Bab 7 - Memikirkannya

1168 Words
Suara ketukan terdengar dari dalam kamar yang ditempati oleh Rheiny. "Permisi, maaf menganggu, Nyonya. Saya ingin menyampaikan, kalau makan malam sudah siap dan Tuan Aland sudah menunggu Anda berdua di bawah," ucap sopan Pelayan tersebut pada Rheiny. "Baik, kami akan segera turun. Terima kasih!" Rheiny menutup pintu dan menghampiri putranya-Valden, yang sedang memakai pakaiannya sendiri. "Anak mama pinter," kata Rheiny dengan senyum dan tatapan hangat kepada Valden. Memberikan pujian kecil pada putranya atas usahanya memakai pakaian sendiri. "Heheh, aku sudah besar. Aku bisa jaga dili aku sendili dan aku bakal jagain mama juga!" seru Valden dengan antusias dan tatapan menyiratkan suatu makna yang mendalam. Kedua tangannya yang mungil mengepal erat menandakan keseriusannya. "Hem, iyah. Mama minta tolong yah. Memang cuma kamu yang bisa Mama andalkan!" sahut Rheiny dan memeluk putranya. "Mama tenang saja. Aku yang akan mengulus Mama!" ucap Valden dalam dekapan Sang Ibu. "Iyah," balas Rheiny haru, tapi disatu sisi merasa sedih. Sebab putranya yang masih berumur lima tahun, tidak bersikap layaknya anak berumur lima tahun. Valden sangat dewasa dibanding anak-anak yang seusia dengannya. Miris sekali, Rheiny menyanyangkan hal tersebut. Andaikan dia tahu sejak awal, bagaimana perlakuan mereka terhadap putranya. Dia pasti tidak akan membiarkan hal buruk itu menimpa Valden. Saat ini Rheiny hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang sudah terjadi. Aland, pria itu menunggu dalam diam kedatangan Rheiny dan Valden dimeja makan. Matanya sedang menatap sebuah layar ponsel yang menampilkan suatu rekaman. Saat terlihat orang yang di dalam rekaman keluar dari ruangan itu. Dia mematikan ponsel dan melepaskan earphones yang dia kenakan. Lalu memberikannya pada Tanu, sang Asisten yang selalu siap sedia berada disampingnya. "Kalian lama sekali!" kata Aland terdengar dingin dan ketus. "Maaf, kami terlambat dan membuat Anda menunggu," ucap Rheiny dengan wajah yang gugup. "Sudahlah! Sekarang duduk!" perintah Aland. Rheiny yang mendengarnya, dengan segera menarik kursi dan meminta Valden untuk duduk di sana. Lalu, dia pun duduk disamping Valden setelahnya. "Makanlah ini! Ini bagus untukmu yang baru saja belum lama siuman!" Aland menggeser sebuah mangkok ke arah Rheiny. Terlihat sup berwarna cerah dan beberapa warna hijau serta lainnya. Sepertinya semua bahan dijadikan satu dan dibuat sehalus mungkin. Entah dengan dicincang ataupun menggunakan blender untuk menghaluskannya. "Baik, terima kasih!" ucap Rheiny. Aland merasa frustasi dengan Rheiny yang hanya membalas perkataannya dengan singkat. "Apa kamu tidak bisa mengatakan hal lain, selain baiklah, maaf, terima kasih, dan ...," Aland berhenti dan menatap Rheiny. "...Sudahlah!" lanjutnya kesal. Aland, pria yang bisa mengendalikan emosinya dengan sangat baik. Namun, dihadapan Rheiny, emosi dan perasaannya seolah sedang diuji. Rheiny hanya diam dan menunduk. Tidak berani mengangkat kepalanya ataupun mengatakan sesuatu saat Aland marah padanya. Sementara Valden, dia menatap Rheiny dan menggenggam tangan ibunya. Seolah mengatakan semua akan baik-baik saja dan tidak perlu khawatir, karena ada dia disisinya. Rheiny menoleh ke arah putranya dan tersenyum pada Valden. Tanu yang menyaksikannya hanya diam di belakang Aland. Dia tidak mengomentari apa pun. Hanya saja, Tanu sangat menyanyangkan sikap dan perkataan tuannya yang membuat Rheiny semakin takut padanya. 'Perjalanan Anda untuk meluluhkan hati seorang Rheiny, ternyata masih sangat jauh, Tuan. Aku kasihan padamu, oh tuanku yang malang!' batin Tanu bermonolog seorang diri, mengasihani Aland yang berinteraksi dengan benar pada Rheiny. . . . Makan malam terlewati dalam keadaan hening dan menegangkan. Setidaknya itu yang dirasakan oleh Rheiny dan Valden. Mereka berdua mengira kalau Aland merasa kesal dengan keduanya, terlebih pada Rheiny yang selalu menjawab perkataannya. Malam semakin larut, Rheiny menatap Valden yang sudah lelap dalan tidurnya. Mengusap pipi gembul sang putra dengan lembut. Dalam seketika buliran bening menetes dari kedua matanya. Dalam keheningan, Rheiny menahan rasa sakit dan pedihnya dikhianati oleh pria yang dia percayakan hidupnya seratus persen. Bahkan, nasib anaknya sekarang pun sangat menyedihkan. Bagaimana bisa rumah tangga yang dia bangun selama bertahun-tahun, hancur begitu saja dalam sekejap. Perjuangannya untuk bertahan dalam rumah tangga itu, perasaan sayang dan cintanya yang tulus untuk Amar, baktinya pada kedua orangtua sang Suami. Semua dilakukannya sepenuh jiwa dan raga. Dia rela melakukan semuanya tanpa mengharapkan apa pun, meski dia selalu disakiti. Dia juga tidak pernah meminta imbalan apa pun atas usahanya selama ini. Padahal yang diinginkannya hanyalah dicintai dan diperhatikan oleh suaminya, serta diperlakulan dengan baik dan layak oleh mertuanya. "Maafin Mama yah, Nak. Mama tidak bisa memberikan keluarga yang utuh dan penuh kehangatan untukmu," ucap Rheiny pelan sambil mengelus puncak kepala Valden. "Maaf, karena selama ini Mama membiarkan mereka menyakitimu. Mama bersalah! Karena ketidaktahuan Mama, kamu jadi harus merasakan semua penderitaan itu. Andai waktu bisa diputar, Mama rasa, Mama tidak akan pernah ingin menikah dengan siapa pun. Namun, Mama tidak pernah menyesal telah melahirkn dan memilikimu dalam hidup Mama!" ucapnya lirih dan tercekat. Dia merasakan tekanan luar biasa didadanya. Dia meremas dadanya kuat, serta menekannya kencang untuk menghilangkan rasa sesak dan sakit yang dia rasakan. Rheiny mencoba meraih tas miliknya diujung lemari. Dia dengan tergesa-gesa mengeluarkan isi dalam tasnya dan meraba-raba sesuatu. Rheiny seolah tercekik akan sesuatu, napasnya seolah terhenti akan sesuatu. Dia mencoba terus bernapas, tetapi itu sangat sulit dilakukannya. Tiba-tiba saja, pintu kamar terbuka dengan cepat. Rheiny yang hampir tak sadarkan diri, dengan berbayang melihat ke arah sosok hitam yang datang dan menghampirinya. "Rheiny!" panggilnya panik. Rheiny langsung dapat mengenali pemilik suara itu, yaitu Aland. "Cepat hirup ini!" tandas Aland sambil memberikan sebuah inhaler. Alat yang biasa digunakan untuk seorang penderita asma. Setelah menghirup benda tersebut, berangsur pelan kondisi Rheiny semakin membaik. Aland sangat terkejut saat mendapati Rheiny sesak napas. Dia langsung berlari menghampiri kamar yang ditempati oleh Rheiny. Beruntung, ada cctv yang ditempatkan oleh Aland di dalam kamar itu. Jika tidak ada rekaman pengawas itu, mungkin saja Rheiny akan mengalami hal berbahaya lainnya. Bahkan, mungkin saja nyawanya akan terancam dan lewat begitu saja. Aland sama sekali tidak mengetahui tentang Rheiny yang memiliki sakit asma. Bahkan Dokter yang memeriksanya tidak mengatakan apa pun tentang asma. "Sudah lebih baik?!" tanya Aland saat melihat Rhein semakin baik. "Sekarang saya baik-baik saja. Terima kasih, Tuan Aland!" balas Rheiny sopan sekaligus merasa tidak nyaman dengan pelukan yang dilakukan Aland. Meski Aland melakukannya karena dia hampir tidak sadarkan diri. Namun, Aland masih mendekapnya dan tidak melepaskannga, meski dia sudah baik-baik saja sekarang. "Sejak kapan?!" tanya Aland singkat. Namun, Rheiny tahu apa yang dimaksud oleh Aland. "Sejak saya masih kecil. Saya memang memiliki gejala asma, tapi ...," seolah ragu, Rheiny tidak melanjutkannya lagi. "Katakan cepat! Saat ini kamu tinggal di rumah, aku tidak mau sampai terjadi hal yang buruk di rumah!" tandas Aland memaksa Rheiny untuk mengatakan semua padanya. Dia mengancam seperti itu. Padahal, dibalik perkataan ketus dan jahatnya. Aland sangat mengkhawatirkan Rheiny. "Ba–baik!" sahut Rheiny cepat. "Asma yang saya derita semakin parah, saat kami mulai sering bertengkar. Ah, maksudnya saya dan Amar!" seru Rheiny dengan cepat. Memperbaiki kalimatnya. Mungkin lebih tepatnya, semenjak Amar mulai mengasarinya. Mulai melakukan kekesaran fisik terhadap dirinya. Sejak saat itu, asmanya menjadi sering kambuh hampir tiap saat. Beruntung, dia selalu siap sedia alat bantu tersebut. Lebih tepatnya Amar. Dia yang menyediakan, karena tidak ingin repot-repot membawa Rheiny ke Rumah Sakit. Awalnya Amar menyesali perbuatannya, tapi makin lama, Amar malah semakin tidak peduli.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD