bc

Melawan Nestapa

book_age16+
103
FOLLOW
1K
READ
love after marriage
second chance
sensitive
powerful
independent
others
drama
bxg
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Novel ini menceritakan tentang kehidupan Juan setelah memutuskan untuk pergi dari kehidupan wanita yang dicintainya, karena ternyata Lara sudah memiliki suami. Tidak mudah melewati hari patah hati, dengan luka yang terasa sangat membekas. Sebisa mungkin, dia berusaha untuk tetap memiliki alasan hidup. Sebagai yatim piatu, Juan merasa hidupnya sangat berat. Namun, semua berubah. Ketika dia bertemu dengan Riri. Wanita tangguh, tulang punggung keluarga. Banyak pelajaran yang dia ambil dari sosok wanita yang sangat penyayang itu, sampai akhirnya takdir membawa mereka ke dalam sebuah hubungan yang lebih serius, yaitu pernikahan.

chap-preview
Free preview
Hampa
Hidup terus berjalan adalah ucapan yang sering kali didengar olehnya akhir-akhir ini, banyak orang yang menganggap, hal yang dilaluinya bukan sesuatu yang luar biasa menyakitkan. Karena masih banyak orang yang mengalami hal buruk lainnya. Juan sejujurnya sangat tidak menikmati hidupnya. Dia merasa sangat lelah dan ingin menyerah. Namun, karena masih ada teman-teman yang selalu mensupport. Membuatnya sedikit merasa lebih baik. Menjadi seorang yatim piatu sebelum menikah, menjadi hal yang cukup menyedihkan, dia tidak memiliki alasan lain untuk bertahan hidup. Selain memiliki kekasih. Namun, cobaan yang datang padanya tidak hanya itu saja. Wanita yang dia pikir akan menjadi pasangan hidup itu ternyata sudah memiliki suami. Dia sudah ditipu oleh wanita yang sangat dicintainya. Hidupnya terasa hampa sekali, hanya bekerja, bekerja dan diam di kostan. Tidak banyak yang dilakukannya. Bahkan makan pun dia sangat jarang sekali, benar-benar selayaknya orang yang sedang patah hati. Badannya semakin kurus tidak seimbang dengan tingginya. Terlihat sekali seperti tulang hidup. Pipinya yang sempat mengembang kala itu, kini tirus. Rahangnya terlihat lebih kokoh, tapi tatapan matanya selalu kosong. Teman kost, dan teman kerja semua melihat Juan dengan penuh khawatiran. Lelaki yang kebanyakan diam itu membuat yang lainnya merasa sangat kebingungan. Jika tidak ditanya, Juan tidak akan bersuara. Bahkan sekalipun sudah ditanya, jika dia sedang dalam mood yang buruk, hanya akan mengangguk atau menggelengkan kepalanya saja. Mereka semua tidak bisa menghakimi sikap Juan. Karena ini diluar kendali semua pihak. Tidak ada yang salah, semua sudah diatur. Mungkin, agar Juan bisa berhati-hati kedepannya. Hari ini, lelaki itu sedang serius bekerja, dia benar-benar tidak sadar. Jika waktu sudah menunjukan untuk istirahat. Pintu kantor pun sudah ditutup sementara. Karena para karyawan sudah bersiap-siap untuk istirahat. Dia melihat ke arah teman-temannya yang sudah tidak ada di kursinya masing-masing. "Juan, mau nitip sesuatu tidak? Aku mau beli makan nih." "Enggak, terima kasih." Jawabannya selalu seperti itu. Jika dia tidak kuat menahan laparnya seperti saat ini, maka dia hanya akan pergi ke pantry dan menyeduh mie, ketika sedang malas keluar kantor. "Mas Juan suka banget makan Mie. Awas, nanti cepet kaya loh." Ledekan yang sering kali dia dengar, tapi dia tidak perduli. Hanya menampilkan senyum tipis saja. Petugas kebersihan itu kemudian keluar dari pantry. Dia saja malas makan mie terus, dan memilih makan nasi dan ayam bakar. "Mas Juan ngapain di sini sendirian? Lah bukannya kemarin sudah makan mie? Gak baik loh kalau keseringan." Wanita yang bernama Laura itu memang sudah lama mengagumi sosok yang ada di hadapannya. Namun, karena Juan terlalu cool. Dia tidak peka terhadap sekitar. Dia hanya menganggap Laura adalah wanita yang baik, dan perhatian. Tidak perduli, sekeras apapun kode yang diberikan wanita itu. Juan tidak pernah menganggapnya berlebihan. "Belum ada yang bisa menggantikan posisi mie goreng di hatiku." Juan mencoba untuk tidak terlalu serius pada wanita ini, karena dia tahu Laura memiliki hari yang lembut dan mudah tersinggung. "Jadi pengen jadi mie goreng," ujarnya pelan. Namun, Juan tidak bisa mendengarnya dengan jelas karena suara air yang mendidih. "Kenapa?" tanyanya penasaran. "Enggak, kalau gitu Laura duluan ya." Laura pergi keluar dari pantry. Meninggalkan lelaki itu sendirian. Beruntung mie sudah matang. Jadi dia bisa langsung angkat dan tiriskan. Setelah siap, dia pergi ke meja kerjanya. Membawa satu piring mie goreng, dan juga es teh manis. Benar-benar sangat ekonomis sekali. Padahal, dia bisa saja membeli makanan yang dia mau. Uangnya selama ini hanya dia simpan di kartu debitnya. Dia hanya mengambil seperlunya untuk memenuhi kebutuhan. Sisanya, dia tabung. Entah untuk apa, sejauh ini dia belum memiliki rencana apapun. Sepulang dari kantor. Seperti biasa, Juan akan langsung pulang ke kostannya. Tentu saja, ini kostan terbaru. Karena dia sudah memutuskan pindah dari kostan yang lama dengan alasan ingin sedikit berubah. Sebab, di kostan lama dia terus teringat dengan Lara. Kejadian malam itu, membuatnya sulit melupakan wanita tersebut. Setiap hari, dia selalu merasa bersalah. Seharusnya, ketika dia mengetahui Lara sudah menikah. Dirinya langsung pergi menjauh, bukan malah sengaja mencari tahu. "Kenapa Bro? muka Lo kusut banget." Tanya teman kostnya yang selalu setia menemani, yaitu Riko. Begitu Juan memutuskan untuk pindah, dia juga ikut. Sebab, satu temannya lagi sudah menikah. Jadi, dia memutuskan untuk bersama dengan Juan. Setidaknya, anak rantau sepertinya dia tidak sendirian di kota sebesar ini. "Cepek." Juan baru sampai, begitupun dengan Riko. Mereka bertemu di parkiran. Tidak lupa, lelaki itu mengunci motornya agar tidak mudah dicuri. Setelah itu, langsung naik ke atas. Jadi, kostannya ini menyatu dengan rumah pemiliknya, dia harus naik tangga luar untuk bisa sampai ke kamar. "Woy! Tunggu!" Riko sudah terbiasa dengan sikap temannya itu, dia sangat hafal dan juga kebal. Tidak ada lagi rasa kesal. Ketika Juan berprilaku seperti itu. "Apa sih?" Tanya Juan kesal. Karena dia dihalangi untuk masuk ke dalam rumah. "Abang kita ngajak ketemuan di luar. Dan Lo harus ikut, kita gak menerima alasan." "Gue ngantuk, mau tidur." "Enggak. Pokoknya Lo harus ikut!" dipaksa, tanpa peduli alasan klasik tersebut. Juan menghela nafasnya, sudah beberapa bulan, dia memang tidak bertemu dengan teman yang sudah dia anggap sebagai Abang itu. "Gue nebeng, kita berangkat jam tujuh aja." Juan menyingkirkan Riko dari depan pintu kamarnya, lalu dia langsung masuk ke dalam kamar. Tidak memperdulikan suara teriakan kesenangan dari temannya itu. Sebagai seorang sahabat Riko selalu khawatir pada Juan. Karena dia tahu mengenai patah hati terbesar yang baru saja dialami oleh sahabatnya itu. Sebisa mungkin, dia selalu mencoba menghibur, atau sekedar membuat Juan terasa 'hidup' Juan langsung merebahkan diri di atas kasur. Dia mencoba untuk memejamkan matanya. Masih ada waktu sebelum magrib. Dia ingin tidur sebentar saja. Namun, saat dia memejamkan matanya. Terbayang lagi wajah Lara. Banyak ekpresi yang ada di dalamnya. Senyum, tawa, tangis menjadi satu. Perlahan air matanya pun menetes. Mungkin, jika orang melihat ini akan mengira bahwa dia orang yang lebay. Tidak masalah, mereka tidak tahu perjalanan hidupnya, untuk apa dipedulikan. Setidaknya, itu adalah prinsipnya. Juan membuka matanya, sepertinya dia tidak bisa tidur dulu. Dia segera untuk mengambil handuk, dan pergi mandi. Badannya sudah terlalu lelah bergerak, sehingga keringat yang sempat keluar sudah mengering dan menempel, membuatnya tidak nyaman. Dia harus keluar dari kamar. Karena kamar mandi hanya disediakan di luar kamar. Dan hanya ada satu kamar mandi, dan satu toilet. Sebab, di rumah ini hanya ada 4 kamar kost. Jadi, mereka bergantian. Tidak lupa, dia membawa peralatan mandi sendiri. Karena dia tidak kenal dengan penghuni lain. Jadi tidak bisa bareng sabun mandi, seperti di tempat yang lama. Setelah selesai. Dia salat magrib dulu, baru bersiap-siap untuk pergi dengan Riko. Penampilannya sangat santai, dia memakai kaos, dan celana selutut. Tidak lupa memasukan dompet ke kantong celana. Dia meninggalkan handphonenya karena sedang di charger. "Lo udah siap?" "Hmm." Riko hanya bisa memutar bola matanya. Mau kesal, tapi ini Juan. Karakternya memang sudah begitu. "Lo ya yang bawa motor," ujarnya sembari memberikan kunci. "Gue nebeng." "Huh, sudah numpang tidak tahu diri. Menyebalkan sekali," ujarnya mengomel. Juan tidak memasukan itu ke dalam hati, karena dia tahu temannya senang bercanda. Mereka pergi bersama ke tempat yang sudah disepakati. Ternyata, temannya yang sudah dia anggap sebagai kakak itu sudah datang. "Mas Bro!" Teriak Riko. Dia juga jarang bertemu. Sementara Juan hanya melakukan tos saja, kemudian langsung duduk. "Gimana kabar kalian?" Tanyanya, mata dia menatap sekolah ke arah Juan. "Kalau gue sih oke, kalau temen Gue yang di samping ini. Ya Lo tahu sendiri Bang," ujarnya menyindir langsung di samping orangnya. Juan melirik ke arah Riko sebentar. "Baik Bang, Lo sendiri gimana?" tanyanya balik. "Alhamdulillah, seperti yang dilihat." "Makin gemuk sekarang," celetuk Riko. "Gimana gak gemuk, kalau setiap hari dimasakin istri yang enak-enak terus." "Kayaknya, otw cari istri juga nih." "Kamu gimana Juan? Sudah ada rencana?" "Masih prepare, gak semudah itu." "Mbak Lara sudah bahagia dengan keluarganya. Lo gak mau bahagia juga memangnya?" tanya Riko. Lelaki itu tidak sengaja berpapasan dengan Lara dan keluarga, saat dia sedang berada di mini market. Wanita yang dicintai sahabatnya itu, terlihat sudah bahagia dengan keluarganya. Juan melirik ke arah Riko, dengan tatapan mematikan. Dia benci sekali, memiliki teman dengan mulut lemes seperti itu. Namun, lelaki itu selalu ada dan membantunya. "Harus banget sebutin nama, emang Lo dibayar dia?" Dia kesal, susah payah tidak ingin mendengar nama itu, tapi temannya dengan mudah menyebutkannya sampai membuat telinganya memanas. "Payah. Cuma karena perempuan. Lo jadi lelaki yang lemah. Nyadar, Lo bisa dapetin yang jauh lebih baik dari dia. Selama air dilautan masih banyak. Lo gak harus kehilangan harapan. Hanya karena ditinggalin oleh satu perempuan yang sedari awal memang bukan milik Lo." Juan sudah menggerakkan tangannya, dia tidak tahu punya salah apa pada Riko, sehingga temannya itu sangat menggebu-gebu padanya. Sementara temannya yang satu lagi, merasa canggung. Niat awalnya mengajak kumpul, karena ingin membuat Juan melupakan Lara, bukan malah begini. "Urusan hati Gue, bukan urusan Lo." Dia berkata dengan penuh penekanan. "Bukan urusan Gue? Emang iya. Terus kenapa Lo jadi melibatkan kita semua. Emang Lo pikir, kita gak kepikiran. Ngeliatin Lo kayak mayat hidup hah? Kayak gak punya rasa syukur. Sadar diri sedikit dong! Lara itu istri orang! Lo gak pantes mencintai dia, apalagi sampai terpuruk kayak begini." Riko sudah tidak kuat lagi, menahan diri. Berbicara baik-baik dengan Juan tidak akan membuahkan hasil, selama ini dia terus berusaha menahan diri untuk tidak mengatakan semuanya. Namun, karena tidak ada perubahan. Dia memakai cara seperti ini. "Kalau tahu kedatangan Gue cuma buat dihakimi, mending rebahan." Dia langsung berdiri dan meninggalkan teman-temannya tidak perduli dengan suara panggilan untuknya. Dia tetap pergi.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook