TWO

1557 Words
"Jaga kesehatan ya, Bu." Gadis itu memeluk ibunya. Senyum mengembang di wajah mereka. Berpelukan beberapa detik. Menyiapkan diri untuk saling merindukan. Dan ketika pelukan itu merenggang, mereka akan berpisah kembali. "Kamu juga mawas diri. Hati-hati. Biasakan pulang ke rumah jangan sampai kemaleman. Bahaya. Kalau ada apa-apa, kamu bilang ke Tante Shella dan Indra. Mereka satu-satunya keluarga dari almarhum ayah kamu yang peduli." Gadis itu mengangguk. "Iya, Bu. Kadang kalau aku kelaperan pasti numpang makan di sana kok. Hehe. Ibu tenang aja." "Jangan sering-sering numpang makan, Wanda! Bikin malu aja! Makanya mending kamu ikut aja tinggal sama Ibu di Semarang daripada sendirian di sini," omel ibunya seraya mencubit gemas pipi putri kandungnya. Wanda meringis. Cubitan ibunya selalu membuat tubuh nyeri. "Duh, Ibu. Jangan main cubit, ah! Sakit tau... Nggak deh, Bu. Wanda di sini aja. Lagian aku baru dapat tawaran kerja." Sang Bunda tersenyum lembut. Ia mengusap-usap kepala putri dari almarhum suaminya itu. Dan kini ia harus pulang ke Semarang untuk kembali pada suaminya. Benar, Wanda lebih memilih untuk tinggal sendirian di Jakarta, di rumah almarhum ayahnya daripada tinggal bersama ibu dan ayah tiri beserta kakak tirinya. Mengapa demikian? Apakah tidak terlalu kentara? Karena Wanda tidak menyukai ayah dan kakak tirinya. Cukup dengan setengah tahun tinggal bersama mereka. Wanda memilih untuk kembali ke Jakarta dan hidup sendirian dengan uang warisan dari ayahnya serta pengawasan dari tantenya, Shella. Kereta yang akan membawa ibunya ke Semarang pun tiba. Wanda melepaskan softcase gitar akustik yang bergantung ke bahunya agar dapat memeluk ibunya lebih leluasa. Ia dapat merasakan usapan hangat pada punggungnya. Membuat Wanda merasa segala beban hidupnya terangkat seketika. "Telpon atau SMS aku kalau sudah sampai ya, Bu. Ingat, doain Wanda lancar nyanyi malam ini." Wajah gadis itu ditangkup dengan sayang oleh kedua tangan ibunya. Membuat wajahnya terlihat sangat lucu. "Iya... Doa ibu selalu buat kamu, Sayang." Ibu memeluk Wanda sekali lagi dan mencium pipinya sebelum menaiki kereta yang sudah tiba sedari tadi. Wanda melambaikan tangannya sembari menggendong kembali gitar akustik yang ia lepaskan beberapa saat lalu. Setelah mendapat balasan dari ibunya dan pintu kereta tertutup, Wanda melirik jam tangan hadiah terakhir dari sang ayah. Dua puluh menit lagi adalah jadwal yang ditentukan untuk hari pertama kerjanya sebagai penyanyi freelance di salah satu Pub milik teman sepupunya, Indra. Wanda segera membawa kakinya beranjak dari tempatnya berpisah dengan ibunya. Ia harus segera mengambil jalur lain, kemudian dilanjutkan ke jalur nomor tiga menuju Senayan. Apakah dua puluh menit akan cukup membawa Wanda ke tempat tujuan? Semoga saja ia tidak telat di hari pertamanya. *** Dengan langkah tergesa-gesa, Wanda segera berjalan menuju Pub yang ternyata sangat tenar di kawasan Senayan. Brillante. Nama yang sangat unik untuk dijadikan sebuah public house mengingat Brillante sendiri adalah sebuah seni lukis. Mungkin teman Indra ini mempunyai ketertarikan terhadap kesenian. Setidaknya begitu asumsi Wanda. Ketika Wanda sudah hampir sampai di pintu Pub, ia segera disapa oleh seorang security berbadan tinggi tegap. Wanda menghampirinya. "Permisi, Pak. Saya Wanda. Penyanyi freelance yang baru--" Belum selesai Wanda berbicara, Bapak Security segera memotong, "Wah, kamu sudah ditunggu-tunggu Pak Sony dari lima belas menit yang lalu. Ayo, cepat. Saya antarkan ke dalam. Pak Sony nggak suka menunggu." Sial! Dia benar-benar terlambat di hari pertamanya. Mendengar rentetan kalimat yang diucapkan si Bapak, Wanda tanpa pikir panjang segera mengangguk dan mengekori Pak Security. Ia segera memasuki tempat nongkrong yang ternyata sangat mewah itu. Duh! Ini gawat. Kesempatannya untuk menjadi salah satu penyanyi di Pub ini benar-benar terancam. Mata Wanda membulat. Ia mengedarkan pandangannya dan takjub dengan interior Public House itu. Benar-benar mewah. Pengunjungnya pun kebanyakan terlihat seperti orang-orang penting dan sebagian besar adalah laki-laki. Lihat saja setelan jas, jam tangan, dan sepatu yang mereka kenakan. Dan jangan lewatkan properti-properti yang mengisi seluruh ruang Pub ini. Terlihat minimalis, namun sangat modern, dan sophisticated. Mungkin sekarang mata bulat Wanda sudah berwarna hijau sekarang. Sehijau angka seratus pada uang dolar amerika. Bapak Security berhenti di sebuah bar. Ia segera menghampiri seorang gadis dengan seragam pelayan yang sangat rapi dan elegan. Mereka bertukar kata sebentar sebelum si Bapak meninggalkan Wanda dan kembali bertugas menjaga keamanan. "Wanda, ya?" Gadis pemilik nama yang sedari tadi takjub dengan keadaan sekitarnya itu segera memfokuskan dirinya pada orang yang menyebut namanya. Ia tersenyum ramah padanya. Wanda segera mengangguk. "Iya. Saya Wanda." "Perkenalkan, saya Lia. Salah satu waitress di sini. Silakan duduk dulu." Waitress berambut pendek sebahu itu mempersilakan Wanda duduk di salah satu kursi pada bar. Ia kemudian menghampiri seorang laki-laki berporsi tubuh layaknya model. Tinggi dan berbahu lebar. Satu hal lagi, tampan. Wanda masih terperangah dengan keadaan sekelilingnya. Cozy. Pub ini benar-benar nyaman dan elegan. Mulut gadis itu tak henti-hentinya terbuka dan menggumamkan kata 'Wah'. Perlahan ia melepaskan tas gitarnya. Ia sandarkan ke bar, tak jauh dari kakinya. Matanya terus menyelusuri tiap sudut tempat hiburan itu. Tak luput pula rak-rak yang diisi oleh berbagai minuman. Dari yang mengandung alkohol hingga non alkohol. Kebanyakan barang impor, karena Wanda dapat dengan jelas melihat tulisan-tulisan asing pada label botolnya. "Wanda?" Lagi-lagi namanya dipanggil. Kali ini suara laki-laki. Wanda segera menoleh. Ternyata laki-laki tampan yang tadi. "Ya, benar." Laki-laki itu melirik jam tangan keluaran Swiss-nya dan berkata, "Hmm, telat tujuh belas menit." Dalam hatinya, Wanda benar-benar panik dan gugup. Oh! Dia adalah Sony. Pemilik Pub sekaligus teman dari Indra. Mampuslah dia! "Maaf, Pak. Tadi saya sempat nyasar," kata Wanda. Berbohong sedikit takkan masalah bukan? "Ya sudah, nggak pa-pa. Yang penting sudah datang," katanya tersenyum maklum." Kemudian ia memanggil salah satu pegawainya. "Arif, tolong siapin stage." Cowok yang dipanggilnya itu segera meletakkan nampan berisi gelas-gelas kotor pada tepi bar dan menyahut, "Siap, Kak!" Lalu ia segera melaksanakan instruksi yang bosnya berikan. Sony meneruskan aktivitasnya. Ia mulai mengocok-ngocok shaker yang sedari tadi ia bawa sebanyak lima kali. Kemudian menuangkan cairan bercampur dengan irisan lime ke dalam gelas kecil di hadapannya. Minuman segar itu membuat Wanda meneguk air liurnya. "Oh, iya. Wanda, kita belum kenalan. Pasti kamu tahu siapa saya dari Indra kan? Saya Sony. Host di sini." Wanda menyambut uluran tangan Sony. "Wanda. Terima kasih sudah memberikan saya kesempatan untuk tampil di sini, Pak." Sony tertawa. "Jangan panggil saya Bapak. Kesannya saya tua sekali. Panggil Kakak saja. Semua pegawai di sini memanggil saya dengan Kak Sony biar lebih akrab." Wanda hanya mampu tersenyum kaku dan canggung. Bagaimana bisa ia memanggil seseorang yang baru ia kenal beberapa menit dengan Kakak? Namun demi mendapat kesempatan manggung dan menjaga nama baik sepupunnya ia terpaksa mengangguk. "Oke, Kak." Ngiiiing! Suara dengingan dari kontak mic dan speaker terdengar. Membuat semua mata mengarah pada sumber suara. Termasuk Wanda dan Sony. "Nah, kayaknya sudah siap. Kasih best effort ya. Kalau cocok, kamu saya kontrak buat jadi main singer di Pub saya." Wanda mengangguk mantap. Ia segera turun dari kursi bar dan meraih tas gitarnya. "By the way, Wanda, Indra ada di sana. Itu di lounge ujung. Katanya nggak sabar nonton," kata Sony seraya tertawa ringan. Tampan dan ramah sekali. Wanda ikut tertawa. Ia memamerkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi. "Semangat!" katanya seraya mengacungkan kepalan tangannya. Sony mengamininya dengan ikut berkata, "Yeah! Good luck, Wanda. Saya permisi dulu. Mau nyamperin Indra dan anak-anak." Ia menaruh segelas Caipirinha tanpa garnish itu ke nampan kecil. Sekali lagi, Wanda meneguk air liurnya yang terkumpul di mulutnya hanya karena melihat minuman segar itu. Sepertinya akan sangat nikmat jika melewati tenggorokan. Ketika Sony beranjak untuk meninggalkan bar, Wanda merundukkan kepalanya. Kemudian ia ikut menjauh dari bar dan berjalan menuju panggung. Belum apa-apa Wanda sudah menjadi pusat perhatian. Jantungnya memompa lebih cepat. Gugup sekali. Ini pertama kalinya ia tampil di sebuah tongkrongan kelas atas seperti ini. Indra sialan! Ia tak mengira pergaulan sepupunya itu akan se-borju ini. Perlahan Wanda mengeluarkan gitar dari softcase-nya. Menggendong gitarnya dan menghampiri satu-satunya kursi yang ada di atas panggung kecil tempatnya berpijak. Ya ampun! Saking gugupnya, Wanda berkeringat. Pelan-pelan ia menduduki kursi itu. Berhati-hati agar tak terjadi kejadian memalukan di malam pertama ia perform. Wanda menarik napas sekali lagi. Dalam-dalam. Lalu ia hembuskan ke udara seraya menggumamkan, "Wish me luck!" Dan ia mengarahkan mic ke posisi yang pas dengan mulutnya. "Ehem!" dehamnya sebelum mengedarkan pandangan matanya ke seluruh pengunjung Pub elit malam itu. Tiba-tiba matanya terhenti pada satu tempat. Itu dia! Indra. Sepupu kampretnya. Anak dari adik perempuan almarhum ayahnya. Mengapa dia tidak mengatakan bagaimana bentuk Pub yang akan menjadi wadahnya tampil? Jika Wanda tahu kalau levelnya akan seperti ini, ia akan berdandan lebih rapi. Lihat saja dirinya sekarang! Hanya mengenakan kaos hitam polos, celana jeans berwarna sepadan, sepatu Converse abu-abu, serta rambut tergerai. Bahkan wajahnya hanya memakai make up tipis. Bisa-bisa Wanda akan disuruh turun jika ia tampil dengan dandanan sederhana seperti ini. Mengingat pengunjungnya yang kebanyakan berduit. Indra melambaikan tangannya dengan sangat norak. Dari tempat duduk yang sepertinya istimewa itu juga berdiri Sony, pemilik tempat ini. Wanda membalas sapaan itu dengan mengangkat tangannya dan tersenyum kaku. Wanda pun kembali memfokuskan diri. Sekali lagi ia menghirup oksigen dan mengurangi rasa gugup dan groginya sebelum menyapa para pengunjung yang sudah menontonnya sejak tadi. "Selamat malam. Perkenalkan, saya Wanda. Pertama kalinya tampil di Brillante. Semoga nyanyian saya dapat menghibur malam anda semua." Tepuk tangan mengisi seluruh sudut ruangan Pub yang sangat luas. Membuat senyum Wanda semakin lebar. Syukurlah, reaksi penonton tak seburuk yang ia kira. Wanda meletakkan jari-jari kirinya pada senar gitar dan membentuk kunci G. Ia mulai men-struming senar dengan ujung jari kanannya sebagai intro. Dan gadis cantik itu pun bernyanyi. "I am not a kind of girl..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD