Strategi Perang Dimulai

1841 Words
Jace Graves Point of View "Sejak kau masuk ke dalam mobilku, kau sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata. Apa yang sedang kau pikirkan, Jace?" Aku tersentak mendengar pertanyaan itu. Aku mengalihkan pandangan dari jendela mobil kepada seorang pria berparas campuran Asia dan Amerika di sisiku. Pria itu melirikku sekilas sebelum kembali fokus pada jalanan Manhattan yang cukup ramai. "Aku telah melakukan sesuatu yang mungkin membuatmu tidak nyaman, Ryan." kataku pelan. Ryan mengerutkan kening samar. Ia menelengkan kepala. "Sesuatu yang mungkin membuatku tidak nyaman? Kira-kira kau melakukan apa?"  Aku mengetupkan bibirku rapat dan meringis ke arah Ryan. "Berjanjilah kau tidak akan marah." Ryan menoleh menatapku di saat mobil tengah berhenti di lampu merah. Ia terkekeh geli mendengar permintaan kecilku itu. "Aku tidak akan pernah bisa marah padamu, Jace." katanya.  "Tetap saja. Aku butuh mendengarmu berjanji padaku. Setidaknya itu membuatku lebih tenang." "Baiklah. Aku berjanji padamu. Aku tidak akan marah." Aku terdiam selama beberapa detik tanpa melepaskan pandanganku dari manik mata hijau zaitun Ryan. Aku memberikan tatapan menyelidik berusaha menemukan sebuah keraguan, namun hasilnya nihil. Ryan benar-benar tampak serius sehingga membuatku mulai bingung dari mana aku harus menjelaskan padanya. "Jadi?" tanya Ryan sambil mengangkat kedua alisnya. "Katakan padaku. Apa yang sudah kau lakukan?" "Aku mengatakan di hadapan semua orang kalau aku menyukaimu." jawabku dengan suara mencicit di akhir kalimat dan menatap pria itu dengan tatapan was-was. "Kau mengatakan apa?" tanya Ryan sambil mengerjapkan mata.  "Aku mengatakan kalau aku menyukaimu." ulangku. Kali ini dengan suara setingkat lebih keras dan dalam satu tarikan napas. Ryan tidak memberikan reaksi apapun selain sebatas mengatupkan bibir rapat. Ia memicingkan mata sebelum kembali bertanya, "Kau. Kau menyukaiku?" "Well..." Aku menggantung kata untuk sebatas menggigit bibir bawah. "It's not wrong. I do like you. Maksudku, kau teman terdekatku. Tentu aku menyukaimu." tambahku dengan sebuah ralatan di akhir kalimat.  Ryan menahan senyum di bibirnya. Ia menggelengkan kepala kecil dan mulai melajukan mobil karena lampu sudah berganti hijau. "Hanya karena itu?" Aku hanya menganggukan kepala membuat Ryan terbahak. Aku mengerutkan kening karena kebingungan mengapa pria itu mendadak tertawa. "Apakah kau sakit?" tanyaku sambil menempelkan punggung telapak tanganku di kening Ryan.  Pria itu sedikit memalingkan kepala sembari menahan tanganku. Ia perlahan menurunkannya, tersenyum simpul setelah berhasil mengontrol tawa. "Aku tidak sakit, Jace. Hanya saja..." ia menggantung kalimatnya. "Aku tidak menduga itu terjadi. Aku pikir kau telah melakukan sesuatu yang lebih buruk. Bahkan buruk sama sekali tidak bisa mendeskripsikan apa yang kau lakukan. Mengatakan pada orang lain kalau kau menyukaiku? Pada siapa lebih tepatnya?" Aku menarik tanganku dan meletakkannya di atas pangkuan. "Pamanku, Jean, dan beberapa orang lainnya." "Bagaimana reaksi mereka?" tanya Ryan sambil mencari posisi duduk yang lebih nyaman dibandingkan sebelumnya. Sementara sebelah tangannya  berada di atas tuas untuk mengubah perseneling. "Terkejut tentunya. Kau berharap mereka marah?"  Ryan mengangkat bahu. "Siapa tahu tiba-tiba mereka memberiku restu untuk menikahimu." jawabnya dengan nada menggodai. Aku mendengus geli. Aku memutar mata sebelum membuat pandangan ke luar jendela "Percayalah padaku, meskipun keadaan berbeda, aku yakin kau tidak akan mau menikah denganku." "Oh apakah itu sebuah penolakan?" tanya Ryan sambil meringis dan mendesis pelan. Aku tidak mengatakan apapun. Aku hanya menganggukkan kepala kecil dan membuat kami berdua tertawa selama beberapa detik. Setidaknya dalam waktu singkat itu aku berhasil melupakan semua beban dalam benakku. ... Sabtu ini aku sudah berencana dan hampir merayakan keberhasilanku karena mengira bahwa pria itu akan pergi dari kehidupanku saat mengetahui aku menyukai pria lain. Meskipun aku sendiri tidak menemukan sesuatu yang benar-benar relevan, entah mengapa itu seolah menjadi sebuah senjata . Bukannya terlalu percaya diri, hanya saja aku sedang tidak ingin ada orang lain, maksudku orang baru, masuk ke dalam kehidupanku baik itu sebatas teman apalagi sampai berusaha untuk menjalin hubungan yang lebih dari itu. Kembali ke permasalah sebelumnya, bagaimana mungkin dimanapun aku berada, pria menyebalkan itu selalu ada? Bahkan di saat mansion keluargaku merupakan tempat teraman yang kuketahui di dunia ini, pria menyebalkan itu -entah bagaimana caranya- sudah duduk di ruang makan bersama dengan adikku pagi ini. Mereka terlihat seru berbincang membicarakan sesuatu sampai-sampai tidak menyadari kehadiranku yang sudah berdiri hampir lima menit lamanya di ambang pembatas ruang makan. Sepertinya aku harus mendonasikan seluruh harta yang kumiliki untuk NASA agar mereka cepat menemukan cara untuk hidup di Mars.  Aku menarik napasku dalam-dalam kemudian menghelanya perlahan sebelum mengambil langkah masuk dan langsung diikuti pandangan oleh Jean dan pria itu. "Hai, selamat pagi Jace." sapa Jean dengan ceria. Berbanding terbalik dengan ekspresiku. Aku hanya mengangkat sudut bibir dan tidak bisa disebut sebagai senyuman. "Selamat pagi, Jean."  balasku sambil duduk setelah salah seorang pelayan menarikkan kursi. "Apa yang dia lakukan disini?" tanyaku tanpa menatap pria itu. Pria itu terkekeh geli. Ia mencondongkan tubuhnya hingga menempel pada tepian meja makan. "Aku ingin mengajak Jean ke studio rekamanku. Jadi aku kemari untuk menjemputnya. Dan ngomong-ngomong..." ia menggantung kalimatnya sesaat. "Selamat pagi." tambahnya sambil tersenyum lebar hingga lesung pipinya tercetak dengan jelas. Aku menghela napas sedalam mungkin sebelum menoleh menatap pria itu. "Sebenarnya apa yang kau rencanakan?" tanyaku nyaris dengan nada penuh penekanan. Pria itu menggelengkan kepala kecil. "Tidak ada yang kurencanakan, Jace. Hari ini memang jadwal ku untuk latihan terakhir sebelum album baruku dirilis. Kebetulan aku juga harus bernyanyi di acara ulang tahun perusahaan ayahmu nanti, jadi tidak ada salahnya aku mengajak Jean untuk melihatku. Anggap saja sebagai latihan." Jean tersenyum sungkan sebelum menambahkan. "Kali ini aku janji tidak akan pulang malam. Setelah jam makan siang aku pasti sudah kembali. Tapi bisa jadi aku pulang sore kalau Alex belum selesai." Aku memicingkan mata menatap Jean dan pria itu bergantian. Medengar kata 'tapi' yang disebutkan Jean membuatku langsung memutuskan tanpa pikir panjang. "Sayangnya aku tidak akan tertipu lagi seperti sebelumnya. Jadi, aku akan mengantarmu." ... Alexander Harper Point of View Mendengar jawaban Jace sesuai dengan ekspektasiku dan Jean. Aku berusaha untuk menahan senyuman di wajahku agar tidak semakin merekah. Aku bahkan tampak seperti bocah laki-laki yang baru saja mendapatkan hadiah natal dari Santa Klaus. Terlebih lagi, mengingat saat ini aku dan Jean saling menyenggol paha di bawah meja seolah merayakan keberhasilan kecil kami. Aku tahu pasti orang akan mengira bahwa aku hendak merebut Jace dari Ryan. Namun kenyataannya, aku tidak merebut Jace dari siapapun. Mereka bahkan belum menjalin hubungan kekasih bukan? Dan, perasaan seseorang juga dapat berubah seiring waktu. Jadi, dengan penuh percaya diri seperti biasanya. Aku katakan bahwa aku masih memiliki kesempatan.  Belum lagi ada Jean yang masih setia mendukungku membuatku semakin bersemangat meskipun aku sempat dilema meratapi kekalahanku selama beberapa hari. Bahkan kedatanganku pagi hari ini, bergabung dalam sarapan mereka adalah salah satu strategi yang kubuat bersama Jean dalam waktu semalam. "Baiklah kalau itu maumu. Kau boleh ikut." balasku sambil kembali menyandarkan diri pada sandaran kursi dan diikuti oleh seorang pelayan menuangkan air mineral kedalam gelas kristal milikku. Kemudian aku mengambil gelas yang sudah terisi itu dan mengangkatnya sedikit. Namun sebelum aku meminumnya, aku menambahkan, "Bon appetit." ... Kurang lebih aku menempuh lima belas menit perjalanan dari mansion keluarga Graves hingga sampai ke studio rekamanku. Aku turun dari mobil sembari memakai kacamata hitam sebelum menghampiri Ben yang sudah berdiri di depan pintu berputar. Sementara salah seorang petugas valet mengambil alih untuk memparkirkan Audi-ku ke basement. Namun saat pria mungil itu hendak menutup pintu mobil. Aku menahan pintu, sedikit membungkuk. Aku mulai mengeluarkan selembar seratus dollar. Sambil memberikan uang itu kepada pria mungil yang menjadi petugas valet itu, aku mengatakan. "Parkirkan saja mobilku di tempat parkir biasa. VIP Parking hari ini akan kugunakan untuk seseorang.", "Baik, sir." pria mungil itu mengangguk mantap. Ia menerima uang yang kuberi sambil tersenyum ramah. "Terima kasih." tambahnya sambil lalu. Aku meneggakkan tubuh, menutupkan pintu untuk pria itu sebelum melangkah mundur. Saat itu aku baru membalikkan tubuh, Benedict yang sedari tadi berdiri di depan pintu untuk menyambutku memberikan tatapan tidak mengerti. Ia mengerutkan kening dan  tangannya terlipat di depan d**a. "Seseorang?" tanyanya langsung. AKu melangkah mendekat sambil tersenyum lebar. "Sebentar lagi Jace datang." jawabku. "Bersama Jean." tambahku saat mendapati ekspresi Benedict seolah ingin bertanya.  Benedict menggelengkan kepala kecil dan mendengus geli. "Berhentilah menggodaku." "Tidak sampai kau mengakui kalau kau menyukai Jean." balasku cepat. Aku memasukkan kedua tanganku ke dalam saku celana jins biru yang kukenakan. "Aku bukan dirimu. Aku tidak bisa semudah itu mengatakan aku menyukai seseorang." "Kenapa?" Benedict  mengangkat sudut bibirnya sebelum sedikit menelengkan kepalanya. "Saat aku mengatakan aku menyukai seseorang, aku tentu harus bertanggung jawab atas semua ucapanku. Aku tidak bisa bermain-main." "Apa salahnya jika kau mengatakan kau menyukai seseorang? Itu hal yang wajar." "Aku tahu itu wajar. Hanya saja, sekali lagi ku katakan jika aku bukan dirimu. Akan ku lakukan dengan caraku sendiri meskipun butuh beribu tahun. Bukan berarti aku pengecut." Aku meringis mendengar perkataannya. Baru kali ini aku mendengar Ben mengatakan hal yang cukup serius masalah percintaan selama aku mengenalnya.  Aku menggelengkan kepala samar. "Mungkin inilah alasan mengapa sampai saat ini kau belum pernah..." aku sengaja menggantung kalimatku. Mataku menatapnya dari atas ke bawah berusaha meneliti sesuatu. Benedict dengan cepat memasang ekspresi malas kepadaku. "Masalah ini tidak ada hubungannya dengan keperjakaanku." ketusya. Ia mendorongku dan sontak membuatku terbahak. "Untuk sekarang tertawalah sepuasmu. Lihat saja nanti saat kau menyadari bahwa ucapanku tadi itu benar." balas Benedict setengah mengutuk. Aku berhenti terbahak dan mengulas senyum penuh arti kepada Benedict hingga pria itu merasa risih. "Kenapa kau tersenyum seperti itu?" tanya Benedict was-was. Aku menepuk-nepukkan tanganku di atas bahunya. "Ben, sejak tadi aku sudah paham apa maksdumu. Dan sejujurnya itulah yang terjadi saat ini. Coba kau pikir lagi. Apa aku pernah mengatakan padamu bahwa aku menyukai seseorang selama ini? Hanya Jace. Hanya dia. Bahkan dalam benakku tidak terbesit sedikitpun untuk mempermainkannya." Benedict mengerjap beberapa kali. Ia melebarkan mata dan mulutnya terbuka saat mendengar perkataanku. "Kau serius? Kau serius benar-benar menyukai Jace?" tanyanya dengan nada tidak percaya. Belum sempat aku menjawab pertanyaan Benedict. Sebuah Mercedes Benz melaju cukup kencang mengarah ke arahku sesaat sebelum berhenti tepat di sisi jalan seolah hendak menabrakku. Aku tidak marah sedikitpun mengingat aku tahu siapa pengendara sedan hitam itu. Siapa lagi kalau bukan Jace Beverly Reid-Graves, sepertinya hanya wanita itu yang berani melakukan itu padaku mengingat saat makan malam ia bahkan hampir mendeklarasikan pada semua orang kalau dirinya adalah pembenciku. Saat itu, Jean yang saat itu terlebih dahulu keluar dari dalam mobil tersenyum lebar sambil mengedipkan sebelah mata sebagai tanda bahwa aku harus membukakan Jace pintu. Tanpa diberi tahu, tentu akan aku lakukan. Aku hanya tersenyum geli melihat Jean berlari kecil mengintari mobil, menarik Benedict masuk ke dalam gedung setelah aku setengah berteriak mengucapkan terima kasih. Namun semua tidak berjalan dengan mulus seperti yang kupikirkan, aku hendak membukakan pintu untuk Jace dan wanita itu dengan cepat mengunci pintu. Ia sedikit membuka kaca jendela sambil memakai kaca mata hitamnya. "Lakukan semua rencana yang telah kau susun dengan adikku. Aku menantikannya, hanya saja..." ia mengangkat sudut bibir membentuk sebuah senyuman licik dan menoleh menatapku. "Jangan berharap aku akan ikut dalam permainan itu." tambahnya. Jace melambaikan tangan ke arahku sebelum mengalihkan pandangan fokus kedepan, sementara sebelah tangannya mulai menekan tombol untuk menyalakan mesin mobil. Dengan kecepatan sedang, wanita itu melajukan mobilnya membuatku tidak bisa berkata-kata. Aku hanya menggelengkan kepala dan mendengus geli. "It's alright. Good thing takes time, Alexander." ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD