2. Bertemu Keluarga Agam

1076 Words
Wajah Regina terlihat lelah, ia menghela napas kasar. Melihat pria yang baru saja masuk ke apartemen. “Sepatu taruh di tempatnya,” tegur Regina membuat Agam yang baru pulang merasa telinganya berasap. Bukan menuruti apa yang dikatakan Regina, Agam malah menghamburkan sepatu yang tersusun. “Agam …” Regina memekik melihat kelakuan Agam, pria itu bahkan tidak meminta maaf setelah melakukannya dan langsung masuk ke dalam kamar. Agam tahu jika Regina menyebut namanya, wanita itu benar-benar kesal, cara aman adalah menghilang dari pandangan Regina, jika tidak maka tidak akan berhenti wanita itu terus mengomelinya sampai dia meminta maaf. Kelakuan Agam yang seperti itu hampir satu minggu. Rasanya Regina ingin berteriak saat itu juga. Namun, dia tidak bisa melakukannya. Jika di kampung, dia bisa membentak sang adik yang tidak menurut itu hal biasa tapi dia tidak berada di rumah. Hidup bersama pria asing, seperti menekan sisi lain di dalam dirinya. Sekitar setengah jam Agam keluar dengan pakaian santai. Celana di atas lutut, serta kaos oblong abu, suaminya itu sangat suka dengan pakaian berwarna abu. Terbukti dengan pakaian yang selalu dipakainya hampir tiap hari di rumah, furniture rumah pun di d******i berwarna abu. “Harus berapa kali kubilang, handuk basahnya jangan dibiarin di atas sofa dong,” tegur Regina sambil menghentakan pisau dapur dengan keras menimbulkan suara. Agam yang melihat itu segera meraih handuk dan menjemurnya. “Kalau dibilangin, jangan hanya diam. Kayak nggak punya mulut saja,” sindir Regina. Seminggu menikah dengan Regina, Agam cukup terkena tekanan batin. Sang istri benar-benar sangat pintar dalam hal mengomel, tidak hanya itu saja bahkan sangat pandai membantah. Agam duduk mengambil air minum sambil memperhatikan Regina yang terus saja mengomelinya. Ya, memang dia salah selalu melepaskan sepatu begitu saja, apalagi handuk basah yang tidak langsung dijemur. "Pantesan 26 tahun masih belum nikah, jomlo lagi, gimana nggak Jomlo kalau tukang ngomel. Mana ada cowok yang mau sama cewek tukang ngomel," sindir Agam. "Heh, Anda nyindir saya tapi tidak sadar diri. Situ juga sudah 33 tahun tapi jomlo, belum menikah, pakai kabur segala lagi dari perjodohan." Regina tidak kalah menyindir Agam membuat pria itu menatapnya tajam. Regina memang pintar membantah dan mengembalikan perkataan Agam. Bahkan Agam sendiri tidak tahu, alasan Tuhan memilih Regina menjadi istrinya. Menikahi Regina, bagi Agam adalah sebuah kesalahan takdir. "Jaga bicaramu, ya." "Kalau Anda bicara baik-baik dengan saya, saya akan sopan." Tatapan Agam dibalas tatapan mata melotot oleh Regina. Cukup sikap Agam yang dingin padanya, dia tidak ingin pria itu juga menindasnya. “Pintar sekali kau membantah.” “Terima kasih pujiannya,” ucap Regina sambil duduk, dia ikut makan. Setelah cukup lama diam, keadaan pun menjadi canggung di antara mereka. “Kau tidak punya pekerjaan?” Agam bertanya walaupun awalnya dia ragu, egonya untuk memulai percakapan dikikis. Dia tahu, jika Regina tidak akan mengatakan sebelum ditanya. “Tidak untuk sekarang!” jawab Regina. Dia memang tidak punya pekerjaan, karena rencana travelingnya. “Saya resign bulan lalu!” lanjutnya. “Why?” Regina menghela napas kasar, dia benar-benar tidak ingin membahasnya. Mengingat alasannya resign tapi berakhir menikah membuatnya ingin sekali marah-marah. “Saya akan mencari pekerjaan!” Bukan menjawab pertanyaan, Regina mengatakan hal lain. “Kerja apa?” “Nyuci piring di restoran mungkin! Itu salah satu pekerjaan yang sangat mudah didapatkan, peluang diterima juga cepat,” jawab Regina ngasal. Agam hanya menghela napas, dipikirannya pekerjaan seperti itu memang cocok bagi Regina yang kelihatan tidak memiliki keahlian. “Besok kita akan ke rumah orang tuaku. Nenek baru saja kembali, dia ingin bertemu!” ucap Agam. Regina hanya menganggukan kepala. “Okay!” Alis Agam tertaut, “Kau tidak–” “Tenang saja, saya sudah bilang jika saya bisa menjadi patner baik. Saya tidak akan mencoreng nama baikmu kok,” ucap Regina beranjak dari tempat duduknya. Dia mulai membersihkan meja makan, kemudian mencuci piring. Melihat punggung Regina yang begitu telaten, dia bisa sedikit mengerti jika keahlian Regina mengurus keperluan rumah. * Regina menghela napas kasar, menatap kebisingan kota Jakarta dari balkon kamar miliknya. Rencana bertahun-tahun untuk traveling, sirna begitu saja. Pertama kali mendapatkan izin dari sang ayah melakukan perjalanan antar pulau, berakhir menjadi sebuah pernikahan. Kekehan kecil saat mengingat dulu dia pernah menjadi bahan ejekan teman sekelas dengan julukan anak jakarta. Nyatanya, ejekan itu berubah menjadi kenyataan. Lucu sekali hidupnya. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Regina. Saat membuka pintu Regina masih terkejut dengan sosok pria di hadapannya. Padahal mereka sudah menikah tujuh hari tapi masih belum menerima sosok pria di hadapannya itu. “Hari ini eyang pulang–” “Iya, aku siap-siap dulu.” Regina memotong perkataan Agam kemudian menutup kembali pintu. Jangan berpikir jika Agam pernah melihat Regina melepas jilbab di hadapannya. Wanita itu sama sekali tidak pernah melepaskannya. Sekat di antara mereka sangat tebal dan tinggi. Bagi Regina, Agam bukanlah suami sesungguhnya yang wajib diperlihatkan auratnya, bahkan pria itu tidak pernah menjadi imam walaupun seminggu tinggal dengan Agam dia tahu jika suaminya seorang pria yang rajin beribadah. Beberapa menit kemudian, Regina kembali dengan setelan terusan berwarna blue ice berpadu dengan pasmina. Cukup sederhana, bahkan dengan polesan make up tipis tambahan lipgloss di bibirnya. Lipgloss yang dipakai mampu menutup bibir Regina yang mungkin memucat karena gugup. Dia hanya bertemu dengan mertua serta iparnya saat akad nikah, wajah ibu mertuanya sangat jelas menatapnya penuh ketidaksukaan. Mungkin karena Regina bukan calon menantu yang diinginkan. “Tetap di sampingku jangan berkeliaran,” ucap Agam melirik ke arah Regina. “Memangnya saya hewan, berkeliaran!” “Regina, saya tidak ingin berdebat denganmu. Tidak untuk sekarang!” tegas Agam tetap fokus pada kemudinya. “Abaikan saja apa yang Mama katakan, jangan menaruhnya dalam hati.” “Iya!” Pikiran Regina terbayang tatapan tajam oleh sang mertua, membuat tubuhnya merinding. Dia menginginkan mertua yang baik tapi mendapatkan mertua yang menyeramkan. “Mungkin Mama akan membuat kita cepat pergi, jangan terpengaruh. Karena ini acara keluarga, kau pasti bisa menebak jika tidak hanya keluargaku saja yang datang.” “Iya!” Mendapat jawaban Regina seperti itu, Agam melirik ke arah istrinya, bisa Agam lihat jika Regina sedikit gugup, mungkin takut. Bahkan wanita yang sering membantah perkataannya, kini menjawab satu-dua kata, saja. Sekitar tiga puluh menit, keduanya sudah sampai di depan pintu rumah orang tua Agam. “Ayo turun!” Regina menghela napas dalam mencoba mengatur napas. Agam masih melihat Regina yang masih diam di kursi. Untuk menghilangkan kegugupan Regina, Agam mengulurkan tangan menggenggam tangan Regina membuat istrinya terkejut dan langsung menghempaskannya. “Jangan cari kesempatan dalam kesempitan, ya!” bentak Regina. “Main pegang-pegang!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD