5. Sakit

1549 Words
Nara membuka matanya perlahan. Suara ombak menyapa telinganya. Di luar masih terlihat gelap sepertinya matahari belum menyapa bumi. Nara berbalik dan mendapati Reagan masih tertidur dengan posisi meringkuk, mungkin dia kedinginan. Nara melepas selimutnya dan kemudian memakaikannya ke tubuh Reagan. Ada daya tarik lebih untuk Nara melihat Reagan dalam keadaan tidur. Wajah lelaki itu tampak tenang dalam tidurnya. Reagan tidur seperti bayi. Nara tersenyum menatap Reagan, tangannya terulur mengusap kepala lelaki itu. Tangannya bertemu dengan kulit Reagan kemudian dia menyadari bahwa suhu badan lelaki itu sangat panas. Nara menyalakan headlight yang diletakan Reagan semalam untuk jaga-jaga jika mereka kekurangan cahaya. Benar saja, hidung Reagan terlihat berwarna merah dengan bibir sedikit pucat. Nara meletakan punggung tangannya ke dahi Reagan. Lelaki itu kemungkinan besar demam. Nara memang bukan dokter bahkan dia tidak terlalu akrab dunia kesehatan tapi kalau hanya demam, dia rasa dia bisa tahu. "Reagan," panggil Nara lembut. Pria itu mengerjap sedikit. "Reagan," panggil Nara lagi. Reagan bereaksi sedikit, matanya sedikit terbuka tapi kemudian di tutup lagi karena silau cahaya headlight. Nara menjauhkan cahaya headlight itu dari wajah Reagan. "Hmm." Reagan menggeliat dan mengeratkan selimut itu ke tubuhnya. "Yuk, balik ke cottage yuk" ajak Nara Reagan menggeleng. "Lima menit lagi ya" ujar Reagan pelan. Lemah lebih tepatnya. Nara mengintip ke arah luar tenda, keadaan masih gelap. Jangankan untuk minta tolong, untuk keluar saja Nara takut. Nara menatap Reagan yang sepertinya sudah kembali tidur. Tangannya terulur begitu saja membelai rambut Reagan dengan lembut. Reagan menggerakan kepalanya seolah menikmati elusan tangan Nara. "Kayak kucing" ejek Nara. Yang kemudian ikut berbaring disamping Reagan. Tangannya yang kurus itu memeluk Reagan. Tubuhnya dapat merasakan hawa panas yang keluar dari tubuh Reagan. *** Nara kaget ketika ia membuka mata, cahaya matahari nampak sudah menyapa bumi. Nara melihat ke samping dan menemukan Reagarn masih tertidur. Dia meraba dahi Reagan lagi dan terkejut karena suhu badan Reagan masih panas. Nara menggoncang pelan tubuh Reagan. "Reagan," panggil Nara. Reagan membuka matanya lemah. Kemudian menutup matanya lagi. "Balik yuk, aku bantu. Kita nggak bisa disini terus," ajak Nara sambil menarik lengan Reagan. Reagan mengangguk pelan. Dia mengerahkan semua sisa tenaganya untuk bangkit. Nara meletakkan lengan Reagan di bahunya. Tangannya memegang pinggang Reagan. Nara menuntun Reagan untuk berjalan pelan-pelan menuju cottage mereka. Reagan mencoba sebisa mungkin agar tidak membebani Nara tapi pria itu masih kekurangan tenaga sehingga membuat Nara mengerahkan semua tenaganya untuk membantu Reagan yang berukuran lebih besar darinya. Peluh membasahi tubuh Nara. Tapi Nara mengerahkan seluruh tenaganya membawa Reagan kembali ke cottage. Ketika akhirnya dia berhasil untuk membawa Reagan sampai ke kasur, Nara ikut jatuh di lantai karena kelelahan. Nafas Nara masih tersenggal-senggal tapi dia tetap mencoba berdiri untuk memeriksa Reagan. Badan pria itu sekarang penuh dengan keringat tapi suhu tubuhnya masih panas. Nara kebingungan, dia tidak pernah merawat orang sakit sebelumnya. Seumur hidupnya. Nara kemudian memutuskan untuk meminta bantuan. Dia kemudian mencuci wajahnya dan pergi ke rumah Pak Amir dan Bu Ijah. *** "Selamat pagi, Pak Amir, Bu Ijah," panggil Nara dari luar rumah Pak Amir. "Selamat pagi." Sosok Bu Ijah keluar dari arah dalam rumah. Penampilannya agak berbeda karena kali ini dia tidak lagi memakai daster melainkan dengan baju gamis panjang. "Eh, Neng Nara. Mau sarapan neng? Nanti di bawain Ridho ya. Atau mau sarapan disini aja?" tanya Bu Ijah. Nara menggeleng. "Saya butuh bantuan, bu. Reagan kayaknya demam. Saya gak tahu harus nolong kayak gimana," kata Nara dengan nada panik. Bu Ijah berpikir sejenak kemudian tersenyum. "Oh demam, saya sih kepingin bantu, Neng. Cuma saya harus ke kota ada keperluan penting," jelas Bu Ijah. "Pak Amir kemana, bu?" tanya Nara. "Pak Amir juga lagi ke kota, kami baliknya nanti malam" kata Bu Ijah lagi. Nara mendadak gelisah, Nara tidak pernah mengurus orang lain sebelumnya. Tidak dalam keadaan sehat apalagi sakit. Selama ini urusan Nara hanya dia dan pekerjaannya. "Kalau cuma demam, gampang kok ngurusnya," kata bu Ijah. Beliau kemudian masuk ke dalam rumahnya dan kembali dengan sebuah kotak. "Saya masih keburu buat masakin bubur. Nanti dikasih makan bubur aja dulu, kasih teh anget kemudian obatnya dikasih minum. Yang ini obatnya, terus ..." Bu Ijah mencoba menjelaskan pada Nara bagaimana menangani orang demam. "Nah terus dipakaikan lagi bajunya" jelas Bu Ijah. Mata Nara membulat masih memproses semua informasi yang diberikan bu Ijah tentang bagaimana merawat orang sakit demam. Nara menarik nafasnya panjang. "Oke, bu. Makasih untuk semua infonya" kata Nara kemudian kembali cottage-nya sambil membawa kotak perlengkapan pemberian bu Ijah. *** "Okay, pertama kita buka dulu pakaiannya, kemudian," Nara berbicara pada dirinya sendiri sambil melihat tubuh Reagan yang terbaring di kasur. Panas Reagan semakin tinggi, sudah mencapai 39 derajat celcius. Pria itu semakin susah merespon. "Tapi, Reagan gak pake baju. Dia cuma pakai celana, apa celananya juga harus dilepas?" Nara kembali berdialog dengan dirinya sendiri. Dia bergidik sebentar. "Bu Ijah ngasih info gak lengkap nih. Harusnya tadi tanya, baju saja atau sama celananya yang harus dilepas?" Nara membuang nafas frustasi. "Tapi, kalau gak di lap nanti gak segeran badannya. Duh, gimana nih?" Nara berdecak kesal sendiri. "Ya, bukannya malu, aku udah pernah lihat juga... Tapi--" Nara menutup wajahnya. Dia menelan ludah dan merapatkan bibirnya. "Demi kesembuhan manusia" katanya sambil mendekati Reagan. *** Reagan membuka matanya perlahan. Dia sudah berada di kamar bukan lagi di tenda. Dia hanya ingat dia mencoba untuk berjalan dibantu oleh Nara. Tapi setelahnya dia tidak ingat apapun. Kepalanya masih pusing. Dia mengerjap mencoba membuka matanya secara sempurna. "Reagan," panggil Nara. Reagan melihat gadis itu masuk dengan sebuah novel di tangannya. "Kamu udah bangun?" tanya Nara sambil memegang dahi-nya. Nara kemudian mengambil sesuatu di atas meja. "Aaa," kata Nara sambil membuka mulutnya memberikan perintah agar Reagan membuka mulutnya juga. Nara memasukkan sebuah benda ke dalam mulut Reagan. Gigit itu sebentar, aku harus cek suhu tubuh kamu. Ternyata benda itu adalah sebuah termometer. Nara berdiri di samping kasur mengawasi Reagan yang masih menggigit termometer. Tiitt... titt... titt... Termometer itu berbunyi. Nara mengambil alat itu dan melihat angkanya. "Masih 37,5. Masih tinggi," ujar Nara. Wajahnya dengan jelas menunjukkan rasa khawatir. "Bentar," Nara keluar kamar dan kembali lagi dengan sebuah mangkok di tangannya. "Makan dulu ya. Baru minum obat," kata Nara. Dia kemudian membantu Reagan untuk duduk di kasur. "Kamu bisa makan sendiri--" Nara tidak melanjutkan kata-katanya melihat Reagan yang masih terlihat sangat lemah. "Kamu gak bisa makan sendiri, aku suapin ya," sambung Nara. Dia kemudian duduk disamping kasur. Nara kemudian mengaduk bubur yang sudah dia panaskan tadi. Dan kemudian mulai menyuapi Reagan. Pria itu berusaha membuka mulutnya tapi dia masih terlalu lemah. "Maaf," kata Reagan lagi. Dia sunggu tidak enak harus merepotkan Nara. Di luar dugaannya Nara menggeleng sambil tersenyum. "Gak pa pa kok. Sekarang makan yang banyak, terus minum obat," kata Nara sambil lanjut menyuapi Reagan. Reagan sebenarnya ingin bertanya bagaimana caranya baju dan celananya bisa diganti tapi dia memilih diam dan menikmati waktunya dimanja Nara. *** Sudah jam 8 malam, Nara kembali mengukur suhu tubuh Reagan. Masih tinggi rupanya. Reagan terbatuk tapi dia masih terlelap. Nara mengusap punggung Reagan pelan. Kasian juga Reagan, pikir Nara. Entah kenapa dia kasihan sekaligus sedih melihat Reagan yang terbiasa pecicilan dan cerewet itu sekarang terbaring lemas. Dia kemudian mencari handuk kecil yang dia bawa untuk cuci muka, mengeluarkannya dan mencelupkan handuk itu ke air hangat di baskom. Memeras handuk itu menjadi setengah kering kemudian meletakkannya di dahi Reagan. Reagan bergerak sedikit mungkin karena kaget tapi kemudian menjadi tenang. Tangan Nara kembali memainkan rambut Reagan, mengusapnya lembut sambil berdoa? mungkin. Agar Reagan bisa segera sembuh. *** Reagan kembali terbangun. Kali ini dia merasa badannya menjadi sedikit ringan untuk digerakkan. Dia menoleh kesamping mendapati Nara sedang tertidur dengan buku di tangannya. Menandakan bahwa gadis itu tertidur bukannya tidur. Reagan mencoba bangkit dan duduk di kasur. Dia melihat tubuhnya yang sudah mengenakan sweater dan juga celana pendek. Dia tersenyum sebentar kemudian dia mengambil buku Nara secara perlahan dan meletakan buku itu di meja. Matanya melihat jam, sudah jam 2 pagi. Reagan kemudian menarik tubuh Nara secara perlahan agar dapat kembali ke posisi tidur dari posisi duduknya. Tiba-tiba Nara terbangun. Dia terkejut melihat Reagan yang juga sudah bangun. "Kamu udah baikkan?" Tanya Nara sambil kembali memegang dahi Reagan. Tangannya tidak lagi merasakan panas. Artinya Reagan sudah tidak demam lagi. Nara menghembuskan nafas lega. Dia memeluk Reagan secara refleks karena bahagia. Reagan membalas pelukannya. Reagan memejamkan matanya menikmati pelukannya dengan Nara. Entah kenapa Nara merasa ingin menangis. Reagan yang mendengar suara tangisan Nara menarik Nara melepas pelukan mereka. "Hey, kenapa?" tanya Reagan bingung. Nara menggeleng tapi tetap menangis. Dia tidak tahu kenapa dia ingin menangis. "I'm sorry, oke? Aku ngerepotin kamu ya?" tanya Reagan. Nara menggeleng. "Jangan sakit," kata Nara pelan tapi cukup untuk di dengar Reagan. Reagan kembali memeluk Nara. "Iya, aku gak bakalan sakit lagi. Udah jangan nangis," bujuk Reagan. Tangannya membelai rambut Nara sambil mengecup puncak kepala Nara. Secara perlahan gadis itu kembali tenang. "Tidur yuk, masih jam 2 pagi," ajak Reagan kemudian kembali berbaring. "Aku mau tanya soal sesuatu," kata Reagan. "Hm, tanya apa?" kata Nara. "Gimana caranya aku bisa pakai baju dan celana aku ganti?" tanya Reagan. Nara mematung. Dia tidak siap untuk menjawab pertanyaan ini. Dia menggigit bibir bawahnya. "Aku harus ngelakuin itu karena menurut Bu Ijah itu harus. Aku terpaksa--" Jelas Nara sambil mencoba mencari alasan. Tapi itu hanya meninggalkan perasaan hangat dan gemas di hati Reagan. Satu hal yang dia tahu, dia mencintai wanita ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD