ONE

1487 Words
"Nah! Ini dia yang ditunggu-tunggu! Akhirnya datang juga!" Pria yang baru saja tiba itu segera menghampiri teman-temannya. Dengan malas, ia memaksa kakinya melangkah menuju satu-satunya lounge yang diisi oleh lima orang laki-laki. Pria itu perlahan menaruh tas Saint Laurent-nya ke pangkuan teman yang menyapa kehadirannya beberapa detik lalu. "Dari mana? Kok lama?" tanya temannya yang lain. Pria itu ikut duduk dan menyandarkan punggung dan kepalanya ke sofa. Raut wajahnya menunjukkan rasa lelah dan capek. Ia memejamkan matanya yang agak berkantung. "Udah kayak zombie aja ini orang." "Bukannya lo perasaan satu divisi sama Kevin? Kok dia bisa cabut duluan?" "Bener! Padahal gue yang sibuk gambar design, kok gue yang duluan sampai sini?" celetuk laki-laki bernama Kevin. Seperti biasa, semua mata menatap ke arah pria dengan tinggi seratus tujuh puluh enam centimeter itu. Yang menjadi pusat perhatian hanya menghela napasnya. Menganggap berbagai komentar dan pertanyaan itu tak penting. Ia mengambil ponsel dari jaketnya dan membuka beberapa aplikasi. "Biasa..." sahutnya. Suaranya terdengar sangat berat dan agak serak. Kemudian menghela napas. Biasa? Biasa apa? Itu pertanda bahwa ia sedang tak ingin membahas penyebab keterlambatannya. Lima orang temannya terkekeh melihat kebiasaannya itu. Sudah menjadi sesuatu yang lumrah jika pria berkulit putih pucat itu datang terlambat dan mengeluh. Memang sudah menjadi tabiatnya. Apalagi jika diajak ngumpul-ngumpul seperti ini, dia akan tiba paling akhir dengan wajah datar tanpa ekspresi dan cenderung malas. "Mau minum apa, Arga?" Pria bernama Arga yang sedari tadi menjadi pusat obrolan teman-temannya itu menoleh. Wajahnya masih tenang. Di hadapannya berdiri seorang pria dengan membawa nampan berisikan lima gelas minuman berbeda. Ia mendistribusikan gelas-gelas yang dibawanya satu-persatu ke meja. Sesuai dengan pesanan. "Biasa." Lagi-lagi jawaban itu. Setelah meletakkan gelas terakhir, pria bertubuh jangkung dan berbahu lebar itu terkekeh. "Caipirinha?" Arga menggumam sebagai konfirmasi bahwa ia memang benar ingin meminum koktail favoritnya itu. Tanpa mengalihkan pandangan matanya dari layar ponsel. Jempolnya terus bergerak. Scroll, scroll, scroll. "Lo beruntung. Gue baru aja nambah stok Cachaça langsung dari Brazil khusus buat lo." "Glad to hear that," sahutnya singkat. Pria yang merupakan host atau pemilik Public House tempat mereka berkumpul itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Memaklumi kebiasaan Arga yang memang agak pelit kata jika sedang kelelahan. "Lia," panggil pria jangkung itu pada salah satu pegawainya. Seorang gadis berambut panjang dan berseragam khas Pub itu menghampirinya."Iya, Bos?" "Bikinin Caipirinha. Satu. Gulanya satu sendok teh. Jangan lebih dari itu. Lime-nya cuma tiga iris tipis. Nggak perlu pakai garnish. Kocok lima kali. Esnya penuhin aja. Cachaça dua puluh lima mili. Jangan kurang, jang--" "Bang Sony, lo aja yang bikin," potong Arga. Membuat semua mata tertuju padanya. Pria bernama Sony itu berdecak. "Sesekali yang lain yang bikin kan nggak masalah, Arga." Arga menggeleng seraya menurunkan ponsel yang sedari tadi ia mainkan dari pandangan matanya. Ia menghela napas lagi. Entah yang keberapa kalinya ia harus membuang udara dari organ pernapasaannya sejak kedatangannya di Pub ini. "Rasanya beda. Lo aja bikinin." Pada akhirnya Sony hanya mampu mengalah. Temannya yang satu ini benar-benar keras kepala. Ia menyerahkan nampan kosong yang sedari tadi dipegangnya pada Lia. Kemudian ia berkata, "Nggak jadi. Biar aku yang bikin. Kamu balik kerja saja." Lia memberikan senyumnya dan mengangguk. "Oke, Bos." Kemudian Sony ikut meninggalkan meja di mana teman-temannya berkumpul. Sepertinya mereka hanya ingin Sony yang membuatkan minuman secara langsung. Lalu untuk apa ia memperkerjakan beberapa pegawai jika pada akhirnya sebagian besar pengunjung Pubnya ingin Sony sendiri yang membuatkan minuman favorit mereka? Sony hanya dapat tersenyum pasrah dan melaksanakan tugasnya. Sudah kewajibannya sebagai host untuk menjamu pelanggan dengan baik dan ramah. Sepeninggal pemilik Public House itu, mereka kembali memulai obrolan yang sempat terpotong karena kehadiran Arga. Minuman yang tadi disediakan Sony mulai dinikmati. Tersirat rasa puas di wajah mereka. Arga hanya bisa meneguk air liurnya. Menahan dahaga. "Mojito bikinan Bang Sony emang paling T.O.P deh!" puji Kevin. Yang lain mengamini. Termasuk Arga yang masih berkutat dengan ponselnya. Ia mengangguk sebagai bukti partisipasinya dalam obrolan itu. "Bang Arga, gimana design bikinan gue tadi? Masih perlu revisi?" Arga menggeleng. "Udah approved kok. Besok gue sign. Nanti ambil aja di meja gue." Kevin bernapas lega. Pria muda itu tak dapat menyembunyikan kegembiraannya. Akhirnya satu dari sekian design bangunan yang harus ia gambar telah selesai dan approved. "Oh, jadi lo telat karena harus ngecek kerjaan ini bocah?" tanya pria jangkung dengan kacamata membingkai wajah tegasnya. Arga menaruh ponselnya dengan asal ke atas meja. Ia merenggangkan otot bahu dan lengannya. Kemudian mengucek-ngucek matanya yang sudah sangat berat. Ia benar-benar lelah dan memerlukan Caipirinha-nya untuk menyegarkan dirinya. "Terus apa lagi? Udah, Jangan ngomongin kerjaan, please! Nino, lo tau kan pusingnya gue gimana?" kata Arga. Kemudian menguap lebar. Nino, Kevin, dan tiga temannya yang lain tertawa. "Tau nih! Bang Nino, jangan ngomongin kerjaan. Bang Arga kan bentar lagi naik jabatan. Bakal sibuk nggak ada ampunnya. Dua bulan lagi kan bokapnya pensiun," tegur pria bermata nakal yang duduk di sebelah Arga. Kevin tertawa. "Bener, Jef! Otomatis yang ngisi posisi Bang Arga nanti gue dong? Ya kan?" tanyanya. Harap-harap pengen. Jefri terbahak. "Ngarep lo! Ketinggian!" "Ngarep tinggi-tinggi aja, Kev. Kali aja dikabulin," sahut orang yang duduk tepat di samping Kevin. Ia menepuk-nepuk pundak Kevin sebagai dukungan. "Makasih, Bang Indra." Indra mengangkat alisnya sebanyak dua kali. Lalu berkata, "Kalo naik jabatan, artinya bakalan ada double party dong? Party buat Bang Arga dan tentunya buat lo juga!" "Nah! Yang ini lebih ngarep lagi! Hahaha!" gelak pria muda yang duduk tepat di seberang Arga dan Jefri. "Tom, namanya juga Indra! Kerjaannya ngarep," celetuk Jefri. Pria muda yang seumuran dengan Jefri itu segera meralat, "Kangarep sejati ini orang mah!" Kemudian mereka terbahak. Termasuk Indra yang jadi bahan candaan. Sampai-sampai Arga yang terkenal dengan poker face-nya itu pun terkekeh. Menampilkan deretan giginya yang putih dan tertata rapi itu. "Ada apaan nih? Kok seru banget? Tuh.,kan! Gue ketinggalan deh! Gara-gara bikin minum doang, lagi-lagi kehilangan momen!" omel Sony seraya meletakkan segelas koktail dengan irisan lime di dalamnya. Pria bernama lengkap Arga  yang sedari tadi menunggu minumannya itu segera menenggak dengan rakus koktail asal Brazil tersebut. Tak peduli pada akhirnya ia akan mengilu karena dinginnya rum yang bercampur dengan es. Ia merasakan saraf-saraf pada matanya bereaksi. Membeku seketika. Arga memejamkan matanya. Erat. Terlalu dingin. Rahangnya terkatup rapat. Menikmati sensasi segarnya campuran lime, gula, dan alkohol pada tenggorokannya. Ngiiiiing! Terdengar bunyi denging mic yang terhubung pada sound system. Semua mata segera tertuju pada panggung kecil yang menjadi sumber kegaduhan itu. Di sana terletak sebuah kursi kosong dan mic stand. "Wah! Bang Sony, tumben ada music live!" kata Tommy dengan semangat. "Siapa yang nyanyi?" tanya Nino. Sony mengarahkan dagunya pada Indra. "Sepupunya si kuda noh! Perdana tampil di sini. Katanya bagus. Kalo bener mantap, bakal gue jadiin main singer di sini deh. Cantik soalnya." Indra memamerkan senyum cerahnya. "Dijamin! Suaranya... Beeeh! Bikin lo pengen berkembang biak!" "Anj--berkembang biak?! Dikata binatang?!" Jefri terbahak. Diikuti oleh Kevin dan Tommy. "Cewek?" Nino menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Excited. Sony tertawa. "Iya, cewek. Masa gue kena protes mulu gara-gara nggak pernah ngadain music live pakai penyanyi cewek? Padahal kurang cantik apa lagi pegawai-pegawai gue? Heran!" keluhnya. "Udah tau kalo yang sering nongkrong di sini tuh mostly cowok, ya jelas lah orang pada nyari yang bening-bening!" celetuk Kevin. Jefri dan Tommy mengamininya dengan menjentikkan jari mereka. Membuat Kevin mengangkat kedua alisnya. Bangga. Sony mengangguk-angguk maklum. Ia tak menyanggah pendapat itu karena memang benar adanya. Pelayan dan staff perempuan saja takkan cukup untuk Pub-nya yang kebanyakan pengunjungnya adalah laki-laki. Dan sebagian besar pelanggan tempat nongkrong sekaligus hiburan itu merupakan teman dekat Sony sendiri. Terutama enam pria yang duduk pada lounge khusus miliknya ini. Ngiiiiing! Sekali lagi mic berdenging. Seorang gadis bersurai coklat gelap duduk pada kursi yang terletak di tengah-tengah mini stage. Sebuah gitar akustik beristirahat di pangkuannya. "Nah! Itu dia! Wanda!!" Dengan noraknya Indra melambaikan tangan kanannya pada si penyanyi cantik yang duduk sendirian di atas panggung. Gadis itu memberikan senyum manisnya pada Indra. Pipinya merona. Ia terlihat kikuk dan malu-malu. "Shoot! Cakep, Nyet!" Kevin sangat bersemangat. Tommy mengangguk setuju. "Seandainya gue nggak punya pacar, mungkin gue udah kepincut sekarang." "Idem!" sahut Jefri. Sony terbahak. "Ini bocah-bocah nggak bisa lihat yang bening dikit ya..." katanya seraya menggelengkan kepala. "Selamat malam. Perkenalkan, saya Wanda. Pertama kalinya tampil di Brillante. Semoga nyanyian saya dapat menghibur." Suara lembut itu terdengar sangat merdu di telinga Arga yang sedari tadi tak peduli dengan keadaan sekitar. Perlahan ada sesuatu yang menggugah hatinya untuk melihat siapa gadis bersuara indah itu. Tubuhnya pelan-pelan bergerak. Berhenti bersandar pada sofa yang empuk. Ia membuka matanya dan menolehkan kepalanya ke arah panggung kecil yang tak jauh dari lounge tempatnya berada. Deg! Benar. Dia memang cantik. Sangat. Dan hal tersebut membuat jantungnya berdebar. Oh, ini tak pernah ia alami sebelumnya. Dalam dua puluh lima tahun umurnya, Arga  tak pernah merasakan ini dalam kurun waktu yang sangat singkat seperti ini. Tidak pernah. Pria berkulit putih pucat itu lupa bagaimana caranya bernapas saat mendengar alunan merdu suara indah gadis itu. Diiringi oleh petikan gitar yang membuatnya terpana. Benar. Ia terpaku. "I'm not the kind of girl...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD