THREE

1329 Words
Wanda mengakhiri nyanyian dengan suara merdunya. Senyum indah menghiasi wajah cantiknya. Disertai dengan tepuk tangan riuh dari pengunjung Pub. Bahkan ada yang sampai standing ovation dan itu membuat Wanda tersentuh. Ia segera berdiri dan merundukkan tubuhnya. Bersama gitar yang masih ada di tangannya. Selesai tugas pertamanya untuk hari ini. Dan saatnya Wanda mengambil upah freelance yang menggiurkan dari pekerjaan ini. Gadis itu mengambil tas gitarnya dan membungkus alat musik kesayangannya itu. Lega rasanya. Namun ia tetap berdoa agar Sony akan segera mengontrak dan menjadikannya penyanyi tetap di Pub yang terkenal seperti Brillante. "Wandaaaa, my sistaaa!" Nah! Dia sangat mengenal suara ini. Siapa lagi kalau bukan sepupunya? Indra. Selesai memasukkan gitar akustiknya ke dalam softcase, Wanda membalikkan tubuhnya dan mendapati Indra membentangkan kedua tangannya. Berdiri di bawah stage. Untung saja staff yang lain sudah memutar lagu bernuansa jazz sehingga suara norak dan nyaring dari sepupunya itu agak teredam. Jika tidak, mungkin sekarang ia akan menjadi pusat perhatian dalam konteks memalukan. Wanda menyipitkan matanya. Menatap Indra dengan jengkel. Cowok ini benar-benar menyebalkan. Wanda menahan dirinya untuk tidak mengomel. Mengingat bahwa ia masih berada di Pub milik teman sepupunya. Gadis itu segera turun dari panggung. Menghampiri Indra sebelum cowok itu mempermalukannya dengan kenorakannya. "Apa sih?! Jangan norak deh!" desis Wanda seraya menarik Indra menjauh dari panggung. "Barusan keren banget! Itu tenggorokan lo nggak pa-pa nyanyi enam lagu sendirian nggak pake break? Nggak haus?" Wajah Wanda berubah kecut. Ia baru sadar kalau tenggorokannya benar-benar kering. "Gue sampai lupa kalau gue udah seret dari tadi. Gue grogi banget, Ndra," keluh Wanda seraya mengusap-usap lehernya. Memberi kode pada sepupunya bahwa dia benar-benar kehausan. "Gabung gue aja. Kalau bareng gue, dijamin minum gratis di sini," ajak Indra. Ketika cowok itu hendak menariknya, Wanda menolak. "Nggak ah. Nggak enak. Gue langsung pulang aja abis ngambil salary. Entar kemaleman." "Banyak alasan! Udah! Ikut gue! Lagian di situ ada Bang Sony juga." Tanpa aba-aba Indra mengambil tas gitar yang sedari tadi Wanda tenteng. Cowok berambut coklat gelap itu menariknya menuju satu-satunya lounge yang ada di Pub. Dan benar saja. Di sana berkumpul enam laki-laki, termasuk Sony. Wanda mengembangkan senyumnya tatkala ia sudah tiba di depan mereka. Dalam hati ia berharap senyum yang ia pamerkan itu terlihat natural dan tidak kaku. Apalagi di depan calon bosnya, Sony. "Nah, guys! Kenalin nih sepupu gue," kata Indra. Ia melingkarkan lengan kanannya ke bahu Wanda. Gadis itu mengutuk sepupunya yang sangat berlebihan itu di benaknya. Ugh! Untuk apa Indra dengan tak tahu malu memperkenalkannya pada teman-teman elitnya ini? Membuat rasa percaya dirinya menciut saja. Wanda perlahan merundukkan tubuhnya. Dan menyapa teman-teman sepupunya. "Halo. Saya Wanda. Salam kenal," kata Wanda. Masih dengan senyum termanisnya. Singkat. Yang penting sudah memperkenalkan diri saja. Itu sudah cukup.  "Bener kan gue bilang? Suara dia... Bah! Jempolan, Cuy!" Indra mengacungkan jempol kanannya pada sekumpulan pria yang... ehem, sesungguhnya good looking itu. menyadari bagaimana visual mereka, Wanda jadi makin grogi. Ia tak berani untuk menatap mereka. Rasanya lambat laun tubuhnya seperti mengerdil saja. Tak disangka-sangka ternyata teman-teman Indra mengamini apa yang disombongkan oleh sepupunya itu. Wanda tak dapat menahan diri untuk menikmati wajah tampan mereka kembali. "Iya, bagus banget. Gue suka banget suaranya," kata cowok berambut coklat yang wajahnya imut-imut ganteng. "Oh, iya. Kenalin. Gue Tommy." "Eits! Main nyosor aja lo!" cegat Indra ketika cowok bernama Tommy ingin beranjak untuk menghampiri Wanda. "Biar gue aja yang ngenalin lo pada. Dah sana balik duduk!" Indra mendapatkan dengusan dari Tommy. Membuat Wanda diam-diam terkikik geli.  Akan tetapi tawa geli Wanda tiba-tiba terhenti ketika matanya tertuju pada satu pria yang duduk di paling tepi ujung. Pria itu berkulit putih pucat dengan rambut berwarna pirang. Ia menatap Wanda sangat lekat. Tanpa ekspresi. Tatapan mereka terpaut. Satu arah. Saling membalas satu sama lain.  Wanda terpaku. Begitu juga dengan pria itu. Mereka sepertinya lupa dengan proses respirasi dan peredaran darah yang seharusnya terjadi pada tubuh masing-masing. Ini aneh. Sungguh. Bagaimana bisa Wanda merasakan sesuatu yang asing hanya dengan saling bertatapan saja? Wanda kembali ke alam sadarnya ketika merasakan pergerakan pada bahunya. Rupanya Indra melepaskan rangkulannya dan mulai memperkenalkan teman-temannya. "Oke, kenalin ya. Ini teman-teman k*****t gue. Yang ini namanya Kevin. Paling cimit disini." Indra menunjuk cowok ganteng dengan rambut hitam legam dan memang terlihat sangat muda. "Halo, Kak Wanda. Kakak cantik deh, suaranya juga top banget. Sesekali kita duet ya? Boleh kan, Bang Sony?" kata Kevin. Alis tebalnya terangkat dua kali.  Tak disangka ternyata Sony mengangguk dan tertawa. Memberikan persetujuan atas keinginan Kevin. "Next, ini Nino. Seumuran ama kita, Wanda. Jangan mau kalo disuruh manggil abang atau mas," kata Indra. Pria berambut pirang dan berperawakan tinggi seperti Sony itu memberi senyumnya pada Wanda. Lesung pipi muncul, membuat senyumnya terlihat sangat manis dan menawan.  "Nice to know you, Wanda," katanya singkat. Wanda harus mendongak dulu untuk membalas senyumnya. "Me too," balas gadis itu. "Lanjut! Yang agak bantet ini Jefri." Dengan tebal muka, cowok bertubuh agak lebih pendek beberapa centimeter dari Indra itu berdiri dari tempat duduk. Hendak menghampiri Wanda. Namun pria berkulit putih pucat yang duduk di sampingnya menahannya. Membuat Jefri membatalkan niatnya. "Duduk." Deg! Suaranya benar-benar terdengar sangat berat dan seksi. Wanda tak pernah menyangka bahwa pria yang sedari tadi memperhatikannya dan membuatnya jadi salah tingkah itu mempunyai suara khas seperti itu. Sekali lagi tatapan mereka bertemu. Senyum yang sedari tadi merekah di wajah Wanda dalam sekejap sirna. Entahlah. Ada sesuatu yang aneh dari pria itu. Wanda tak mampu mengartikan dan menjabarkan apa yang ia rasakan. Akan tetapi, yang pasti ia merasa kurang nyaman dengan cara pria itu menatapnya. "Duh, Bang, jangan galak-galak." Indra terkikik saat melihat Jefri yang mendengus dan terpaksa duduk kembali. "Nah, yang terakhir... Itu Arga Mahardika. Bang, kenalin. Ini sepupu gue. Namanya Wanda." "Anjir, pakai nama lengkap," celetuk Kevin, membuat Wanda menahan senyum. "Salam kenal," kata Wanda. Gadis itu merundukkan tubuhnya. Dia mencoba bersikap lebih sopan padanya. Ia memberikan senyum terbaiknya. Namun ternyata apa yang Wanda dapat? Pria itu tak membalas salamnya. Jangankan melihatnya, ia justru mengambil gelas yang ada di hadapannya dan meminum cairan di dalamnya. Situasi yang awalnya ringan dan penuh dengan canda tawa itu berubah dingin karena sikap Arga . Indra dan teman-temannya juga ikut terdiam. Mereka menatap Wanda dengan rasa penyesalan atas tanggapan yang gadis itu terima dari pria seputih vampire itu. Oh, pria bernama Arga  ini benar-benar tidak ramah. "Oke, udahan dulu acara kenalannya. Wanda, bisa ikut ke ruangan saya sebentar?" kata Sony. Memecah keheningan. Mencairkan suasana. Wanda mengangguk canggung. Ia berbisik pada Indra, "Sini kembaliin gitar gue!" "Ish! Udah gue bilang entar gue anter pulang aja!" paksa Indra. "Nggak! Gue pulang duluan!"  Wanda merampas gitarnya dari tangan Indra dan berlalu meninggalkan lounge itu. Menyusul Sony ke ruangan host Brillante. *** Sial! Benar-benar sial! Arga  menuang lagi vodka dengan merk Smirnoff-nya ke gelas yang ada di depannya. Kepalanya sudah agak berat. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali. Mencoba untuk memfokuskan diri agar minumannya tidak tumpah ke meja. Percuma saja. Ia sudah berada pada tipsy state. Kendati demikian, ia masih bisa duduk dan menuangkan minuman. Walaupun kepalanya memang sudah agak sempoyongan. Berbeda dengan teman-temannya yang lain yang sudah tak sadarkan diri. Mereka sudah teler. Tidak berdaya. "t***l banget gue..." gumam Arga sembari tertawa miris. Suaranya yang memang sudah berat dan agak serak itu semakin parah. Jika dalam keadaan sadar saja ia terdengar seperti orang yang sedang mabuk, apalagi mendengar suaranya pada keadaan seperti sekarang. Mungkin perempuan yang mendengarkannya yang akan mabuk kepayang karena suara maskulin itu. "Arga, udah, woy! Lo udah ngabisin hampir sebotol sendirian," cegat Sony yang masih segar bugar. Ia tak ikut minum-minum seperti teman-temannya. Tentu saja. Ia pemilik Pub ini. Jika ia ikut mabuk di tempat usahanya ini, lalu siapa yang akan mengawasi aktivitas tempat nongkrong-nya? "Iyeee... Ini... Ini yang terakhiiirrr..." gumam Arga. Pria itu menenggak minumannya untuk yang terakhir kali sebelum pada akhirnya ambruk. Tubuhnya meringsut di sofa. Ia tertawa sendiri. Menertawakan dirinya sendiri. Hahaha. Bodoh sekali. Kau bodoh sekali, Arga . Apakah begitu caramu memperlakukan perempuan cantik? Oh, mungkin kau lupa bagaimana caranya berkenalan dengan perempuan cantik setelah kekasihmu meninggal enam tahun yang lalu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD