Part 1 Menunggu

570 Words
“Dari menunggu, Aku menjadi acuh, tidak sadar, bahwa ada seseorang yang dengan caranya sendiri, memperhatikan Kita.” CaS AFM Desember adalah bulan terpahit yang Tarisa alami, tepat di bulan ini 2 tahun lalu, dia harus kehilangan seseorang yang sedang dia pandangi fotonya. Sesekali dia kecup foto itu, lalu dipeluknya, bergetar hati Tarisa, begitu memori masa lalunya kembali datang. Dia belum lupa terakhir lelaki tersebut pergi tanpa pamit. Dia nyaris kehilangan separuh jiwanya. Kehilangan semangat hidupnya. Entah bagaimana caranya agar melepaskan segala sesak di rongga dadanya. Dia menghela nafas untuk kesekian kalinya, membuat seseorang menjadi prihatin terhadap nya. "Jakarta panas ya pagi ini,” sindir seseorang dengan pakaian formal. Tarisa segera menaruh foto tersebut lalu berdiri, melihat ke sumber suara, ternyata itu adalah bos nya. "Pagi Pak, " sapa Tarisa ramah. "Pagi," "Maaf Saya tidak tahu, jika bapak sudah datang." "Saya pernah baca, jika seseorang kehilangan konsentrasi di pagi hari, artinya orang tersebut belum mengisi kebutuhan tubuhnya." "Jam di rumah saya ternyata lebih cepat Pak, jadi tidak sempat sarapan." "Jangan berbasa-basi, kantin ada di lantai 5. Perlu Saya antar?" "Terima kasih Pak," ucap Tarisa sembari tersenyum masam. Berhadapan dengan atasan yang berkepribadian ganda memang harus exstra sabar. Padahal kan tinggal bilang suruh sarapan. Gak usah ribet. Tarisa pergi meninggalkan meja kerjanya, tidak banyak yang tau kalau CEO yang selama ini mempunyai julukan dingin. Bisa sehangat itu terhadap sekertarisnya. Tarisa sudah bekerja hampir setengah tahun dengan CEO yang arogan dan dingin itu. Dia sudah kebal terhadap sikap CEO nya yang terkadang suka berubah-ubah sebentar baik seperti malaikat, sepersekian menit selanjutnya masih seperti malaikat, tapi malaikat maut. Di kantin "Wih tumben Ca, pagi-pagi ke kantin?" Tanya teman satu kantornya, yaitu Sandra. Dia dari devisi keuangan. "Suruh si Bos." "Bos? Tumben mau makan makanan kantin.” Jelas, semua kariyawan menjadi heran. Pasalnya jarang sekali bos mau makan di kantin karyawan, mungkin hampir tidak pernah. "Ya engga gitu juga, gue disuruh sarapan di sini," jelas Tarisa. "Cieee perhatian amat, bos sama lu Ca." "No gosip ya San, ya kali manusia es kaya dia perhatian." "Haha ya buktinya lu ke sini disuruh sama dia" "Ya karena ga ada kerjaan, coba kalau ada kerjaan boro-boro bisa makan ngedip aja susah." Sandra pun mengangguk setuju, Tarisa memakan makanannya. Setelah seharian bekerja, akhirnya Tarisa bisa pulang juga ke rumah. "Assalamu'alaikum," "Waalaikumsalam." Tarisa mencium tangan Bundanya. "Ca, itu diatas meja tv ada undangan buat Kamu," "Undangan lagi? Dari siapa? " Kenapa dia bilang lagi, karena baru saja Minggu kemarin dia undangan dan sekarang undangan lagi. Ini sangat menjengkelkan karena sebentar lagi pasti akan ada memintanya untuk menikah. "Si Ani, dia kan kemarin udah lamaran. Lagian masuk grup wa keluarga ko ga pernah ikut nimbrung, jangan-jangan kamu pakai mode diam lagi." "Ya aku kan sibuk kerja Mah," "Tapi jangan lupain umur dong, Kamu mau emang jadi perawan tua?" "Ih Amit-amit, lagian aku baru 21," "Lah kan emang dari pemerintah juga umur segitu sudah boleh." "Eum doain aja Mah, semoga sesegera mungkin hehe." Tarisa sangat hafal, jalan satu-satunya menghindar dari permintaan sang mamah, yaitu dengan pura-pura mengamininya. "Aamiin." Tarisa segera menuju kamar nya. Mengecek notifikasi dari ponsel pintar itu. Siapa tau ada notif dari seseorang yang sedang ia tunggu. Ting Berharap orang yang mengiriminya SMS adalah sahabat nya. Seketika sirna karena orang yang mengirimi SMS adalah bosnya. Big bos Jangan lupa besok bawakan Saya laporan meeting tadi siang. Tarisa membanting handphonenya, tidak berniat membalas dan langsung tidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD