1. Pernikahan Tanpa Cinta
“Sah!” Suara sahutan terdengar membuyarkan lamunan Regina yang tengah menunduk. Detik itu juga, Regina resmi menyandang status istri dari seorang pria yang sama sekali tidak dikenalnya.
Di usianya 26 tahun, Regina jelas ingin menikah. Namun, bukan pernikahan dadakan, dia bahkan tidak mengenai pria yang akan menikah dengannya. Pernikahan impian yang diidam-idamkan, hilang begitu saja. Memikirkan apa yang akan terjadi dengan pernikahannya, sudah cukup menakutkan baginya.
Traveling bagaimana? Jelas impiannya, hilang.
Semua berawal dari tiga hari yang lalu, kelalaian sang adik yang lupa menutup pintu kamar hotel, saat keluar untuk membeli obat. Hal itu mengundang pria tiba-tiba masuk ke kamar tanpa dia tahu dan bersembunyi di balik selimut yang sama dengannya.
Sialnya, tiba-tiba penggerebekan dadakan terjadi di hotel. Pakaian yang dipakai Regina membuat keduanya harus di bawa ke kantor polisi.
Ayah Regina yang tinggal di luar pulau Jawa, harus terbang mengetahui apa yang terjadi pada putri sulungnya itu. Begitu pula dengan pria yang masuk ke dalam selimut Regina, orang tuanya dipanggil.
Pernikahan dadakan, itulah yang terjadi hari itu. Kantor Polisi tidak mengizinkan mereka pulang jika tidak dinikahkan, mau tidak mau mereka harus menikah secara agama agar bisa pulang dan pernikahan resmi secara agama dan hukum terjadi hari ini.
“Positif thinking, Gina. Allah pasti punya rencana, percaya semuanya baik-baik saja.” Regina bermonolog sendiri, mencoba menguatkan hatinya.
Agam Naufal, itulah nama yang diingat olehnya saat sang ayah menyebut dalam pengucapan ijab kabul beberapa waktu lalu. Pria yang tidak mengukir senyum, raut wajahnya dingin bahkan tatapannya penuh ketidaksukaan pada Regina.
Langkah Regina pelan mengikuti Agam saat masuk ke dalam apartemen pria itu.
Regina benar-benar tengah mengutuk hidup yang akan dijalani. Koper yang sejak tadi ditariknya, membuatnya harus menyeret koper itu tanpa bantuan.
Pemandangan pertama kali dilihat oleh Regina adalah keadaan apartemen. Terpukau? Jelas, dia benar-benar terpukau. Hidup di desa, tinggal di rumah orang tuanya membuatnya terlihat sangat kampungan di mata Agam.
“Cih!” Satu decakan terdengar pelan. “Kamu tidur di sana,” ucap Agam menunjuk ke arah kamar yang dimaksud.
Sikap dingin, serta nada bicara Agam yang ketus membuat Regina benar-benar tidak tahan diperlakukan seperti itu.
“Itu saja? Bukankah kita ada yang harus bicarakan?”
“Memangnya apa yang harus kita bicarakan?”
Regina tercengang, mulutnya terbuka. “Dasar pria gila,” umpat Regina.
“Kau mengataiku gila?”
“Ya. Memangnya kenapa? Mulut-mulut saya juga,” gerutu Regina. “Kau pikir hanya dirimu, ya, korban di sini? Saya yang seharusnya marah-marah bukan Anda. Yang paling dirugikan di sini, itu saya. Kalau Anda tidak masuk sembarangan ke dalam kamar hotel, kejadian tidak akan seperti ini. Dari sekian banyak tempat sembunyi kenapa juga harus sembunyi di bawa selimut.” Regina tidak tahan untuk mengungkapkan kekesalannya sejak tiga hari yang lalu.
“Terus apa yang–”
“Saya belum selesai ngomong, ya.” Regina memotong perkataan Agam. “Seharusnya saat ini saya sedang menikmati tempat wisata di lombok, tapi kamu membuat impian itu hilang begitu saja. Membuat saya berakhir menikah dengan Anda.” Regina mengacak rambutnya yang tertutupi dengan hijab. “Ah, Tiket pesawatnya hangus,” gerutu Regina.
Agam tidak tahu, makhluk apa yang sedang bersamanya saat ini. Bahkan disaat seperti ini, masih memikirkan tiket pesawat yang hangus.
“Hanya tiket pesawat tapi seperti kehilangan uang ratusan juta,” komentar Agam dengan entengnya.
“Bagi Anda itu tidak seberapa, tapi bagi saya itu banyak. Anda tidak tahu harga tiket dari Sulawesi ke Jakarta itu sangat mahal?”
"Jangan terlalu heboh, uang segitu tidak seberapa," ucap Agam.
Regina mendengar kalimat itu ingin sekali melempar Agam dengan heels yang dikenakannya saat itu juga. Selain dingin, pria yang kini berstatus suaminya juga menyebalkan.
"Saya capek, saya mau istirahat. Jangan ganggu, besok saja lanjut bicaranya," ucap Agam melangkah ke kamar meninggalkan Regina.
"Bagaimana bisa hidup dengan pria itu!" gerutu Regina, dia tidak terima Agam yang meninggalkannya di ruang tamu.
Sholat dua rakaat setelah menikah? Jelas tidak ada. Bagaimana bisa dua orang yang bertolak belakang akan melakukan ibadah setelah menikah?
*
Dentingan pisau dapur beradu terdengar, kepulan uap dari panci menghadirkan aroma yang menusuk di hidung Agam yang baru saja bangun.
"Apa yang kau lakukan?" Pertanyaan bodoh.
"Kau buta, ya, kau pikir lagi saya ngapain? Udah jelas lagi masak, masih nanya lagi," jawab Regina dengan ketus.
"Cih!"
"Saya tidak mau dikatai tidak mengurus suami sama orang tuamu karena itu saya buatkan Anda sarapan," tambah Regina.
Walaupun lagi mengomel wanita itu masih tetap fokus dengan apa yang dikerjakannya.
"Duduk saja. Sebentar lagi masak, kok," ucap Regina, tidak ada nada ketus lagi. "Lagipula kita harus ngomong juga 'kan?" Regina sudah siap dengan masakan yang akan disantap. "Kita berdua 'kan terlanjur menikah karena terpaksa!"
"Jelas! Saya terpaksa menikah!" Agam membenarkan tapi malah membuat Regina emosi.
"Bapak pikir, saya juga tidak? Saya juga mau menikah dengan orang yang saya sukai, pengertian, baik hati, bisa jadi imam yang baik, membimbing saya. Bukan seperti Anda." Regina tidak mau kalah, dia pun membantah, entah kenapa berhadapan dengan pria yang menjadi suaminya itu, Regina selalu tersulut emosi.
Agam melihat ekspresi wajah wanita yang tengah mengomel itu, sambil menyantap masakannya.
"Ah, sudahlah, itu sudah terlanjur. Saya bukan membahas itu! Saya tahu, Anda pasti risih jika saya tidak melakukan apapun. Jadi, saya menawarkan beberapa hal. Saya bisa memasak, bahkan bisa berakting di hadapan orang tua Anda."
Alis Agam tertaut. Dia mengakui jika masakannya memang enak.
"Anda tidak perlu cemas, Anda bisa mengandalkan saya sebagai partner bersandiwara yang baik."
"Kamu bukan kriteria pasanganku, saya tidak tertarik!"
"Huh, Anda juga bukan kriteria saya, ya!" Regina mencoba mengatur napas dan meredakan emosinya. Bisa-bisanya dia tersulut hanya dengan ucapan seperti itu. "Ya, saya sadar itu, karena itu saya menawarkan kerjasama. Anda bisa menikmati makanan setiap saat, pakaian anda rapi, tenang saja urusan rumah semuanya akan beres," ucap Regina membuat alis Agam berkerut.
"Terus–"
"Karena urusan rumah saya kerjakan, Anda harus membayar saya. Walaupun saya berstatus sebagai istri Anda tapi karena terpaksa."
"Cih, dasar materialistis," hina Agam.
Regina sebisa mungkin untuk tidak marah, dia sedang bernegosiasi. "Saya tidak matre, saya realistis. Anda pikir saya bodoh, mau mengerjakan urusan rumah dan tanpa dibayar? Kalau Anda tidak mau, Anda bisa bayar pembantu saja mengurusi semuanya."
"Saya akan kasih uang bulanan."
"Okay. Deal!" ucap Regina. "Bisakah saya sebutkan nominalnya?" tanya Regina.
Regina jelas tidak ingin rugi menikah dengan Agam karena terpaksa dan harus mengurus segala keperluan pria itu secara cuma-cuma.
"Segala urusan rumah saya kerjakan, tekanan batin menikah dengan pria seperti Anda menjadi partner kerja, mungkin 40 juta cukup," ucap Regina. "Jika dengan uang belanja mungkin 10 juta."
Mendengar pernyataan Regina, Agam tercengang. Wanita di hadapannya benar-benar memperhitungkan segalanya.
"Saya akan kasih 60 juta perbulan. Kirimkan nomor rekening," ucap Agam mengeluarkan ponsel dan mengetik nomor rekening Regina. "Sekarang, saya yang ingin mengatakan apa yang saya inginkan. Jangan pe
rnah ikut campur dengan urusan pribadi masing-masing."