JILATAN 21

1040 Words
Moko marah kepada Manjani dan memutuskan untuk pergi ke luar kota walaupun sedang tidak ada proyek apa pun. Itu dikarenakan perilaku Manjani yang dinilai Moko makin ngawur saja. Sebab tak bisa meluruskan istrinya, lebih baik ia pergi saja. Daripada pusing karena adu mulut terus. Moko sebenarnya sedang tak nyaman dengan banyak hal yang terjadi di rumahnya. Semua itu berpusat pada anak gadis yang dibawa Sekaryani. Lathi, gadis itu, sepertinya bukan manusia, pikir Moko. Kepergiannya ke luar kota adalah untuk menenangkan pikiran. Meluruskan akal. Moko bergabung dengan orang-orang berpeci putih. Menginap di surau dan mendalami ayat-ayat suci. Dua bulan berlalu setelah peristiwa si Komodo yang kepalanya buntung. Lathi belum mau bersekolah. Ia selalu bersembunyi ketika dicari oleh Sekaryani. Lathi pergi ke gudang belakang dan bermain dengan tokek-tokek di sana. Suara berisik tokek-tokek itu membuat gaduh isi rumah. Sekaryani sudah dipanggil ke sekolah dan menemui wali kelas Lathi, bu guru Memes. Ia diberitahu bahwa sebentar lagi ulangan kenaikan kelas. Kalau Lathi tidak hadir, maka Lathi harus mengulang kelas. "Saya usahakan Lathi akan hadir saat ujian." "Lebih baik lagi kalau Lathi bisa masuk sebelum ujian," kata bu guru Memes. "Nilai kehadiran cukup berpengaruh." "Tapi, Lathi anak yang pandai. Dia pasti bisa mengejar ketertinggalan materi. Dia belajar sangat cepat, bu." "Saya pun mengakui, Lathi adalah yang paling cepat paham kalau diajari materi baru. Tapi bukan itu masalahnya. Aspek dari pendidikan, selain kemampuan belajar, kedisiplinan juga penting. Bagaimana ya, mohon maaf sebelumnya, banyak dari wali murid menyatakan perasaan tak nyaman kalau anak-anak mereka berada satu kelas dengan Lathi. Saya pun ikut merasakan dan mengamati. Bila Lathi masuk sekolah, selalu saja ada peristiwa yang melibatkan cicak atau tokek. Dan saat Lathi tidak masuk sekolah, semuanya aman-aman saja." Sekaryani tidak enak mendengarkan ujaran seperti itu. Ia jadi merasa gagal lagi mendidik Lathi. Mungkin karena ia disibukkan oleh pekerjaan rumah dan kisah asmara ambigunya bersama Manjani. Ah, harusnya kisah itu sudah berakhir. "Lalu apa saran bu guru? Lathi tidak usah sekolah begitu?" Bu guru Memes tampak menarik napas perlahan. "Maksud saya bukan begitu. Saya sangat senang dengan Lathi. Saya pun memiliki pandangan yang sama dengan bu Sekaryani. Semua anak harus memiliki kesempatan yang sama. Hanya saja, laporan dan keluhan begitu banyak yang masuk." "Tapi, yang saya lihat setiap saya sesekali mengantar Lathi ke sekolah dan menungguinya, Lathi tampak berteman baik dengan anak-anak lain. Anak-anak tampak tidak risih dengan Lathi." "Sebagian iya, sebagian tidak, bu." "Lantas bagaimana solusinya? Saya ingin Lathi bisa berbaur dengan anak-anak normal lainnya." Sekaryani menyesali perkataannya. Pernyataannya itu seperti duri yang sengaja ia selipkan ke daging masakannya sendiri. Ia memecahkan prinsipnya, bahwa Lathi adalah anak normal. Kenyataannya, Lathi tidak normal. "Saran saya, bu. Kalau bu Sekaryani tidak keberatan. Alangkah baiknya kalau Lathi belajar di rumah saja. Istilahnya Homeschooling." "Lalu Lathi akan kehilangan kesempatan bersosialisasi. Sungguh solusi yang baik." Sekaryani sebal, ia langsung pergi saja. Ia tak mau repot membuang waktu dengan orang yang tak mau mengubah keadaan. Yang pasrah saja dengan tatanan yang sudah ada, tatanan mata memicing yang tak adil. Bu guru Memes memanggil-manggil dari belakang, Sekaryani tidak peduli dan tak menggubris. Ia kadung sakit hati. "Baiklah kalau memang masyarakat tidak bisa menerima Lathi. Persetan kau masyarakat!" Sesampainya di rumah, Sekaryani mencari Lathi yang sedang bermain di gudang. Menyingkirkan risih terhadap kehadiran puluhan tokek dan ratusan cicak serta menghindari debu penyebab bersin dan bengek, ia mengangkat Lathi, menggendongnya dan memeluknya erat-erat. "Mama kenapa?" "Mama sayang Lathi." "Lathi juga sayang Mama." Sisa hari itu digunakan Sekaryani untuk memanjakan Lathi, dengan mengusap kepala anak itu, menggunting kukunya yang sudah panjang, membersihkan kotoran telinga, serta menciuminya setiap menit. Lathi sampai tertidur pulas, walau hari masih sore. Selepas Maghrib Sekaryani masuk ke kamar Manjani, yang dicarinya sedang tidak ada di kamar. Sekaryani tak bisa lagi membendung rindu dan penyangkalannya. Dulu ia sempat mengubur rasa-rasa ini. Rasa yang secara tega ia matikan tapi dengan bandel bangkit hidup lagi. Sekaryani menanggalkan pakaian dan bersembunyi di balik selimut. Menunggu orang kesayangannya. Manjani baru keluar dari pos jaga Waluyo. Kata terakhirnya kepada si mantan preman itu adalah, "Kapan-kapan kita akan main bertiga." Tak disangkanya itu akan terjadi malam ini. Manjani terkejut dengan kehadiran Sekaryani di atas tempat tidur. Sudah tidak memakai apa-apa, hanya ditutupi selimut saja. Detik itu juga imajinasi liarnya menjulurkan lidah berapi-api. Tapi ia tidak boleh terburu-buru. Manjani bergabung dengan Sekaryani. Sebelum terjadi malam paling tak terlupakan, Sekaryani memeluk Manjani dan menangis, ia curhat dulu. "Kalau memang masyarakat tidak mau menerima Lathi, lebih baik kita saja yang mendidik sendiri Lathi. Persetan dengan ungkapan 'butuh satu kampung untuk mendidik satu anak'." Lalu mereka melakukan pemanasan. Manjani sengaja menutup mata Sekaryani dengan kain. Katanya rasanya akan berbeda. Manjani bilang akan bersiap-siap dulu, mau cukur bulu kemaluan dan membasuhnya dengan racikan daun sirih. Padahal sesungguhnya ia pergi keluar untuk mengundang Waluyo. Ia mendatangi pos jaga Waluyo dengan tanpa pakaian. Tentu saja Waluyo yang melihat itu sampai tenggelam jakunnya, mengikuti seperti anjing yang mengendus bau makanan. Di sana, di kamar utama pasangan suami istri Moko dan Manjani, di mana si suami sedang tidak ada di sana, terjadilah permainan lendir antara tiga manusia. Satu tertutup matanya, pasrah tubuh dijilati dan dibikin menggelinjang oleh satu yang memiliki imajinasi liar, yang disodok dari belakang oleh lelaki yang sempat memendam syahwat selama bertahun-tahun dalam rangka meningkatkan tenaga dalam. Permainan itu adalah yang pertama bagi ketiganya. Pertama yang paling menakjubkan. Rasanya surga sedang turun ke kamar itu. Si lelaki yang perkasa itu baru pertama kali itu dapat menyodok dua lubang sekaligus dalam satu waktu. Ia begitu dibuai. Puncaknya, muntahan putih miliknya dilahap oleh si pemilik imajinasi liar. Sekaryani belasan kali mengalami momen distorsi kenikmatan. Ia tertidur pulas setelah permainan itu selesai. Ia tidak tahu apa yang dilakukan Manjani terhadapnya. Ia memasrahkan diri untuk dibahagiakan. Di pagi hari saat bangun, ia menanyakan itu kepada Manjani, "Apa yang kamu perbuat padaku? Rasanya sungguh lain." "Aku punya mainan ajaib." "Apa itu?" "Tongkat perkasa ajaib," jawab Manjani. Mereka bertiga tidak tahu. Malam-malam gaduh di kamar pasutriitu membuat bangun si anak kecil di kamar belakang. Lathi terbangun dengan mataputih belaka. Ia merayapi dinding dan langit-langit seluruh rumah, mencarisumber bunyi gaduh melenguh-lenguh. Dari lubang angin pintu kamar itu, Lathimelihat tiga orang sedang berolahraga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD