2. Missy dan Shin

1809 Words
Nicole mengangkat ponsel ke depan wajahnya. “Babe… Kau bisa mendengarku?” tanyanya ke arah layar. Suara balasan dari seorang pemuda terdengar putus-putus dari dalam ponsel yang di pegang gadis itu. “Nick…. Na…. Pa…. Di…. A…. jadi….” “Apa?! Babe!! Babe!!! Aku tidak bisa mendengar suaramu… haloo… Babeeee?!” “Nico…! Beb…. Ma…. Ta….” “Hah?! Jayden! Halo! Halo….!” Shinichi menyambar ponsel di tangan Nicole, membuka kaca jendela mobil yang sedang mereka naiki dan melemparkan benda itu keluar. “Wa…. Heiii! Apa-apaan!” jerit gadis itu membelalak. Kepalanya menoleh kebelakang sempat melihat ponselnya terbanting diatas aspal beberapa kali sebelum kemudian terlindas oleh mobil yang berjalan di belakang mereka. “Mengapa kau melakukan hal itu!” tambahnya. “Ponsel berbahaya. Orang bisa melacakmu,” jawab Shinichi singkat. Pemuda itu kembali menyandarkan punggungnya ke belakang diikuti oleh lirikan supir yang duduk di kursi depan. “APA?! Tapi aku sedang memakai telepon itu untuk menelepon—” “Menelepon Babe, ya aku tahu. Ia bisa menunggu hingga aman, seperti kata ayah mu. Lagipula, kita perlu membicarakan kepada siapa kau boleh membocorkan lokasi mu. Dirimu sedang dalam pelarian, bukan untuk tamasya. Aku bertanggung jawab atas keselamatanmu. Jadi kuharapkan kau mengikuti semua peraturanku.” Nicole menyatukan alisnya ke tengah. Dirinya adalah anak dari seorang Salazar. Nama belakangnya sudah cukup untuk membuat lutut siapapun gemetaran. Terumata di Metro. Selama ini belum pernah ada orang yang berani menentangnya. Kini seorang pemuda berani-beraninya memerintahnya? Apakah ia mencari mati? Gadis itu menyilangkan tangan di depan dadanya, tak lupa mengangkat kaki kanannya diatas kaki kirinya. “Dengar, Shin. Aku paham orang tua kita dulu adalah teman lama, dan Mom berhutang nyawa pada ayahmu atau semacamnya, tapi jangan salah. Kau bekerja pada ayahku, artinya kau bekerja padaku. Kau lah yang seharusnya menuruti kemauanku, bukan sebaliknya.” Shinichi tertawa mendengar ancaman Nicole. Ia menoleh ke arah Nicole, masih dengan sebuah senyuman tersemat di bibirnya, yang membuat Nicole semakin cemberut. “Berhenti menertawaiku,” geram Nicole. “Maaf,” geleng Shinichi masih sambil tersenyum. “Pikirkan, Missy. Ayahmu memiliki ratusan orang. Jika ia tidak dalam keadaan kepepet, tidak mungkin ia mengirim anak kesayangannya ke belahan dunia lain bersama dengan anak yang sudah lama tidak ditemuinya. Ia tidak mempunyai pilihan lain, Missy. Kau… tidak punya pilihan lain, selain ikut denganku.” “Apa! Kau….!” Nicole menggeram. Kesal karena apa yang diucapkan Shinichi masuk akal. Tidak mungkin ayahnya menitipkannya pada orang asing jika tidak karena terpaksa. Gadis itu mulai melepaskan dekapan tangannya. “Apakah Daddy dalam bahaya?” gumam Nicole pelan, kini mulai menyadari bahwa mungkin ada orang yang sedang mengincar keselamatan kedua orang tuanya. “Kalian selalu dalam bahaya,” balas Shinichi sambil melirik, memikirkan seberapa jauh ia akan memberitahu bahaya yang sedang mengancam keluarganya. Tomas memberitahunya bahwa ada orang-orang yang mengincar Nicole, saingan baru, katanya. Anak-anak muda yang lebih cerdas dan lebih berambisi darinya. Karena itulah ia tidak mau mengambil resiko dan memutuskan untuk mengirimkan Nicole jauh keluar negeri. “Tenang saja, kedua orang tuamu adalah orang-orang tangguh. Mereka tidak akan semudah itu di kalahkan. Mereka akan baik-baik saja,” lanjutnya memutuskan untuk tidak membebani Nicole lebih jauh. Nicole menoleh. Ia mengamati Shinichi yang kini membuang mukanya ke luar jendela. Pemuda itu memiliki rambut gelap sebahu yang diikatnya ke belakang. Dalam balutan kaos dan jeans, ia terlihat seperti kebanyakan teman di sekolahnya, normal. Siapa yang mengira bahwa Shincihi adalah remaja sepertinya, tumbuh dalam keluarga mafia. Dijepang mereka menyebutnya Yakuza. Entah apa bedanya, Nicole kurang paham, yang diketahuinya kini ia harus menyerahkan nyawanya pada pemuda yang sudah lama tidak di temuinya itu. Gadis itu melirik ke tas yang tergeletak di bawah kaki Shinichi. “Itu pedang milik Mom?” tanya Nicole. Shinichi menunduk ikut melihat tas panjang yang ada di kakinya. “Milik Ayahku.” “Ya… yang diberikan pada Mom, jadi milik Mom.” “Dan dikembalikan pada ku jadi ini sekarang adalah milikku, Missy.” Nicole mendengus. “Berhenti memanggilku Missy!” geram Nicole. “Hanya orang yang dekat denganku boleh memanggilku Missy. Kau… panggil saja aku Nicky.” Shinichi kembali tertawa, “Dan jika aku menolak?” “Maka aku akan mendiamkanmu,” jawab Nicole bersamaan dengan masuknya mobil ke hangar pesawat pribadi keluarga Salazar. “Terserah padamu, Missy. Kita sudah sampai. Apakah kau ingin tinggal di sini?” Shinichi bergegas turun begitu mobil berhenti. Pemuda itu meraih tas panjangnya yang berisi pedang dan berjalan menuju ke pesawat pribadi Salazar. Supir pribadi keluarga Salazar, mengeluarkan barang milik Nicole dari bagasi sambil melirik ke arah anak bosnya yang masih berada di kursi belakang mobil, duduk dengan wajah cemberut. Sebuah geraman kesal terdengar dari dalam mobil, yang kemudian diikuti oleh makian dan umpatan dari bibir Nicole. Tidak mungkin ia duduk terus di dalam mobil. Mau tidak mau ia akhirnya melangkah keluar dengan menghentak-hentakan kakinya ke arah pesawat. Gadis itu mendadak berhenti dan menoleh kebelakang, ke arah supir pribadinya. “Hei, Uncle Sim,” panggilnya kearah pria yang memanggul koper miliknya itu. “Bisakah aku meminjam ponselmu? Aku akan meminta Dad untuk membelikanmu yang baru.” Simon menatap anak bosnya dengan pandangan bingung. “Eh… Bukankah Tuan Shinichi tadi bilang jangan memakai ponsel—” “Ck, apa sekarang kau juga mematuhi dia dari padaku? Jangan lupa siapa bos mu, Uncle! Lekas, berikan ponselmu!” Simon tergagap hendak menolak, tapi tidak berani. Ia merogoh saku celananya dan menyerahkan ponselnya pada Nicole yang langsung memasukkannya ke saku jeans nya. “Thanks , Uncle,” ucap Nicole mengedipkan sebelah matanya pada pria itu. Ia lalu melanjutkan langkahnya menaiki tangga pesawat dan menghempaskan tubuhnya diatas kursi pesawat jauh di depan Shinichi yang mengambil tempat duduk di belakang. Suara pilot yang menyapa keduanya terdengar, diikuti dengan peringatan agar kedua mengeratkan sabuk pengaman karena pesawat sebentar lagi akan berangkat. Sambil masih mendongkol, Nicole menyentak sabuk dan menyilangkannya ke depan pangkuannya.  Ia memutuskan untuk menunggu Shinichi tertidur sebelum mencoba menghubungi kekasihnya lagi lewat ponsel milik supirnya. Perjalanan dari Metro menuju kota tujuan akan memakan waktu 13 jam, kata sang pilot. Tidak ada yang bisa dilakukan Nicole sekarang kecuali berusaha untuk menikmati perjalanan. Ia menolehkan kepalanya keluar jendela menatap pesawat yang mulai bergerak, melaju ke depan dengan kecepatan cepat. Beberapa detik mengebut, dan terasa perubahan tekanan di dalam kabin menandakan pesawat sudah mulai mendaki naik. Ada perasaan sedih di dalam benak gadis itu ketika melihat lampu-lampu kota kelahirannya, yang di kenalnya dengan sangat baik, mulai terlihat mengecil. Dan menghilang di balik awan gelap malam. Tujuh belas tahun ia tinggal di Metro. Kehidupannya bisa dibilang tanpa gejolak. Aman dalam kepompong yang dirajut kedua orang tuanya. Sekarang mendadak dalam semalam, semuanya berubah. Ia berada di dalam pesawat yang akan mengantarnya ke kota asing, jauh dari teman-teman. Jauh dari kekasihnya. Bersama dengan pemuda menyebalkan yang sudah lama tidak dijumpainya. Hanya karena sebuah ancaman dari organisasi baru. Nicole menelan ludahnya dengan kesusahan. Kecemasan semakin menyerang benaknya, terutama akan keselamatan Red dan Tomas, kedua orang tuanya. Belum pernah ia melihat mereka secemas itu. Sesuatu yang serius pasti sedang terjadi. Aku perlu menelepon, Jayden, pikir Nicole berusaha mengalihkan perasaan paniknya. Ia melirik ke belakang dan menemukan Shinichi yang sedang menunduk seperti sedang membaca sesuatu di tangannya. Sial, ia belum tidur juga. Nicole menunggu hingga lampu tanda sabuk pengaman padam, sebelum berdiri dan berjalan menuju kamar mandi yang ada di belakang pesawat. Mata Shinichi mengikuti Nicole hingga gadis itu menghilang masuk ke dalam bilik kamar mandi. Begitu memastikan kunci terpasang, Nicole mengeluarkan ponsel yang baru disitanya dari Simon dan menekan nomor telepon Jayden. Deringan terdengar beberapa kali disusul oleh suara bentakan dari ujung sambungan. “Siapa ini menelepon melam-malam?!” Nicole tersentak beberapa saat sebelum kemudian sadar bahwa Jayden pasti tidak mengenalinya karena memakai nomor telepon milik supirnya. “Hei Babe, ini aku, Nicky,” bisik Nicole pelan. “Nicole?” balas suara di ujung sambungan. “Ya. Maafkan aku menelepon malam-malam begini. Tapi aku sedang dalam perjalanan.” “Oh? Perjalanan? Apa maksudmu, Nick?” Nicole terdiam sejenak, memikirkan seberapa jauh ia hendak memberi tahu Jayden. Mereka sudah berkencan hampir setahun lamanya. Kapten tim basket di sekolahnya, Jayden adalah boyfriend idaman semua murid perempuan dan bahkan beberapa murid laki-laki. Tinggi, tampan, putih, atletis, berambut pirang. Paket lengkap dari istilah boyfriend material. Kini mendadak ia diharuskan berjauhan dengan Jayden. Bisa dipastikan burung-burung camar yang mengelilingi Jayden, tidak sabar untuk menerkam kan paruhnya ke bawah. Burung camar macam, Kirsten atau Bryana. Cih, memikirkan kedua orang itu membuat Nicole mendongkol. “Uhm… keluargaku mengirimku ke Jepang untuk tinggal beberapa saat,” jawab Nicole. “Jepang? Mengapa? Dimana?” “Uhm… entahlah, aku juga tidak tahu tepatnya. Tapi aku akan hubungimu lagi secepatnya mungkin—” BRUAK! Suara pintu kamar mandi yang di dobrak, memotong ucapan Nicole. Diikuti dengan munculnya Shinichi dari balik pintu yang terbuka. Tanpa peringatan, pria itu meraih ponsel di tangan Nicole dan membantingnya ke bawah. “Hei! Itu bukan milikku!” jerit gadis itu. Shinichi meringsak masuk ke dalam bilik kamar mandi yang sempit. Tubuhnya yang jangkung menghimpit tubuh Nicole, membuat gadis itu terpaksa merapatkan pinggulnya ke wastafel. “Aku sudah mengatakan, Missy. Ayahmu menyerahkan hidupmu di tanganku. Patuhi peraturanku, atau—” “Atau apa?!?” balas Nicole menantang. Seumur hidupnya belum pernah ada yang berani memperlakukannya sekasar ini. Siapa dikiranya pemuda ini? Shinichi menunduk mendekatkan wajahnya hingga hanya berjarak beberapa senti dari wajah Nicole. Ia bahkan bisa merasakan hembusan hangat gadis itu di lehernya. “Atau…,” lanjut Shinichi menjulurkan tangannya mengelus pipi Nicole yang hangat. “Aku akan membuat Daddy mu menyesal sudah menitipkan putri tunggalnya padaku.” “A..apa maksudmu?” Elusan jemari pemuda itu mulai membuatnya gemetaran. Entah karena ketakutan atau karena bersemangat, Nicole masih tidak bisa memastikan. “Janjiku hanya untuk menjaga nyawamu, Missy. Aku masih bisa mengambil sesuatu yang lain darimu.” Shinichi menarik bibirnya keatas dan kian menunduk. Hingga bibirnya menyapu bibir mungil Nicole, sekilas, tapi cukup membuat Nicole membeku. “Lepaskan!” bentak Nicole ketika ia akhirnya terbangun dari kekagetannya. Sekuat tenaga gadis itu mendorong tubuh Shinichi menjauh. Pemuda itu awalnya tidak bergeming. Dorongan tangan kecil Nicole terasa bagaikan tamparan semut pada seekor gajah. Tapi akhirnya ia mengalah. Pemuda itu melangkah mundur dan membiarkan Nicole melesat keluar dari bilik kamar mandi, kembali ke kursinya. “Hm…,” gumam Shinichi pelan begitu Nicole lenyap dari hadapannya. “Tidak buruk untuk gadis yang belum pernah mencium siapapun sebelumnya.” (Note: Proses kontrak dulu ya jadi sekian dulu update nya sampai kontrak lolos, lalu kita akan ongoing setiap hari. Doakan secepatnya, dan jangan lupa tinggalkan komen kalian. Bisa harapan, bisa doa, bisa nostalgia tentang red dan tomas, bisa makian kepada tomas. Semua keluh kesah aku tampung...)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD