Bab 4

1157 Words
 beberapa minggu ini Sendy disibukkan dengan persiapan pernikahannya dengan Angga. Gadis itu baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke 17 tahun. Dan kini ia sudah harus siap menyandang gelar sebagai seorang istri. Terlebih lagi Angga mengatakan bahwa tidak ada perjanjian dalam pernikahan ini, dan tidak ingin ada perceraian setelahnya. Yang artinya lelaki itu menginginkan pernikahan ini terjadi selamanya. “Mami...” panggil Sendy pada Lyna yang tengah sibuk berbicara dengan salah satu koleganya. “Kenapa, Sayang?” wanita cantik berparas oriental itu berjalan menghampiri putri cantiknya. “Amey sebentar lagi jadi istrinya Kak Angga. Itu artinya kita bakalan gak tinggal bareng lagi dong, Mi?” tanya Sendy sembari menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. “Sssttt... Anak cantiknya Mami sama Papi nggak boleh nangis, nanti luntur riasannya,” Lyna menghapus bulir bening dari sudut mata putrinya. “Amey masih bisa kok tinggal sama Mami dan Papi kalau sudah menikah. Tapi semua itu kembali lagi ke Angga, karena kamu harus menuruti apa kata suami,” lanjutnya yang diangguki oleh Sendy. Pagi ini kediaman Suryatama sedang ramai karena akan menjadi tempat berlangsungnya akad nikah antara Sendy dan Angga. Bahkan keluarga mereka juga telah menyiapkan pesta resepsi di sebuah ballroom hotel berbintang. Walau awalnya Sendy sempat menolak karena alasan ia masih sekolah, tapi pada akhirnya ia pasrah saja dengan kemauan keluarga. “Sudah siap, Dek?” tanya Alena, istri dari kakak pertama Sendy yang bernama Radian. “Tapi Amey deg degan terus, Ce?” cicitnya namun masih terdengar jelas di telinga Alena dan Lyna yang tengah mengapit tubuh mungilnya. “Berdoa saja semoga semuanya lancar, Mami yakin semuanya akan baik-baik saja,” ucap Lyna sembari menggenggam tangan putrinya yang berkeringat. Ketiga orang itu sedang menunggu jalannya akad nikah di lantai bawah. Karena keputusan Angga untuk menjadikan Sendy sebagai istrinya tanpa duduk berdampingan saat ijab kabul. Karena katanya biar surprise waktu gadis cerewet itu sudah jadi istrinya. Rasanya terdengar menggelikan di telinganya tiap kali menyebutkan kata “Istri” apalagi untuk Sendy. “Sudah siap?” tanya penghulu yang tengah duduk disisi Chandra Suryatama. “Siap!” jawab Angga lantang membuat saudara kembarnya dan kedua kakak Sendy terkikik geli. “Nafsu bener mau halalin adek gue, Bro,” goda Bastian, kakak kedua Sendy yang seumuran dengan Angga dan Anggi. Angga tidak merespon godaan yang dilancarkan oleh Bastian. Ia lebih memilih fokus mendengarkan apa yang dikatakan oleh penghulu. Sampai tiba pada saat ia harus menjabat tangan Chandra untuk mengucapkan ijab kabul. Sungguh jantungnya berdegub kencang, bertalu-talu layaknya gendang. Ia tidak percaya akan menikah secepat ini dengan gadis yang tidak pernah ada dalam benaknya selama ini. Gadis manja, cerewet dan cengeng seperti Sendy. “Saya nikahkan dan kawinkan engkau Angga Putra Hadinata bin Arman Hadinata dengan putri kandung saya Sendy Buana Suryatama binti Chandra Suryatama dengan mas kawin 1kg logam mulia dibayar tunai,” Chandra menggerakkan tangannya ketika tiba giliran Angga mengucapkan ijabnya. “Saya terima nikah dan kawinnya Sendy Buana Suryatama binti Chandra Suryatama dengan mas kawin yang tersebut TUNAI!” ucapnya lantang membuat beberapa orang menghela nafas lega. “Bagaimana, Saksi?” tanya penghulu pada kedua orang di sisi meja tempat berlangsungnya akad nikah. “Sah!!!” jawab kedua saksi nikah yang diikuti oleh puji syukur mereka yang hadir. Angga mendapatkan pelukan hangat dari kedua orang tua dan saudari kembarnya. Sampai kedua kakak istrinya datang menghampiri dan memeluk tubuhnya. Rasanya masih sedikit ganjil saat menyebutkan kata “istri”, tapi bagaimanapun juga itu adalah faktanya. Ia dan Sendy telah resmi menjadi suami istri. Di dalam kamar tempatnya menunggu ketiga orang yang sejak tadi saling berpegangan tangan, kini terlihat saling berpelukan. Bahkan Sendy dan Lyna tidak bisa menahan bulir bening yang turun dari sudut matanya. Jika Lyna mengeluarkan air mata haru atas penikahan putri kecilnya, berbeda dengan Sendy yang menangisi status barunya. Kini ia telah menjadi istri orang, lebih tepatnya menjadi istri seorang Direktur muda, Angga Putra Hadinata. “Sekarang waktunya turun dan menemui suami kamu. Sudah jangan menangis lagi, nanti makeupnya luntur, Angga malah takut lihatnya,” Lyna menghapus air mata di pipi putri cantiknya. Sebelum turun perias yang sedari tadi standby telah merapikan riasan Sendy, agar gadis itu tampil maksimal di hadapan suami dan mereka yang hadir. Ketiganya berjalan menuruni tangga yang pagarnya sudah dihiasi ratusan mawar putih. Sendy bisa melihat puluhan pasang mata tengah tertuju padanya, tapi ia terlalu malu untuk mengangkat kepala. Ia masih belum siap melihat wajah jahil lelaki yang jadi suaminya. Sampai langkahnya berhenti tepat di hadapan Angga. “Salim tangan suamimu, Dek,” ucap Chandra pada putrinya. Sendy bisa melihat dengan jelas tangan besar di hadapannya, rasanya ingin sekali ia menggigit tangan itu. Namun ia buru-buru menghapus bayangan tentang menggigit tangan Angga. Dengan takut-takut dan tangan bergetar ia meraih tangan Angga, mengecupnya pelan dan langsung dihadiahi tepukan bahkan godaan dari mereka yang hadir di akad ini. “Angkat wajahmu, Dek. Kak Angga mau lihat wajah istri yang cantik ini,” goda Angga yang membuat Sendy mau tidak mau mengangkat kepala untuk menatap tajam ke arahnya. Ya Allah... Kenapa Kak Angga berubah jadi ganteng gini ya? Aduh jantung gue mulai nggak sehat ini. Gumam Sendy dalam hati ketika melihat wajah tampan Angga yang tersenyum padanya. Masya Allah... Cantik. Bukan salah jodoh kalau kita memang berjodoh. Gumam Angga dalam hati ketika menatap wajah Sendy yang terlihat dewasa dan cantik dengan makeup. “Ehem... Pandang-pandangannya nanti saja kalau sudah di kamar. Sekarang cium kening dulu, buruan... Gue laper nungguin acara tatap-tatapan lo berdua,” teriakan Bastian penuh goda menyadarkan kedua orang yang saling tatap sejak beberapa menit lalu. Membuat yang lainnya tertawa mendengar ocehannya. Sungguh sosok kakak kedua Sendy ini memang terkenal asal bicara, padahal sebentar lagi ia akan bergelar Doktor. Akhirnya Angga mengecup kening Sendy dengan canggung, karena ini kali pertama ia mencium gadis itu setelah ia benar-benar menjadi gadis. Terakhir kali ia mencium Sendy pada saat gadis itu baru berusia 5 tahun dan menangis karena diganggu Bastian dan Anggi. Bahkan ia ingat benar saat itu mengatakan akan menikahi Sendy jika gadis kecil itu berhenti menangis. Tunggu dulu! Apa tadi dia bilang? Akan menikahi Sendy jika berhenti menangis? Dan sekarang apa yang ia lakukan? Menikahi gadis kecil itu, menjadikannya seorang istri. Angga tersenyum kecil mengingat kegilaannya saat itu, dan kini ucapannya menjadi kenyataan. Sendy benar-benar menjadi istrinya dan tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan saat ini. Keduanya menyelesaikan tanda tangan beberapa dokumen yang dibawa oleh penghulu. Bahkan Angga bisa melihat tangan Sendy bergetar ketika menanda tangani buku nikah mereka. “Relaks, Dek,” bisik Angga di telinga Sendy sembari mengenggam tangan kirinya yang bebas. “Aduh... Mi... Pi... Bastian nikah juga ya habis ini? Envy banget lihat dua orang di depan,” suara Bastian memecah ketegangan yang dirasakan oleh Sendy yang tengah mendengus kesal. “Ko...” Lyna memperingatkan putra keduanya untuk diam dengan tatapan tajamnya. “Ppppffff...” Anggi sedang membekap mulutnya sendiri menahan tawa melihat sahabat kecilnya ditegur. “Jangan ketawa, lo. Mentang-mentang sudah nikah,” protesnya pada Anggi yang nyaris terbahak mendengarnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD