dan beristirahat. Naraya melirik jam, pukul setengah lima pagi. Ini masih malam untuk Pasuspala sedangkan tenda organisasi lain mungkin sudah nyaman dalam lelap.