1. CEO Perfeksionis

1672 Words
Memandang layar laptop di hadapannya, wanita berusia 24 tahun itu terlihat sangat serius mengetikkan sesuatu di keyboard. Dia harus jeli mengerjakan semua pekerjaannya karena tahu sendiri CEO di sini sangatlah menyebalkan, dia tidak mau terkena marah lagi hanya gara-gara kesalahan kecilnya. Kalau saja dia tahu orang yang menjadi CEO adalah pria itu, lebih baik dia melamar di perusahaan lainnya saja. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, dia tak dapat lagi menarik segala apa yang dia perbuat. Jika dia mengundurkan diri, habislah sudah dirinya terkena penalti karena masa kontrak yang belum habis tetapi dirinya sudah mengundurkan diri. Dia harus kuat, karena ini memang impiannya. Akhirnya selesai sudah dirinya mengerjakan pekerjaan ini, dia tersenyum lega. Tinggal dia pergi ke tempat print barulah kemudian dia akan memberikan laporan ini ke CEO maha sempurna itu. Ketika akan pergi ke tempat biasanya para pegawai mengeprint, dia berpapasan dengan Luna salah satu HRD yang cukup dia kenal. Luna ini satu-satunya orang yang mungkin kini menjadi temannya, karena pertemuan pertama mereka membuatnya harus selalu berterima kasih pada wanita itu. Usia Luna hanya selisih beberapa tahun di atasnya sehingga dia mungkin harus memanggil wanita itu dengan sebutan Mbak jika berada di luar kantor, namun jika berada di dalam kantor dia tetap akan memanggil Luna dengan sebutan Ibu. "Mau ngeprint Ra?" tanya Luna ketika melihat Syafira memasukkan flashdisk di mesin print itu. "Iya Bu, Ibu mau ke mana kalau boleh tau?" Mendengar pertanyaan formal darinya membuat Luna tertawa. "Serius Ra, gue risih nih ngomong formal sama lo. Udah ah, pake bahasa biasa aja deh. Enggak nyaman gue serius, lagian kan di sini enggak ada orang selain kita." Dahi Syafira mengkerut mendengarnya, hal yang membuat Syafira bisa menjadikan Luna temannya adalah karena wanita dihadapannya ini cukup asyik dan nyambung jika mengajaknya mengobrol. "Tetapi kan ini masih di kantor Bu, jadi saya harus sopan sama Ibu." Luna mengibas-ngibaskan tangannya mendengar ucapan Syafira. "Pokoknya gue enggak mau dengar apa-apa lagi, kalau ngomong sama gue harus pakai bahasa biasa. Kecuali kalau ada atasan baru lo ngomong formal kayak begini, gue tuh orangnya santai kali Ra. Jadi ya biasa aja sama gue, lo juga terlalu polos amat sih? Oh iya gue lupa lo kan masih muda. Jadi gue maklum lah," ucap Luna yang membuat Syafira mengulum senyumnya. Luna tidak tahu saja kalau dirinya tak sepolos yang Luna bayangkan, ada suatu hal yang dia sembunyikan mengenai jati dirinya pada Luna dan pada pegawai yang lainnya. "Kalau gitu gue pergi dulu ya? Gue mau meriksa ini karyawan yang ada di bawah gue dulu, takutnya nanti kalau ada kesalahan si CEO perfeksionis marah-marah lagi. Oh iya lo sekretarisnya kan? Moga lo betah ya." Sebelum pergi, Luna menepuk bahu Syafira sekilas sambil mengedipkan sebelah matanya kemudian pergi dari hadapan Syafira. "Astaga laporan gue!" pekik Syafira ketika melihat banyaknya kertas yang keluar dari mesin printer, dia ternyata tadi tidak sadar menekan banyaknya tombol di mesin printer itu. "Mampus lo Ra! Kertasnya habis lagi!" Syafira merutuki kecerobohannya, dia menatap kertas-kertas yang berserakan itu. Kalau saja itu kertas hanya banyak saja sih tidak masalah, dia bisa memilihnya. Masalahnya ternyata tulisan yang ada di kertas itu acak-acakan karena tadi dia yang salah pencet tombol. Sekarang dia tidak bisa mengeprint lagi karena kertasnya sudah habis, mana dia tidak tahu lagi letak persediaan kertasnya ada di mana. Dia masih baru di sini, jadi dia masih sedikit kebingungan dengan urusan ini. Mau meminta bantuan pada siapa dirinya sekarang ini? Semua orang pasti masih sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing karena ini masih jam kerja. Syafira! Lo benar-benar ceroboh banget sih? batinnya kesal. Mau tak mau wanita itu mengambil langkah seribu yaitu pergi mencari tempat yang membuka jasa printer. Syafira tiba di tempat printer dengan napas yang ngos-ngosan, dia harus berlari menuruni beribu anak tangga karena lift yang terlalu penuh. Dia yang tidak ingin dimarahi lagi oleh si pria perfeksionis itu mau tidak mau merelakan kakinya yang jenjang harus mengalami lelah akibat menuruni anak tangga, tanpa banyak kata lagi dia berbicara pada Abang-abang yang tengah menunggu mesin printer itu kemudian menyerahkan flashdisknya. Dering ponsel mengagetkan Syafira yang tengah termenung sambil menunggu Bang Jaka–yang baru dia tahu namanya itu sedang mengeprintkan laporannya, dia mengambil ponsel miliknya yang terus saja berdering meminta diangkat dibalik rok spannya. Dia berdecak ketika melihat siapa si penelpon, mendadak dia jadi ragu apakah dia harus mengangkat telepon ini atau tidak. Karena ponsel itu terus saja berdering membuat Syafira mau tidak mau harus mengangkatnya, daripada di perfeksionis itu bertambah marah padanya. "Hallo Pak, ada apa ya Pak menelpon saya?" tanya Syafira ramah dengan ketenangan yang luar biasa. Padahal sih di dalam hatinya dia sedang menahan rasa cemas luar binasa. "Kamu di mana sekarang? Mengapa saya cari kamu di tempat yang seharusnya ada kamu, tetapi kamu malah tidak ada? Bukannya mengerjakan laporan yang saya minta kamu malah menghilang. Ini baru pertama kamu masuk kerja loh, tetapi sudah dua kali kamu melakukan kesalahan? Hebat sekali anda!" ucap suara di sebrang sana dengan sarkas. Syafira mengelus dadanya ketika mendengar omelan atasannya itu, dia belum menjelaskan apa-apa tetapi sudah kena omel seperti ini? Apa dia tidak mau meminta penjelasan dahulu pada Syafira mengapa wanita itu bisa sampai tidak ada di tempatnya kini? "Pak saya sedang berada-.... " "Segera kamu ke sini, kalau sampai kamu tidak juga sampai di sini dalam jangka waktu satu menit. Kamu saya pecat!" Tuutt... Syafira mengerjapkan matanya berkali-kali sambil melihat layar ponselnya, gila saja itu CEO! "Mbak .... " panggil Bang Jaka membuat Syafira langsung menoleh kearah pria itu. "Ini sudah," ucapnya. "Ah iya, makasih ya? Ini kembaliannya buat Abang aja" ucapnya yang dengan cepat mengambil flashdisk serta lembaran kertas itu kemudian berlari secepatnya menuju kantor. Dia harus segera sampai kalau tidak ingin pekerjaannya hilang begitu saja, dia harus bergerak cepat. Wanita itu akan memasuki lift, tetapi begitu melihat lift itu kembali penuh. Mau tidak mau dia harus menaiki anak tangga lagi, sudah bisa dipastikan kalau nanti kakinya akan memar menaiki anak tangga setinggi ini. Apalagi ruangannya itu ada di lantai 7, bisa dibayangkan berapa banyak tangga yang harus dia naiki? Ayo Syafira semangat. Ini juga demi kelangsungan pekerjaan lo, batinnya menyemangati dirinya sendiri yang kakinya kini mulai pegal. "H-hai Pak ... hos ... hos ... hos .... " Syafira tiba bertepatan dengan Relix yang akan keluar dari ruangannya. "Kamu dari mana saja hah!? Saya tunggu-tunggu tidak sampai juga, masih bersyukur kamu tidak saya pecat karena terlambat satu detik dari waktu yang saya janjikan." Mata Syafira membulat mendengarnya. Dia masih saja memegangi dadanya yang masih berdetak hebat karena dia yang naik-turun tangga tadi, sambil kini melihat Relix dengan wajah penuh ketidakpercayaannya. Dia hanya terlambat satu detik loh ini, masa mau di pecat? Awas saja kalau benar terjadi. Dia akan menuntut Relix! "Mengapa kamu berkeringat seperti itu? Saya tidak menyuruh kamu olahraga, saya menyuruh kamu mengerjakan laporan." Relix memerhatikan Syafira yang masih mengatur napasnya yang ngos-ngosan. "I-iya Pak, Bapak memang tidak menyuruh saya olahraga. Tetapi karena laporan ini saya harus naik-turun tangga untuk mengeprintnya," jawab Syafira yang membuat Relix mengernyit. "Kenapa bisa begitu? Di sini sudah ada printer, untuk apalagi kamu pergi ke bawah hanya untuk mengeprint? Kamu bodoh atau apa!?" Suara Relix sedikit meninggi membuat Syafira sedikit tersentak. "I-itu Pak, soalnya kertas untuk mengeprintnya habis. Jadi mau tidak mau saya harus pergi mencari tukang printer, ini Pak laporannya. Sudah saya selesaikan." Relix menatap laporan yang Syafira berikan padanya, kemudian tanpa banyak kata dia mengambil laporan itu dan memasuki ruangannya. "Serius cuma gitu doang?" ucap Syafira tidak percaya ketika melihat pintu di depannya kini sudah tertutup. "Tau ah gue gila mendadak, baru pertama kali kerja aja udah begini. Stres gue lama-lama kerja di sini, lo harus kuat Syafira. Ingat lo harus kuat, tapi ini kaki gue kenapa pegal banget sih?" Syafira memijiti kakinya dengan kedua tangannya, rasanya sangat sakit sekali ketika dia menyentuh betisnya sendiri. "Syafira! Masuk ke sini kamu!" teriak dari dalam sana, membuat Syafira yang masih serius memijiti kakinya sendiri pun tersentak. "Apalagi ini, Tuhan?" geram Syafira dan dengan perlahan dia berjalan memasuki ruangan itu setelah sebelumnya mengetuk pintu itu. Dia tidka mau dikira tidak sopan ya, nanti yang ada dia salah lagi. "Iya Pak, Bapak memanggil saya?" tanya Syafira sopan. "Lihat ini!" Relix melemparkan laporan yang dibuat Syafira di atas meja kerjanya sedikit keras membuat Syafira mengernyitkan alisnya. "Apa ya, Pak?" tanya Syafira bingung ketika dia membaca laporan itu yang menurutnya sudah benar. "Masa kamu tidak menyadari apa yang salah di dalam laporan itu?" tanya balik Relix sambil berdecak. "Salah apanya Pak? Ini sudah benar kok laporannya, bahkan saya tadi sudah memeriksanya yang ketiga kali Pak. Barulah saya mengeprint laporan ini." Syafira masih merasa bingung, apa kesalahannya kali ini. Dia sudah mengerjakan laporan ini dengan sangat baik sekali, tetapi masa tetap salah sih? Apa yang salah coba? Namun, matanya membulat begitu melihat garis yang ada di dalam kertas itu. Jangan bilang kalau salah yang dimaksud perfectionist CEO itu adalah ini? Matanya langsung memandang horor Relix yang kini bersedekap sambil menatapnya tajam. "Pak, jangan bilang kalau salah yang Bapak maksud adalah ini" ucap Syafira horor sambil menunjuk kertasnya yang ada garis kecil berwarna merah. "Iya, apalagi memang yang salah? Lain kali tolong ya kamu periksa laporan itu dengan benar. Saya tidak mau lagi mentolerir kalau ada kesalahan besar seperti ini, kamu baru saya minta membuat laporan sudah salah begini. Apalagi hal yang lainnya? Awas saja kalau sampai kamu salah menyusun agenda saya, saya tuntut kamu di pengadilan." Mata Syafira mengerjap ketika melihat Relix yang kini memandangnya dingin. "Pak, tetapi kesalahan saya cuma sedikit loh Pak. Saya cuma lupa tidak memberi koma di sini saja, mengapa Bapak bilang itu kesalahan besar?" Rasa-rasanya Syafira ingin sekali mencekik pria dihadapannya, dia sudah naik-turun tangga demi terselesaikannya laporan ini. Dan kini, setelah selesai. Hanya karena masalah tanda koma dia disemprot habis-habisan, bahkan pria di hadapannya ini dengan entengnya mau menuntutnya ke pengadilan seakan dia adalah seorang pembunuh. Benar-benar gila! Yang ada pria ini yang akan membunuhnya secara perlahan. "Sana kamu keluar dari ruangan saya, saya sibuk!" usirnya yang membuat Syafira melongo.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD