JILATAN 22

1030 Words
Memang benar kata guru premannya dulu, pikir Waluyo, masuknya tongkat perkasamu ke dalam lubang yang tepat bisa membuatmu gila. Waluyo seumur-umur baru kemarin itu mendapatkan pengalaman menakjubkan. Otot-ototnya lemas semua setelah meluruhkan puncak inti jiwa. Kundalininya menyala sempurna. Malam setelah permainan bertiga itu Waluyo tidur dengan mimpi hening di mana ia berdiri di hamparan hijau menenangkan jiwa. Dulu sewaktu masih sesat dan beringasan jadi preman di pasar, Waluyo suka menyewa gadis panggilan untuk diajaknya tidur di gudang kosong. Waluyo heran, bercinta dengan gadis-gadis panggilan itu tidak semengesankan bercinta dengan Manjani dan Sekaryani. Waluyo diajari banyak gaya oleh guru premannya, bahkan pernah bermain bersama dalam satu ruang. Tapi semua itu tetap kalah oleh pengalamannya baru-baru ini. Jauh bedanya. Yang dulu itu rasanya kosong, walau tetap enak. Yang sekarang, benar-benar luar biasa. Sensasinya membuat kesadaran Waluyo mengalami pencerahan terpuncak. Di pos jaga rumah Moko, setiap habis berolahraga bertiga, Waluyo mengalami yang ia sebut dengan meragasukma. Hal yang dulu ia tak berhasil capai. Waluyo adalah termasuk orang-orang yang berubah karena cinta, terutama karena perempuan. Dulu ia dan Manjani tinggal satu desa. Waluyo tidak tamat SMP, ia kadung gandrung kumpul sama preman-preman. Di usianya yang setara dengan Manjani duduk di kelas sembilan, Waluyo sudah kenal bawuk. Waktu itu pun, Waluyo sedang naksir Manjani. Tapi Manjani tidak memberi sinyal yang sama. Waluyo tidak menyerah, setiap hari ia selalu membarengi Manjani jalan kaki ke sekolah, sementara tujuannya ke pasar. Manjani tidak mengusir Waluyo yang selalu berjalan di sampingnya. Tapi tak ada satu patah kata pun yang diucap Manjani kepada Waluyo. Kecuali satu kali, "Semoga kamu kembali ke jalan yang benar." Menginjak tingkat selanjutnya, Manjani masuk SMA favorit di kecamatan. Sementara Waluyo sudah dianugerahi gelar bos preman baru oleh gurunya yang sudah tua dan sekarat karena muntaber. Semenjak itu Waluyo jadi susah mendekati Manjani. Itu karena dirinya yang semakin sibuk menghajar preman-preman kelas curut yang tak beres dalam memberinya setoran. Pun karena Manjani tampak menghindari Waluyo. Sekalipun pernah Waluyo berpapasan muka dengan Manjani, ada raut merana terpampang di sana. Waluyo jadi tak enak hati. Ia mengamati dari jauh saja sembari menyuruh salah satu anak buah premannya untuk mengintai kegiatan Manjani. "Semakin hari kuperhatikan, ceweknya bos semakin sedih mukanya." Lapor salah satu anak buah Waluyo. "Bisa kauselidiki kenapa?" "Akan aku usahakan bos." Waluyo pernah mencoba mendekati Manjani saat perempuan itu mampir ke warung. Tapi, Manjani langsung kabur sambil menutup muka. Waluyo jadi bingung. Pemilik warung pun ikutan bingung melihat Waluyo yang biasanya garang memalak bermuka bingung. "Bagaimana?" tagih Waluyo kepada anak buahnya. "Maafkan aku bos. Aku tidak bisa mencari tahu lebih dalam. Rumahnya tertutup. Andai saja aku bisa baca pikiran bos, pasti lebih gampang." Anak buah itu kena gampar Waluyo dan besok paginya ditemukan pingsan tak sadarkan diri di sebuah parit, dikerumuni tikus got. Waluyo sempat khawatir mengetahui bahwa Manjani beberapa kali tidak masuk sekolah. Padahal anak buahnya melapor Manjani keluar rumah berangkat sekolah. Waluyo nekat masuk ke sekolah dan mencari-cari Manjani. Dan siapa tahu ia mendapati pemuda sialan yang barangkali jadi penyebab murungnya Manjani. Tapi hasilnya nihil. Tidak mau pulang bertangan hampa, Waluyo memalak anak-anak tajir di SMA itu. Guru yang mengetahui keberadaan Waluyo pura-pura melengos tidak tahu. Atau barangkali takut pula dipalak olehnya. Seminggu dua minggu berlalu, Waluyo tak mengetahui keberadaan Manjani. Sampai pada suatu hari berbarengan dengan kenaikan kelas. Manjani muncul di sekolah dengan wajah yang berbeda. Wajah yang jenaka dan penuh akal. Di suatu sore, anak buah Waluyo melaporkan berita yang membuat si bos preman itu lompat dari singgasana kursi rotan. "Rumah Manjani kebakaran, bos." Waluyo berlari tanpa mengajak anak buahnya menuju rumah Manjani. Ia segera merebut ember-ember air yang diangsurkan tetangga. Waluyo teramat khawatir bila Manjani terjebak di dalam. "Tidak! Tidak!" Waluyo akrab dengan suara jeritan perempuan yang muncul dari kerumunan. Ialah Manjani, kalut melihat rumahnya terbakar. Setelah api padam, Manjani pingsan, sebab warga mengangkut dua mayat hangus dari dalam rumah. Dua orang itu adalah bapak dan pamannya. Waluyo berusaha menenangkan Manjani. Ia semalaman suntuk menjaga Manjani yang mengungsi ke rumah bibinya. Waluyo berjaga di luar. Mendekati subuh, Manjani keluar dan membuatkan kopi buat Waluyo lalu ia berkata hal yang membuat Waluyo berubah dari preman menjadi orang lurus. "Kamu mencintaiku, mas?" "Sejak dulu, dik." "Tapi maaf, mas, aku tidak." "Tidak sekarang, tidak apa-apa, tapi nanti, siapa tahu. Aku akan tetap menunggu." "Bila saja waktu itu tiba, kamu pasti berbahagia." "Tentu saja." "Bila saja kamu bukan preman, mungkin aku bisa berubah pikiran." "Bila itu yang dibutuhkan untuk mendapatkan cintamu, aku mau." "Baiklah. Aku ingin kamu berhenti jadi preman, dan bergurulah ke tempat ini." Manjani menyerahkan secarik kertas berisikan alamat. "Beberapa minggu lalu aku suka bolos sekolah, aku pergi ke tempat ini. Semoga mas bisa jadi orang lurus kembali." Pagi itu juga, Waluyo pergi ke tempat itu. Satu dua bulan belajar ilmu kanuragan putih di sana, Waluyo sudah menanggalkan keinginan-keinginan duniawi. Tapi cinta masih tetap jalan. Waluyo kembali ke desa untuk menengok Manjani. Namun Manjani sudah tidak ada di sana, ia pergi ke kota untuk bekerja. Waluyo bersabar, ia kembali lagi ke perguruan. "Aku ingin membuat pengakuan," kata Manjani malam itu. Di malam ia ditolak suaminya untuk bercinta. Di pos jaga Waluyo. "Apa itu?" "Kamu ingat rumahku yang terbakar waktu itu?" "Aku ingat." "Akulah yang membakar rumahku sendiri." Waluyo kaget. "Lho, kenapa?" "Karena aku ingin dua orang itu mati." Waluyo ingat, dua orang yang mati itu adalah bapak dan paman Manjani. "Mengapa kamu ingin mereka mati?" "Karena mereka bertahun-tahun memerkosaku waktu aku masih muda dulu." Waluyo wajahnya berubah pucat. Tangannya mengepal. "Kalau saja kamu dulu bilang padaku, aku yang akan membunuh mereka." "Tidak perlu repot, lagipula aku tidak akan menyerahkan kepuasan membunuh mereka kepadamu begitu saja. Aku yang mendendam dan menderita, akulah yang harus membunuh mereka." Dan tanpa ada yang tahu siapa yang memulai, mereka bercinta. Hal yang seharusnya mereka lakukan semenjak dulu ketika masih muda. Bila saja Manjani menerima Waluyo muda yang mencinta. Di suatu pagi yang harusnya ceria, Manjani menjerit membelah fajar. Jeritan histerisnya itu membangunkan Sekaryani dan Lathi, serta sepuluh rumah kiri dan kanan. Pagi mengerikan itu membuat banyak orang menyentuh leher mereka dengan perasaan nyeri dan ngeri. Waluyo ditemukan tewas dengan leher tergorok. Hampir putus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD