bc

Maria & Waria

book_age16+
701
FOLLOW
3.4K
READ
friends to lovers
independent
band
sweet
bxg
campus
office/work place
first love
friends
gorgeous
like
intro-logo
Blurb

Ada apa dengan Maria? Pertemuan Maria dengan seorang waria yang tengah mengamen dibully anak-anak kecil, membuatnya tersentuh.

"Hey, b***i kaleng!"

"b*****g!"

"Bences! Hahaha..."

Tak disangka sang waria ternyata teman sekampusnya. Cinta berbeda kasta memang klasik tapi unik. Akankah cinta mereka, Maria - Abeen bertepi?

Cover by : Riandra27

chap-preview
Free preview
1. Humanis
•• Image. Entah kenapa orang-orang selalu ngeributin soal image, penampilan dan printilannya. Maria selalu tertarik mengurusi urusan orang lain. Tapi bukan maksudnya ikut campur. Menurutnya, manusia adalah makhluk yang unik, kompleks, dan penuh misteri. Termasuk dirinya tentu, dan orang di sebelahnya. Dia, masih menyeruput jus alpukatnya. Dia lucu. Pipinya chubby. Mengingatkannya pada seseorang. Maria sering liat dia berseliweran gitu, kadang di komplek rumah atau di gang perkampungan belakang komplek. Gayanya yang nyentrik dan selalu terlihat 'cantik'. "Rumahnya jauh?" tanya Maria. Dia menggeleng,"Mau ngapain, emang?" "Ya, aku anter pulanglah. Emang tuh kaki bisa jalan? Mumpung aku bawa boil," balas Maria. Dia mendengus, menyibak helaian rambut wig-nya yang menempel di pipi. "Nggak usah. Makasih jusnya," ketusnya. Bibirnya yang udah nggak bergincu tapi masih merah. Maria hampir salah fokus sama bibir kuncup milik sang waria ini. Ya, waria! "Sama-sama. Oya, aku Maria. Jadul banget ya namaku?" Maria terkikik. Dia diam aja. Sama sekali nggak menyambut uluran tangan gadis itu. Oke, cukup. Mungkin dia nggak nyaman. Mungkin dia type pemalu atau apa. Tapi keterdiamannya kali ini berbanding terbalik dengan yang dilihat Maria sejam lalu di perempatan sana. Dia bangkit dan sebelumnya merapikan rok terusan brokat coklat muda yang melekat di tubuhnya. "Kita pastinya nggak bakal ketemu lagi. Dan, kalo pun hal itu terjadi, nggak usah sok kenal ntar!" ucapnya datar. Pelan sih. Tapi bisa Maria rasakan kegusaran ditiap nafasnya. "Aku orangnya cerewet dan ramah, jadi nggak janji ya? Lagian kan kamu nggak bilang namamu siapa," sahut Maria. Deg. Mata mereka bersiborok. Tatapnya mengelam namun tajam. "Jadi apa tujuanmu?" tanyanya masih dengan nada yang sama. Tak begitu bersahabat. "Eoh?" "Tujuanmu. Apa?" Maria menggeleng, setengah berdecak, lagian emang nggak ada tujuan. Orang kok parnoan gini. Efek trauma atau apa? Maksudnya, apa tujuanku gitu? Aneh, orang ditolongin malah ngeyel. "Nggak ada. Cuma nolongin. Mereka nggak seharusnya kayak gitu," sahut Maria. Dia menyeringai, kayak meremehkan, sambil lalu menatap. Sekilas. "Mereka cuma anak-anak," bantahnya. "Ya karena mereka masih anak-anak itulah makanya harus diperjelas. Nanti jadi kebiasaan jelek, ngeledekin orang seenaknya, lepas dari itu semua, gimanapun kamu lebih tua dari mereka. Jadi mereka harus menghormatimu. Siapa pun kamu," cerocos Maria sewot. Kali ini dia menyuap sisa batagor di piringnya, kedua pipinya tampak gembul. Lucu. "Kamu nggak risih, orang-orang pada liatin kita?" "Nggak tuh. Sans aja, bro!" sahutnya kembali setelah menelan sisa batagor. Si Waria mendecih. Maria pengennya ketawa. Tapi nggak tega juga, nanti dikira ngetawain dia lagi. Baperan amat orang satu ini. Bisa-bisa pulang tinggal nama nih. Maria merasa dia ini memang orang yang dikenalnya. Tapi siapa? Maria terus mencoba mengingat-ingat. "Pokoknya makasih," dia beranjak pergi. Nggak lupa tas selempangnya dia pakai. Maria sempat melirik tadi dan isinya lumayan. Ngamen dari pagi kayaknya buat ngumpulin uang segitu. Maria mengulum senyum. Gadis itu menghembuskan nafas. Dia, sama sekali nggak mengenalnya.. Atau, lupa? Maria memang mengingat satu sosok, temannya dulu. Ahh, siapa pula orang yang bakal mengingat yang cuma remahan gini? • "b******k!" dia melempar tas selempang dan wignya yang sejak siang tadi bertengger di kepalanya. Sekarang kepalanya terasa panas dan gatal. Rasanya jadi ingin mandi dan shampoo-an saja. "Bang! Duitnya mana?" seorang anak lelaki masuk ke dalam kamarnya. "Hm," dia mengeluarkan selembar lima puluh ribuan dari tas selempangnya. "Nih, jangan lupa besok bayarin ya? Awas kalo nggak. Abang nggak bakal peduliin sekolah kamu lagi," katanya. Si anak mengangguk sambil senyum,"Asiikk! Makasih, Bang!" Anak itu loncat-loncat kegirangan. "Tabung kembaliannya, Fido!" "Oke, Bang!" Si Abang geleng-geleng kepala tapi nggak urung senyum terbit di bibir yang masih bergincu itu. Tadi setelah makan batagor, dia sapukan sedikit lipstik. "Tuh cewe ngapain juga repot bantuin gue? Ck, sok-sok nolong segala." monolognya sembari melepas stocking jalanya lalu mijitin kakinya yang terlihat bengkak. "Alamat besok nggak bisa kuliah gue," rutuknya lagi. Dia meringis. "Mesti ke tukang urut nih." Meringis lagi. "Abeeennn! Ya Allah! Kenapa tuh kaki? Kekilir nih, bengkak gitu. 'Tar, Nyak bikinin beras kencur dulu. Lo jangan kemana-mana. Tambah bengkak ntaran," seru perempuan paruh baya itu khawatir. Begitulah Nyaknya memanggil anak sulungnya. Padahal dia udah seneng ibunya nggak lagi di rumah. Biasanya Nyaknya itu pulang sejaman lagi dari tempat kerjanya. Eh, ini malah nongol.. "Yaelah Nyak, nggak usah. Udah mending kok," cicitnya. "Mending dari Arab?! Bengkak ijo biru gitu. Lo juga ngapain masih pake yang kayak ginian sih?" Nyak Romlah menyingkirkan rok dan wig tadi dari tempat tidur. Tuh kan, ngeyelnya keluar. Padahal dari rok mini dan wig itu aku bisa lanjut kuliah, Nyak! "Lo jangan sering-sering manjain adek lo. Yang ada ntaran si Fido kagak ngarti kesulitan elo, Jalu!" Nyak Romlah masih dengan kicauan khasnya kalo udah nyerempet kerja sampingan yang dilakukan Zabidin. "Kuliah, Been. Kuliah yang bener, itu wasiat bapak lo." lanjut Nyak sambil ngambilin baju-baju kotor di sana. "Ini juga kan lagi, Nyak. Emang kuliah yang bener itu kayak gimana sih? Udah, Nyak tenang aja. Tau-tau aku lulus, jadi sarjana. Oke?" "Okelah," Bapaknya Abeen, babe Rahman namanya. Almarhum favoritnya dulu nonton Si Doel Anak Sekolahan. Jadi ya gitu. Termotivasi tepatnya. Bagus sih. Karena nggak semua orangtua mendukung anak-anaknya untuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Nggak jauh-jauh, yang jadi biang kerok adalah duit. Boro-boro mikirin kuliah anaknya, buat makan sehari-hari pun harus pontang-panting kesana-kemari. Kayak Nyak nya sekarang. Jadi buruh cuci dari satu rumah ke rumah yang lain. Biasanya langganan Nyak itu penghuni komplek di depan benteng sana. Benteng itulah batasnya, batas komplek dan perkampungan kumuh ini. Benteng itulah pemisah antara si kaya dan si miskin. Terlalu klise. Lebay! Tapi itulah potret pahit kenyataan kehidupan. Buat perempuan seumuran Nyak Romlah, memang kerjaan apa yang pantes? Sekolah cuma lulus SD, pernah sekolah sampai kelas 8, keburu kerja di pabrik. Gaji di pabrik nggak seberapa, cukup buat bantuin keluarga. Nggak lama kerja di pabrik malah ketemu jodoh. Mungkin kalau Nyak Romlah ditanya pengen jadi apa, pasti jawabnya pengen jadi dokter, atau apa kek. Iya kan? Makanya Abeen berjuang banget. Dia harus jadi sarjana seperti keinginan kedua orang tuanya. Nggak salah kan nyenengin orang tua? Abeen menghembuskan nafas lelah. Kembali ingatannya melayang pada sosok cewek yang menolongnya tadi. Dia tersenyum. Cewek itu masih aja punya senyum yang manis. "Maria..." gumamnya. ••

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dosen Killer itu Suamiku

read
311.9K
bc

Guru BK Itu Suamiku (Bahasa Indonesia)

read
2.5M
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.1K
bc

JODOH SPESIAL CEO JUDES

read
289.0K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.1K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
54.9K
bc

DIA, SI PREMAN KAMPUSKU ( INDONESIA )

read
471.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook