The king of devil

1825 Words
Rayyan POV "Ya.. Allah.. Nona Aurel.." Gadis itu dalam kondisi tertidur dengan posisi duduk dan dipasung di bagian kaki, bahkan tangan lemah itu terikat kuat oleh sebuah borgol besi. Aurel tampak tenang dalam tidurnya. Namun aku merasa ada yang janggal. Gadis itu seperti dalam pengaruh obat tidur dengan dosis yang terlalu tinggi. Setahuku obat bius dijual secara khusus dan tidak bisa dibeli sembarangan. Aku bergerak mendekat pada gadis itu. Dan meletakkan dua jariku pada pergelangan tangannya, kuhitung denyut nadi nya. Astaghfirullah, denyut nadinya terlalu lemah. Berada di bawah angka 90. Seharusnya kondisi ini hanya akan terjadi pada pasien yang akan melaksanakan Operasi. Kasihan sekali Aurel, dia pasti sudah di suntikkan obat penenang dalam dosis yang tidak ditentukan. "Ya Allah ... tega sekali yang memberinya obat tidur dalam dosis tinggi seperti ini. Tapi Dari mana Mr. Felix mendapatkan obat tidur?" Aku mengusap wajah gadis itu. Dan melihat beberapa bekas telapak tangan yang memerah di pipinya. "Ya Allah ... Aurel ... siapa yang menamparmu sampai seperti ini?" Kuusap pipinya lembut. Aku paham... Orang yang memiliki gangguan kejiwaan sejenis Skizofrenia memang sangat labil. Mereka bisa berteriak-teriak dan melakukan hal yang bisa membuat orang disekitarnya menjadi semakin emosi. Tapi tak seharusnya penderita Skizofrenia diperlakukan seperti ini. Harusnya mereka sadar, hal justru akan semakin membuatnya sulit untuk sembuh. Aku bergerak ke arah dapur dengan sangat tergesa. Dan tanpa sengaja diriku malah bertemu dengan Bibi Ana. "Ada apa Tuan muda datang ke dapur? Apakah anda ingin makan sesuatu? Katakan pada saya ... nanti akan saya sampaikan pada koki mansion ini," ucap Bibi Ana sopan pada ku. "Tidak Bi, saya hanya butuh kencur yang diparut kasar dan air hangat serta handuk. Bisakah Bibi siapkan untuk saya?" "Baiklah, tunggu sebentar Tuan Muda ... saya akan menyiapkannya." Bibi Ana bergerak menuju dapur untuk menyiapkan hal yang aku minta. Tak lama kemudian, beliau datang kembali pada ku membawa handuk kecil, sebelanga air hangat, dan semangkuk kencur yang diparut kasar. "Ini Tuan Muda." "Terima kasih ya Bi. Owh ya Bi, tolong panggil saya Rayyan saja. Jangan Tuan Muda karena di sini saya bukan Tuan anda, saya juga bekerja untuk Tuan Felix, sama seperti Bibi," ucapku pada Bibi Ana. Namun Bibi Ana malah membungkuk sopan pada ku. Ahhh- aku semakin kikuk saja. Aku tidak terbiasa diperlakukan seperti ini. "Maaf, ini sudah perintah Mr. Felix. Semua perintahnya di Mansion ini adalah mutlak," ucap Bibi Ana kembali membungkuk padaku. Ah... Lagi-lagi Mr. Felix. Dia sungguh memanfaatkan kekuasaannya untuk menundukkan orang lain. Padahal Bibi Ana lebih tua dari Tuan besar itu. Seharusnya dia yang berperilaku lebih sopan pada Bibi Ana. Tapi ya sudah lah. Sekarang yang terpenting aku harus mengobati lebam pada wajah Aurel. "Ya sudah kalau begitu, oh ya Bi ... bolehkah saya bertanya sesuatu?" Bibi Ana membungkuk kembali. Ah ... aku sungguh semakin risih. "Selama tidak melanggar peraturan mansion ini, saya akan menjawabnya," jawabnya membuatku memberanikan diri untuk bertanya. "Siapa yang Memasung kaki nona Aurel?" "Maaf sesuai peraturan no. 173A, para pekerja Mansion baik dalam jajaran Pelayan, Bodyguard, Koki, penata taman, maupun penjaga dilarang membuka rahasia keluarga besar Tuan Felix." Ah. Disini ada peraturan nya juga? Luar biasa. Seperti negara saja sampai peraturan ada nomor urutnya. 173A... Sebanyak apa peraturan di sini? Kenapa tak ada yang demo sih? "Ya sudah tak apa Bi. Saya permisi." Jujur aku kecewa karena tak mendapat jawaban. Aku pun berjalan menuju kamar Aurel. Ku usap pipi yang lebam itu dengan handuk yang sudah dibasahi air hangat. Sedikit kutekan agar darah yang membeku di sana kembali mengalir. Ya Allah. Kasihan sekali gadis ini. Tak hanya itu... Aku juga membalurkan kencur yang diparut kasar pada luka lebamnya. secara alamiah kencur memang berfungsi untuk mengurangi efek lebam. Sifat hangatnya mampu membantu melancarkan kembali aliran darah. Sehingga secara perlahan-lahan warna lebam itu akan menghilang karena sudah tidak ada lagi darah yang membeku di sekitarnya. Tak lama kemudian, gadis itu menggeliat karena terganggu tidurnya. Sepertinya pengaruh obat tidur itu sudah tidak bekerja lagi. Dan ku perhatikan tubuhnya mulai bergerak tak terkendali. Keningnya berkerut dengan mata yang tertutup rapat. Ekspresi nyata itu menunjukkan bahwa dia sedang ketakutan. Dan tanpa ku sangka. "$##agfdah$$$@wyjejuej$@$iehdg&@$@$hehsh&@$#hs" gadis itu berteriak-teriak, dengan bahasa yang tak bisa aku mengerti. Sepertinya itu bahasa asing. Aurel semakin histeris. Mungkin karena kejiwaan skizofrenianya kambuh lagi. Walaupun Aurel dalam kondisi kaki dipasung dan tangan di borgol, tenaganya cukup kuat. Dia bergerak secara liar, hingga kayu pasung itu berpindah posisi. Aku kewalahan... Dan akhirnya berinisiatif memeluk tubuh gadis itu, agar dia berhenti bergerak. Tapi nyatanya dia semakin liar dan tak terkendali. Membuatku mengeratkan pelukan di tubuhnya. "Sa$@##gauuwgwt$@$#wooendn$@#@@dbgqgf$@$@" dia tetap meronta sambil berteriak-teriak. Cukup lama aku bertahan memeluk tubuh nya. Hingga akhirnya dia terdiam karena kehabisan tenaganya. Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk membingkai wajahnya dengan kedua tanganku. Matanya terpejam dengan bergetar. Dari celah kelopak matanya, aku melihat kristal bening itu menetes. Aurel menangis bahkan hingga tubuhnya berguncang hebat. Kembali kupeluk tubuhnya dengan erat. Sudah tak ada lagi perlawanan. Aku mengusap rambutnya perlahan. Berusaha mengalirkan ketenangan. Dan tanpa sadar. Aku mengecup keningnya. Semua gerakan itu refleks aku lakukan karena aku merasa iba pada keadaannya. "Tenanglah, ada aku disini.” Cup... "Tenang ya." Cup... "Jangan bersedih lagi." Cup... "Aku akan selalu ada untukmu." Cup... Aku merutuki perbuatanku, seharusnya aku tak mencium wanita yang bukan muhrimku. Ya Allah ... hamba sudah berzinah ... Mencium wanita yang bukan mahrom hamba. Ampuni Hamba ya Allah... Aku hanya bisa membatin, tapi tangan ini tak melepas pelukanku. Bukankah segala sesuatu tergantung niatnya? Bahkan aku memeluk gadis ini tanpa nafsu. Aku hanya berusaha menyalurkan kedamaian di hatinya. Kubingkai wajahnya dengan kedua tatanganku, kemudian kembali bicara. "Look me please. (Lihat aku)," ucapku, namun matanya tetap saja terpejam. "Open your eyes please... Look me... Look my eyes please... (Buka matamu, lihat aku. aku mohon lihat aku)," ucapku kembali dan gadis itu malah menggeleng. Ku rasa ada hal yang membuatnya takut. Apakah karena kemarin dia baru saja menerima hal buruk? Suatu kejadian antara hidup dan mati. Saat Aurel terjatuh dari gedung berlantai enam. Dan kini dia mengalami depresi berat. "Apa kamu takut?" tanyaku dan dijawabnya dengan anggukan kepala dengan air mata yang terus meleleh. Ah... Ampuni hamba ya Allah... Cup... Cup... Aku malah mengecup kedua matanya. "Maafkan aku Bunda ... aku sudah menjadi laki-laki yang tak menjaga diri dari gadis yang belum menjadi istriku." Aku kembali membatin. "Jangan takut, ada aku di sini. Ayo buka matamu," ucapku dan Aurel kembali menggeleng sebagai jawaban. Air mata itu tetap saja meleleh. Bibir pucat dan pecah-pecahnya bergetar. "Lihat aku ... aku tak akan menyakitimu." Aku berusaha meyakinkan dirinya, namun dia tetap diam membisu. Tak menggeleng ataupun mengangguk. "Percayalah padaku," ucapku kembali, namun nyatanya dia masih bungkam tanpa ekspresi. "Ao you understand what i say? (Apa kamu mengerti yang aku ucapkan?)" mungkinkah dia tak mengerti Bahasa Indonesia? Membuatku bertanya dalam Bahasa Inggris. Aurel mengangguk dengan mata yang tetap terpejam. "Come on open your eyes now(Kau harus buka matamu sekarang.)" Tanpa sadar nada bicara ku agak meningkat dan terkesan memerintah. Aku cukup kesal karena seolah bicara dengan patung. Hal itu membuatnya kembali memberontak dan berteriak-teriak. "Sahy$@$#@wbsh$#@jkeh$@$$#efwf#@$$@" Aurel kembali bicara dalam bahasa asing entah bahasa apa. Aku kembali memeluknya sekuat tenaga. Bahkan sampai aku terjatuh dan kami sama-sama tergeletak di lantai marmer yang dingin, dalam posisi berpelukan. No... Lebih tepatnya aku yang memeluknya sekuat tenaga untuk menahan gerakannya yang liar. "Oh My god ... rupanya orang gila tenaganya sangat kuat." Aku kembali membatin. Aku cukup lelah menghadapi amukannya. Bahkan telingaku terus berdenyut saat dia berteriak tepat di telingaku. "Luar biasa ... ini hari pertama ku menghadapi bule gila." Aku kembali membatin. Dan. BUGH... "AWWWW.." Aku meringis kesakitan karena menyikut perut ku dengan lututnya. "$@bfyw$@$@jhw$@#@$hwvfwhh$$#@" Aku semakin pusing, karena tak mengerti apa yang dia katakan. Yang aku tahu itu pasti sebuah caci makian. "TENANGLAH AUREL ... TENANG ...!!!" habislah sudah kesabaran ku. Aku berteriak membuatnya kembali menangis. Namun dia sudah lebih tenang. Cup.. Cup.. Cup.. Cup.. Kini aku yang merasa bersalah karena secara sadar aku kembali mengecup seluruh wajahnya. Kedua matanya... Hidungnya... kedua pipinya... Dagunya... Kecuali bibir... Aku takut tak bisa mengontrol nafsu jika mengecup bibirnya. Tolong jangan katakan aku mencari kesempatan dalam kesempitan, karena yang aku tahu para penderita gangguan jiwa adalah orang-orang yang tak punya tempat untuk berbagi kesedihannya. Intinya mereka adalah orang-orang haus kasih sayang... Krisis kasih sayang... Butuh kasih sayang... Dan biasanya mereka adalah korban bully ataupun kekerasan mental. Untuk menyembuhkan penyakit itu, aku harus bisa menjadi sosok tempatnya untuk mendapatkan kasih sayang. Dan aku harus tahu apa yang terjadi pada masa lalunya, hingga dia mengalami cacat mental ini. "Tenanglah, aku akan membuka pasung di kakimu dan borgol di tanganmu. Percayalah ... bahwa aku menyayangimu." Dia diam. "Apa kau percaya pada ku?" Dia masih diam. "Kalau kau diam ... itu artinya kau percaya pada ku ... tunggu ya ... aku cari kuncinya dulu." Aurel tetap diam, hanya air mata yang terus mengalir. "Kau tak apa aku tinggal sendiri?” ucapku berusaha membuatnya percaya pada ku. "Hanya sebentar, dan aku akan segera kembali.” Akhirnya gadis itu mengangguk. Aku pun segera bangkit lalu merapihkan pakaianku. Tak lupa mendudukkan tubuhnya, merapihkan rambut kecoklatan itu dengan lembut. Kemudian bergerak keluar kamar. Aku bertanya kepada para Bodyguard yang berlalu-lalang. “Permisi, bolehkah saya bertanya pada kalian?" “Ya Tuan.” Ah... Lagi-lagi panggilan itu. Jujur aku tak suka dan tak terbiasa. "Saya psikiater nona Aurel, saya ingin bertemu dengan Mr. Felix ... di mana ruangan nya?" "Mari saya antar." Aku pun berjalan mengikuti bodyguard bertubuh tegap itu. Hingga akhirnya aku sampai di ruangannya. Sebuah ruangan yang didominasi warna hitam dan putih. Ruangan klasik dengan lukisan yang dipajang pun berwarna hitam dan putih. Mungkin warna hitam dan putih adalah warna favoritnya atau dia tidak suka hidup yang berwarna. Entahlah... Aku rasa dia tipe orang yang tidak suka hidup yang berwarna ... lihat saja wajahnya datar. Pantas saja putrinya menjadi kesepian dan kurang kasih sayang. "Ada apa?" ucapnya tanpa basa-basi. "Maaf saya mengganggu waktu anda Tuan." "Katakan ada apa." "Saya ingin bertanya ... apakah anda yang memasung dan memborgol Nona Aurel?" "Kalau iya memang kenapa?" Pria ini sungguh kejam. Apa panggilan yang cocok untuknya? Raja singa? Tidak, itu nama penyakit. Raja buaya? Tidak juga dia bukan pria yang terlihat seperti buaya darat. Wajahnya flat. Sepertinya dia cocok dengan panggilan the king of devil. "Apakah anda sadar ... yang anda lakukan justru semakin membuatnya sulit untuk disembuhkan ... jadi saya minta pada anda ... tolong lepaskan pasung dan borgol nona Aurel." Aku berusaha bicara selembut mungkin. Padahal hatiku ingin sekali memakinya. "Berani sekali kau memerintahku?" "Maaf jika saya lancang ... seharusnya anda sadar ... anda sudah keterlaluan," ucapku tak sanggup menahan emosi. "Jangan pernah berani memerintah saya ... atau peluru ini akan menembus kepalamu." Mr. Felix tampak sangat marah. Terlihat dari wajahnya yang memerah dengan rahang yang mengeras. Aku bahkan bisa mendengar gemertak suara giginya. Mr. Felix mengarahkan sebuah senapan ke arah kepalaku. Tapi aku tidak gentar. Dia memang salah dan seharusnya sadar. "Dan perlu anda ketahui. Saya tidak takut ancaman anda. Disini saya adalah psikiater nona Aurel ... jadi saya berhak melakukan apapun demi kesembuhannya," ucap Rayyan geram menahan amarah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD