2. Satu Kantor

1069 Words
Sangat melelahkan! Semua orang yang baru saja melakukan perjalanan jauh, akan setuju dengan kalimat tersebut, dan inilah yang dirasakan Vanessa saat ini, badannya terasa remuk, padahal ia hanya duduk saja di dalam pesawat yang ditumpanginya. Hal pertama yang dituju Vanessa setelah membuka pintu apartemen Anne adalah, menuju kamarnya sendiri. Apartemen yang memiliki ruang cukup besar ini, memiliki dua kamar, ruang dapur sekaligus ruang makan, dan juga ruang tamu, jangan lupakan balkon yang siap memanjakan mata penghuninya untuk menikmati kota Los Angeles. Buru-buru Vanessa menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, setelah ini ia bisa beristirahat dengan nyaman, tidur adalah surga dunia bagi kebanyakan orang. Cukup lama Vanessa tertidur, hingga terdengar nada dering dari ponselnya. "Halo Sayang, bisakah kamu bangun sebentar untuk mendengarkanku?" Suara Anne terdengar ringan di sambungan telepon tersebut. "Hmm ... ada apa?" tanya Vanessa yang masih enggan membuka matanya. "Kamu mau pesan makanan apa? Mumpung sekarang aku ada di mall, atau kamu ingin titip dibelikan sesuatu?" "Tidak ada, cukup belikan aku makanan yang segar-segar saja." Setelah itu Vanessa tidak lagi mendengar perkataan sahabatnya, karena ponselnya terjatuh sebab ia tidak kuasa menahan rasa kantuknya. Satu jam kemudian, Anne sudah datang dengan beberapa kantong belanjaan, beserta makanan pesanan Vanessa. Setelah berulang kali membangunkan sahabatnya, akhirnya Vanessa mau membuka matanya. "Kamu berisik sekali," gerutu Vanessa seraya memanyunkan bibirnya. "Habis kamu tidur seperti orang mati, susah sekali membangunkanmu," balas Anne tak kalah kesal. Dengan malas Vanessa bangun dan berjalan menuju kamar mandi, setelah mencuci muka, perlahan rasa kantuknya hilang tergantikan dengan rasa segar dari air yang membasahi wajahnya. Tidak ada pembicaraan selama mereka makan malam, perut keroncongan membuat mereka hanya fokus makan dengan lahap. Setelah selesai menghabiskan makanannya, mereka kini mengobrol di ruang tamu seraya menonton televisi. "Kamu tidak lupa 'kan, jika besok ada wawancara?" "Tidak lah, memangnya aku itu kamu yang pelupa," sahut Vanessa santai. "Huh, dasar." Menoyor kepala Vanessa. "Meski aku pelupa, tapi aku adalah sahabat yang paling tulus yang kamu punya," ujar Anne penuh percaya diri. "Ya ... ya, kamu memang sahabatku yang paling tulus dan juga baik," balas Vanessa seraya memeluk Anne. Vanessa tidak dapat memungkiri jika Anne adalah satu-satunya sahabatnya yang terbaik. Mereka berdua bersahabat semenjak bangku kuliah, Vanessa yang notabene anak orang kaya di Indonesia, dia masih merasa keberatan jika berjauhan dengan Anne, alih-alih ikut mengurus perusahaan ayahnya yang terbilang besar di Indonesia, Vanessa memilih kembali ke Los Angeles dengan dalih mencari pengalaman kerja di negara orang, padahal yang sebenarnya, dia masih berat meninggalkan sahabat baiknya tersebut. *** Sesuai jadwal hari ini, sekarang Vanessa sudah berada di kantor MR Group, Ltd untuk proses wawancara. Vanessa langsung menuju meja resepsionis, guna mempertanyakan di mana letak ruangan untuk melakukan wawancara. Tidak jauh dari tempat Vanessa, ada dua orang yang baru saja keluar dari lift. Morgan yang tanpa sengaja melihat sosok gadis yang sudah mengusik hatinya, ia sejenak melupakan keberadaan Anne yang sedang menjelaskan pembahasan pertemuan yang akan mereka lakukan. "Tuan Morgan, bagaimana pendapat Anda?" Anne sejenak menolehkan kepalanya ke arah Morgan, ia penasaran kenapa bos nya tidak menjawab pertanyaannya. Setelah mengetahui jika Morgan tampak fokus melihat sesuatu, Anne refleks mengikuti arah pandang Morgan. "Oh ternyata, dia terpesona dengan sahabatku," batin Anne seraya tersenyum geli, ia tidak heran jika Morgan bisa terpesona dengan Vanessa, dan ini adalah pemandangan biasa baginya. Anne sedikit berdehem untuk menyadarkan Morgan, dan itu berhasil mengalihkan atensi Morgan dari Vanessa. "Tuan, jadi bagaimana menurut Anda? tanya Anne mengulang pertanyaannya tadi. "Baik, lakukan saja," sahut Morgan datar. Namun, dalam hati dia merutuki kelengahannya tadi sebab terpikat dengan pesona gadis yang berada tidak jauh dari hadapannya. Tepat saat mereka kembali melanjutkan langkah, Vanessa juga berjalan di arah yang sama dengan mereka. Vanessa tanpa canggung langsung melambaikan tangan kepada Anne, begitu juga dengan Anne yang tanpa sungkan membalas lambaian tangan Vanessa. Saat pandangan Vanessa bertemu dengan sorot mata Morgan, ia tersenyum dan mengangguk dengan sopan, dia tahu siapa sosok lelaki ini dan apa jabatannya di perusahaan ini, karena Anne sudah menceritakannya kemarin malam. Sedangkan Morgan seperti biasanya, dia hanya mengangguk dengan acuh tak acuh, seolah-olah mereka belum pernah bertemu sama sekali, meskipun ia sangat ingat jika gadis inilah yang mengembalikan dompetnya, namun Morgan tampak tidak berminat mengucapkan terima kasih secara langsung kepada Vanessa. "Benar kata Anne, selain dingin, dia juga sombong dan pelit," batin Vanessa. "Membalas senyuman saja dia enggan," lanjutnya. Vanessa terus menggerutu dalam hati melihat sikap Morgan hingga sampai di ruang tunggu, tempat di mana proses wawancara akan dilakukan. Sedangkan di dalam mobil. "Itu tadi temanmu yang mengembalikan dompetku bukan? Apakah dia salah satu pelamar kerja?" tanya Morgan tiba-tiba, ia sudah tidak tahan lagi untuk mengungkapkan keinginan yang tersimpan dalam benaknya. "Iya, Tuan," sahut Anne seraya mencoba menebak kalimat apa yang akan keluar dari mulut bos nya ini. "Hubungi bagian HRD untuk langsung menerima temanmu tanpa proses wawancara!" perintah Morgan dengan wajah datar. Namun, ada binar bahagia di mata Morgan yang ia sembunyikan dari Anne. "Anggap saja ini sebagai ungkapan terima kasih karena sudah mengembalikan dompetku, ia akan ditempatkan sesuai dengan bidangnya," lanjut Morgan. "Baik, Tuan." Anne langsung menjalankan perintah Morgan, dalam hati ia juga ikut senang karena sahabatnya langsung diterima kerja di perusahaan yang sama dengannya. Sedangkan di dalam kantor. Kini giliran Vanessa yang masuk dalam ruangan wawancara tersebut. Vanessa tidak menyangka jika ia langsung diterima di perusahaan ini tanpa melalui proses wawancara, Vanessa yakin ini ada campur tangan sahabatnya itu, ia harus berterima kasih kepada Anne karena sudah mempermudah jalannya untuk masuk ke perusahaan ini. Mulai besok Vanessa sudah mulai bisa bekerja. Saat jam makan siang, Vanessa langsung mengirimkan pesan kepada sahabatnya. [Terima kasih Sayang, berkatmu aku diterima kerja tanpa proses wawancara.] Saking senangnya, Vanessa berniat akan mentraktir Anne saat ia pulang kerja nanti. [Selamat ya ... tapi sayangnya bukan aku yang membantumu.] Balasan dari Anne membuat Vanessa mengernyitkan dahi. [Jika bukan kamu, lalu siapa?] [Siapa lagi kalau bukan si CEO dingin, dan sepertinya dia tertarik denganmu.] [Jangan bicara omong kosong! Nikmati saja makan siangmu!] Setelah itu Vanessa tidak berniat membalas pesan godaan dari Anne, dia sibuk memikirkan kenyataan ini, mana mungkin lelaki itu berbaik hati menerimanya bekerja dengan mudah? "Apakah sebagai ucapan terima kasih? Bukan lelaki gentle sama sekali," komentar Vanessa, baginya ucapan terima kasih secara langsung lebih tulus daripada apapun, ia tidak menginginkan balasan seperti ini, karena Vanessa lebih percaya dengan kemampuannya sendiri, bahwa ia mampu masuk ke perusahaan ini tanpa bantuan dari siapapun. Namun, semua sudah terjadi, Vanessa hanya bisa pasrah dan menganggap jika ini rezeki yang diberikan Tuhan untuknya... ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD