Gathan dan Vita

1083 Words
Perkataan terakhir Dony terang saja membuat Gathan syok berat. “Seharusnya, tidak ada yang bisa mengatur hati seseorang. Kepada siapa dia akan mencintai, atau akan menikah. Gathan tidak mau menikahi Vita.” “Apa?” Dony memelotot. “Kamu sudah bertunangan dengannya, Gathan. Apakah kamu mau memutus pertunangan itu begitu saja?” “Ya. Gathan yang akan bicara kepada Vita dan keluarganya, segera!” “Tidak bisa,” sahut Dony dengan lantang. “Kenapa? Apa karena Ayah menerima aliran dana dari papanya Vita?” “Gathan!” sentak Noni sambil bangkit dari sofa. “Ayah tidak mendidik kamu sampai sekolah tinggi untuk menentang Ayah, hah!” “Katakan, Yah, kapan Gathan pernah menentang Ayah? Dari kecil, Ayah sudah mengatur hidup Gathan. Pendidikan, pimpin perusahaan Ayah, Gathan sudah turuti.” Lelaki itu menarik napas. “Sekarang waktunya Gathan memilih sendiri, siapa yang berhak mendampingi Gathan.” Gathan makin berang, tangannya mengepal di samping badan. Napasnya makin lama makin terasa berat. Ada rasa kecewa dalam hatinya. Karena itu dia meninggalkan ayah dan ibunya di ruangan tamu. Rumah mewah dan besar itu seolah adalah penjara yang selalu mengurung kebebasan Gathan. Dari kecil, dia selalu mengikuti apa kata ayahnya. Dan sekarang, dia juga harus menikah sesuai dengan keinginan ayah? Ini hidup siapa? Hidup ayah atau hidup Gathan? Lelaki itu memukul lingkaran kemudi, berteriak sepuasnya mengeluarkan rasa kesal dan marahnya. Selang beberapa saat, Gathan menenangkan dirinya. Menyalakan mesin mobil. Tapi ponselnya berdering, nama yang tampil, sahabatnya sendiri, Cairo. “Gimana, Ker?” tanya Gathan dingin dan datar. Dia tahu kalau Cairo meneleponnya untuk melaporkan dana yang mengalir tidak jelas. “Aliran dana itu memang tidak diperuntukkan ke kampus, atau ke sekolah tinggi. Entah ini untuk apa, namun aliran dana ini menuju ke perorangan.” “Baik kalau begitu, terus kabari aku,” kata Gathan lagi. “Oke. Kenapa dengan suaramu?” Gathan menghela napas yang berat. “Kacau.” “Mau ke apartemenku?” tawar Cairo dengan ramah. Gathan diam beberapa saat, saat ini memang hatinya bingung mau ke mana? “Datang saja, aku akan buatkan kopi hangat, bagaimana?” Gathan menarik napasnya yang gemetar, “Baiklah.” *** Cairo, selalu menyambut Gathan, mereka sahabat sejak sama-sama kuliah di luar negeri. “Ini dia, kopi hangat favoritmu,” kata Cairo sambil menyodorkan cangkir yang asapnya masih mengepul. “Terima kasih, kebetulan sekali, kan, di luar hujan,” sahut Gathan, menyeruput kopi itu perlahan. Apartemen Cairo ada di pusat kota, ada jendela besar di ruang tamu. Terlihat syahdu dilihat, Gathan jadi ingat keadaan hatinya. “Kenapa murung?” tanya Cairo, tidak tega melihat Gathan. “Suaramu juga tadi terdengar berbeda.” Gathan menaruh cangkir di meja. “Ayah memintaku menikahi Vita.” “What? That is good!” Cairo tersenyum, tangannya terbuka ingin memeluk Gathan. Tapi, tidak jadi dia lakukan. Karena wajah Gathan makin murung. “Bukankah kau mencintainya? Kalian sudah lama bertunangan, kan?” “Aku hanya menerima saran dari orang tuaku. Kau tahu, kan, orng tua dari Vita adalah old money,” papar Gathan, lemas rasanya. “Setelan menikah, lama kelamaan, kau juga akan mencintainya,” saran Cairo, “Saranku, kau terima saja, pernikahan ini.” “Memangnya pernikahan itu permainan? Apakah aku akan tega kepada Vita nantinya? Aku memang menyayangi dia, tapi, bukan sayang yang seperti itu, kau tahu, kan?” “Ya, ya, kau pernah bercerita, kau hanya menyayanginya sebagai teman yang dekat.” “Ya, itu,” sambar Gathan. “Tapi, tidak mungkin kau akan berhubungan fisik dengannya kalau kau tidak benar-benar mencintainy.” “Aku tidak pernah menyentuhnya!” ujar Gathan lantang. “Apa? Vita pernah bilang padaku kalau kalian menghabiskan malam bersama.” “Aku tidak pernah menyentuhnya sama sekali!” kilah Gathan, “Aku tidak pernah menyentuh seorang wanita, kecuali ....” “Kau mencintainya?” tebak Cairo. “Ya, begitulah,” ujar Gathan lalu mengedikkan bahu. “Aku juga tidak mengerti, bagaimana bisa aku melupakan kejadian sepuluh tahun lalu ... Dan sekarang aku bertemu dengan wanita itu lagi.” “Apa?” Cairo membesarkan matanya, tidak percaya dengan perekataan Gathan. “Sulit sekali dipercaya.” “Kau pikir aku percaya?” Gathan berpikir minum kopi malam-malam akan membuatnya terjaga. Tadinya dia akan melihat laporan keuangan yang sudah diperiksa oleh Cairo sebagian. Namun, jauh dari kenyataan, Gathan mengantuk, karena lelah. Jadi dia tertidur di sofa. Cairo yang menyelimutinya, dan memberi lelaki itu bantal. *** Paginya, Gathan terbangun karena sinar matahari yang menembus melalui jendela kaca lebar. Dia melihat Cairo sudah ada di dapur, ada suara mendesis-desis memenuhi ruangan. Ponsel Gathan yang ada di meja bergetar, nama yang tampir di layar ponselnya adalah, Vita! Pikiran Gathan masih kacau sama sekali. Tidak bisa berpikir atau jug bicara dengan Vita. Namun, Gathan tahu kalau semua urusan ini harus dituntaskan. “Hallo?” sapa Gathan, suaranya serak dan berat. “Gathan, apa kamu sakit?” tanya Vita, nada suaranya cemas. “Tidak. Ada apa menelepon sepagi ini?” “Ini sudah siang, hampir jam sembilan!” seru Vita, tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. “Di mana kamu? Aku ada di depan apartemenmu.” Gathan kaget tentu saja, yang dia lakukan adalah mengintip di depan pintu apartemen. Tidak ada siapa-siapa, untung saja, Vita tidak tahu tempat Cairo ada di sini. “Aku ... di kampus,” jawabnya gelagapan, tidak ingin Vita menyusulnya, terus terang, Gathan ingin menjauh dulu dari perempuan itu. “Untuk apa menginap di kampus? Ini, kan akhir pekan!” “Ada yang ingin aku kerjakan. Sebenarnya ada apa meneleponku pagi buta begini?” Gathan curiga, kabar pernikahan ini sudah sampai di Vita. “Tadi malam mama memberitahuku kalau orang tua kita sudah menentukan tanggal pernikahan. Astaga, aku sampai tidak bisa tidur saking bahagianya,” ujar Vita dengan ceria. Gathan hanya mendengarkan, dia lalu duduk di kursi meja makan. Memberi tanda kepada Cairo dengan menaik turunkan alis. “Vita?” tanya Cairo hanya menggerakkan bibirnya, tanpa mengeluarkan suara. Gathan mengangguk, menjauhkan pengeras ponsel dari telinganya. Vita masih mengoceh ini dan itu. Sampai Gathan tidak paham. “Bagaimana? Hallo, Gathan?” Vita memanggil tunangannya itu. Karena tidak ada jawaban sama sekali. “Ya?” “Papa menyuruh aku untuk memilih tempat resepsinya. Bagaimana kalau di Hotel Internasional? Dari umur dua belas tahun, aku selalu ingin menikah di sana.” Gathan mengulang, dua belas tahun? Bagaimana Gathan bisa memupuskan mimpi Vita yang sudah dia bangun sejak usia dua belas? “Aku sangat antusias, Gathan!” seru Vita. “Vit, maafkan aku.” Gathan menarik napas. “Aku mau kita putus.” “Apa?!” pekik Vita.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD