Ciuman Pertama

1042 Words
Sudah hampir dua Minggu, Father masih berbaring lemah di rumah sakit dengan keadaannya yang sangat memprihatinkan. Belum ada perubahan apapun selain bisa terbangun dari masa kritisnya. “Percuma juga saya bangun dari koma waktu itu, kalau tahunya seperti ini! Lumpuh dan tidak ada gunanya!” “Tuan, sebaiknya sabar dulu. Saya akan bantu cari di mana rumah sakit yang bisa menyembuhkan dengan cepat,” ucap sekretaris Al. Father hanya memicingkan matanya, tidak ingin berobat ke manapun lagi, percuma saja, baginya akan tetap sama. Tidak ada perubahan sama sekali. “Cepat, kamu urus semuanya. Hari ini juga saya mau pulang! Jangan sampai kamu lemah hanya karena gertakan dari pihak rumah sakit, saya bisa beli rumah sakit ini kalau mau, laksanakan!” “Baik, Tuan. Tunggu terlebih dahulu, saya akan urus semuanya,” sahut sekretaris Al dengan patuh. Di saat kondisi seperti sekarang, persahabatan antara mereka seperti tidak ada artinya, Al pun kembali ke semula, yaitu sekretaris perusahaan bukan siapa-siapa bagi Father. Sudah mengurus semuanya sesuai dengan perintah, pihak rumah sakit sudah jelas-jelas menolak dengan tegas, tetapi Al sudah berusaha dengan keras untuk melaksanakan tugas dari Father. “Bagaimana? Mereka setuju?” “Setuju, Tuan. Biar saya saja yang merapikan semuanya, Tuan bersiaplah.” Father tersenyum bangga, lagi dan lagi apa yang dia inginkan sudah tercapai, semuanya bisa langsung tunduk dalam sekejap, putus cinta memang menyakitkan, tetapi bagi seorang Father, dia pantang untuk berlarut-larut dalam kesedihan hanya karena cinta. Sudah menyelesaikan segala urusan di rumah sakit, Father ikut pulang ke rumah sederhana milik Al. Di perjalanan pun sudah sangat risih, jalanan yang becek, banyak lumpur, dan bahkan banyak sekali hewan peliharaan yang berkeliaran karena disengaja oleh pemiliknya, seperti domba, sapi, dan juga itik. “Andai saja saya bisa berjalan seperti dulu, sudah kabur saya dari sini,” cetus Father. Sekretaris Al dengan sabar mendorong kursi roda itu walaupun sepanjang perjalanan dirinya selalu kena emosi oleh tuannya. “Kan, saya sudah bilang jangan ikut ke desa, Tuan. Kenapa tidak pulang ke rumah orang tua Tuan saja?” “Kamu mau saya mati? Dengan sengaja saya merahasiakan kecelakaan ini dari mereka, lalu kamu dengan santainya berkata seperti itu? Mau saya pecat, hah?” Lagi dan lagi Al hanya diam saja, patuh pada perintah yang Father perintahkan, walaupun terkadang semuanya terasa sangat menyakitkan. Sebenarnya Father tidak seburuk itu, dia laki-laki yang sangat baik, sopan, menghormati orang lain, dan bahkan sering membantu keluarga Al. Namun, semenjak kejadian dengan mantan kekasihnya dan juga kecelakaan yang sudah membuatnya hancur, Father berubah drastis menjadi kasar dalam perkataan. “Rumah kamu di mana, sih? Lama banget, kenapa juga mobil harus di parkirkan jauh sekali di kantor desa, kenapa coba?” “Maaf, Tuan. Jalanan di sini memang tidak muat untuk kendaraan roda empat, hanya muat untuk roda dua dan pejalan kaki saja,” jawab Al dengan patuh. “Makanya beli rumah itu di kota jangan di desa dong, memangnya gaji kamu selama ini tidak cukup untuk membeli rumah baru, hmm? Atau saya harus bantu?” Kebaikan seperti itulah mulai kembali dari sosok Father. “Tidak usah, Tuan. Jangan repot-repot, sebenarnya dari dulu saya sangat menginginkan orang tua ikut pindah ke Jakarta, hanya saja mereka selalu menolak, dan sangat mencintai rumah di desa ini,” jawab Al lagi. “Baiklah, ayo, lanjutkan perjalanan ini, saya sudah lelah ingin segera beristirahat,” titah Father. Sekretaris Al pun mengangguk kemudian mendorong kembali kursi roda itu dengan pelan, agar tak tergelincir di lumpur. *** “Silakan masuk, Tuan, maaf sekali rumahnya sangat berbeda jauh dengan rumah Tuan di Jakarta.” “Ya, mau bagaimana lagi. Selama saya lumpuh seperti ini yang entah kapan sembuhnya, saya harus tetap tinggal di sini, tenang saja biaya keluargamu akan saya tanggung,” ucap Father. Al tersenyum, memeluk Father dengan cara berjongkok terlebih dahulu, menyeimbangkan keadaan Father yang duduk di kursi roda. “Sudah ... jangan lebay, kayak sama siapa saja. Ngomong-ngomong orang tuamu ke mana? Kok rumah ini sepi,” tanya Tuan Father sembari celingukan. “Oh, paling mereka masih di sawah, Tuan. Sore pulang nya, jangan khawatir, saya bisa kok melayani seorang diri.” “Heh, saya tanya di mana orang tuamu itu untuk izin tinggal di sini, bukan untuk memperbudak mereka, dasar!” Lagi dan lagi Al pun tersenyum bangga memiliki bos seperti Father, laki-laki yang pintar menutupi semua rasa sakitnya. Padahal Al sudah tahu semuanya, bahwa Father sudah putus dengan Seli, semua itu Al mencari tahu dengan detail, tanpa bertanya pada Father, karena tak ingin dicap songong ikut campur urusan pribadinya. “Kenapa kamu senyum-senyum, jangan mikir yang aneh-aneh, masih normal, kan, kamu Al?" “Masih dong, Tuan. Masa saya gay, amit-amit.” Keduanya pun terkekeh, merasa obrolannya sangat tidak penting, Al pun dengan cekatan membantu Father untuk berganti pakaian atasan saja selebihnya Father berusaha sendiri. “Tuan, kalau begitu saya ke dapur untuk menyiapkan makan dulu, silakan Tuan beristirahat terlebih dahulu.” Father hanya mengangguk, membiarkan sekretaris Al pergi ke dapur, entah mau masak apa, yang terpenting masih bisa makan dengan kenyang. Di saat rasa bosan itu datang menghampiri seorang Father, dia nekat ke luar rumah sendiri, walaupun lelah harus mengayuh roda itu. “Lelah sekali, mana tidak tahu harus ke mana.” Terus saja berkeliling tanpa tahu harus ke mana tujuannya, Father linglung tidak mengingat jalan pulang ke rumah Al. Sampai akhirnya, kursi roda yang dia paksakan untuk cepat, hampir terperosok ke sawah. “Aduh ....” pekik Father. Merasa ada yang menahan kursi roda itu, Father pun menoleh ke arah belakang yang ternyata ada seorang wanita berpenampilan kumuh menatapnya. “Heh, kamu siapa? Berani-beraninya pegang kursi roda saya!” “Udah bagus aku tolong kamu, kalau nggak ditolong, mungkin kamu udah mandi lumpur sawah, nggak tahu terima kasih banget, sih!” “Songong banget kamu, gembel saja bangga! Sombong!” pekik Father. “Gembel? Siapa yang kamu maksud, hah?” tanya wanita itu. “Tuli! Ya, siapa lagi kalau bukan wanita yang saat ini ada di hadapan saya.” Terus saja mereka bertengkar yang tidak penting, sampai tidak sadar keduanya terus mendekati ujung sawah. Pada akhirnya keduanya pun tercebur ke sawah yang masih dipanen, penuh dengan lumpur. Lebih parahnya lagi, posisi wanita itu di atas Father, bibir keduanya saling menyatu, menempel, dan terus saling menatap. “Sialan! Ciuman pertama saya!” teriak Father histeris.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD