bc

Titip Pada Senja

book_age16+
6
FOLLOW
1K
READ
friends to lovers
goodgirl
student
drama
bxg
campus
school
like
intro-logo
Blurb

Kehidupan di Asrama yang jauh dari bayangan Fara. Berurusan dengan para senior dan teman seangkatan yang sangat menyebalkan. Tugas dan tanggung jawab yang cukup menyita waktu, tenaga dan pikiran.

Mampukah Fara bertahan?

Siapakah yang akan memenangkan hatiny

chap-preview
Free preview
1. Tentangku
Pagi ini matahari masih bergelut mengalahkan sang kabut yang asyik menyelimuti jalanan yang harus aku tempuh. Ku tarik gas lebih cepat lagi agar cepat sampai dan bisa menghangatkan tubuhku dengan secangkir teh hangat sebelum kembali bercengkerama dengan data yang belum selesai aku input. ‘Ciiiit’ suara mobil mengerem mendadak. Aku terhenyak dari lamunan, tangan kanan dan kaki kananku secara otomatis menarik dan menginjak rem secara bersamaan sampai sepeda motorku berhenti. Nyaris ban depanku mencium bemper belakang mobil fortuner hitam yang mendadak berhenti di depanku. ‘Hupf’ ku hela nafas yang muncul bagai asap dari hidung. Aku berusaha melihat ada kejadian apa di depan tanpa menghiraukan jantungku yang berdegup kencang. Bukan karena takut diminta ganti rugi tapi lebih takut kalau raga ini jatuh lalu terluka. “Siapa yang akan menanggung biaya hidupku dan ayahku kalau aku terluka parah? Siapa pula yang akan membayar hutang-hutangku?” Kataku dalam hati. Tampak seorang pria berkemeja lengan panjang berwarna hitam, celana hitam dan dasi kupu-kupu warna kuning terang berbincang dengan sopir fortuner hitam. Bahasa tubuh pria itu seakan sedang meminta maaf. Tak lama, pria itu kembali menyeberangi jalan dan fortuner hitam melaju perlahan. “Eits! Sean? Masa sih itu Sean? Tapi sepertinya memang dia” mulutku menggumam, mataku mengikuti kemana pria berkemeja hitam itu mengayuhkan sepedanya. ‘Tin tin!’ Bunyi klakson menyadarkanku untuk kembali melaju. “Sean? Dari mana dia dan mau kemana? Mengapa juga pakai baju formal serba hitam dan dasi kupu kuning? Padahal ini kan bulan kemerdekaan. Harusnya pakai baju merah, kaya jaketku ini dari dulu merah gak ganti-ganti” Ucapku dalam hati. Setelah beberapa kali mengerjap dan menepis pertanyaan yang bercokol di otakku, aku pun kembali berkonsentrasi mengendarai sepeda motor tua biru milik ayah tercintaku. Hawa dingin semakin menusuk saja. Hempasan embun membasahi jaket parasit merah yang aku kenakan. Sedikit cerita mengenai sejarah sepeda motor yang sudah lebih dari dua puluh tahun setia mengantarkan keluarga kami kemana saja. Ini dibeli dari hasil jerih lelah kedua orang tuaku yang bahu membahu mengumpulkan rupiah. Orang tuaku berprofesi sebagai penjual beras di sebuah kios yang terletak di dalam pasar. Jadi, untuk membeli sebuah sepeda motor adalah bukan hal yang mudah seperti kebanyakan orang. Nilai sejarah yang tak bisa dibeli. “Akhirnya sampai juga” celetukku begitu tiba di parkiran kantor. Aku matikan sepeda motor, lalu menyapa riang pak Fardi dan tak lupa kuserahkan helm agar disimpannya dalam loker. “Semoga harimu menyenangkan!” Ucap pak Fardi setengah berteriak. Aku menoleh sambil berucap “tentu! Kerja dulu pak”. Kantor masih belum terlalu ramai. Para cleaning service masih berkutat menggosok lantai yang sebenarnya masih kelihatan bersih berkilau. Aku sapa beberapa orang cleaning service yang ku kenal dan seperti biasanya mereka tersenyum ramah juga bersuara renyah membalas sapaanku. Mungkin mereka menganggap aku orang paling bahagia di kantor ini. Tiap datang dan pulang senyum dan keceriaanku tak pernah surut meski dibebani kerjaan segunung di pundak kecil ini. Ya, itu pesan mendiang ibuku agar tidak menampakkan beban hidup pada orang lain. Pesan wasiat yang akan aku ingat sampai habis nafas ini. Semoga saja bisa. Aku palsu? Silakan bila ada orang mengganggap begitu. Tapi, ini aku bukan kamu atau dia. Aku punya prinsip dan gaya sendiri, tak perlu meniru atau menjadi orang lain untuk bisa melewati hari. Bosan? Ingin teriak, ingin marah tapi harus tampil manis? Ah, tidak aku punya cara sendiri untuk meluapkan kekesalan atau kebosanan karena beban hidup. ‘Glup glup’ suara air galon terdengar begitu aku mengisi cangkir dengan air panas. Ku letakkan secangkir teh panas di atas meja kerjaku, wanginya mengepul memanjakan hidung. Lalu ku lepas jaket andalan dan kuletakkan di kursiku agar air embun menghilang. Ku tekan tombol power komputer, sembari menunggu nyala, aku menggeliat dan menguap sembari menyemangati diri dalam hati. Kalau bukan diri sendiri ya siapa lagi? Ibu sudah tiada, pacar tak punya, ayah mana pernah menyemangatiku. Ayahku bukan tipe ayah yang terang-terangan menunjukkan kasih sayangnya padaku, anak semata wayangnya. Beliau lebih senang mengajarkan aku untuk berusaha lebih keras dan lebih keras lagi. Seumur-umur baru dua kali beliau memuji pencapaianku. Yang pertama saat aku lulus SMA dan yang kedua saat aku membelikannya ponsel dengan gaji pertamaku. Ketika ku kecil, aku begitu membenci sikap dinginya. Beribu kali aku iri kepada teman-temankuku yang mempunyai ayah dengan sikap yang begitu manis dan hangat. Sedangkan aku, seperti tak diijinkan Tuhan untuk merasakan kasih sayang seorang bapak. Namun, seiring berjalannya waktu aku mulai mengerti apa yang ayaku lakukan adalah sesuatu yang baik. Terlebih setelah ibuku tiada. Aku harus mampu berdiri di atas kaki sendiri di tengah kejamnya dunia. Ibuku, bagai pusat jiwa raga ini bergantung sepenuhnya. Seperti tempat pelampiasan untuk aku meminta kasih sayang dan perhatian sebanyak-banyaknya. Namun, sayang diusianya yang belum terlalu tua Tuhan sudah memintanya untuk pulang. Kata orang, jangan jadi orang baik nanti dipanggil lebih dulu. Nah, kalimat itu sepertinya berlaku untuk ibuku. Beliau orang baik dan berhati lembut. Entah berapa puluh atau ratus orang yang telah ditolongnya. Sepeninggal ibuku, ayah jadi semakin dingin. Semangatnya bekerja pun ikut terkubur bersama cinta pertama dan terakhirnya itu. Aku tak tahu bagaimana harus menghiburnya karena kami memang tidak pernah dekat. Yang aku tahu hanya membiarkan ayah melakukan apa yang beliau suka. Seperti memancing, mengotak atik perabotan atau alat elektronik yang rusak meski hanya sebagian kecil saja yang beliau berhasil perbaiki. Toko beras ayah tutup tidak lama setelah ibu pergi. Sebab pasar terbakar, kios dan dagangan ayahku habis. Untung saat itu aku sudah bekerja. Jadi kami tidak sampai jadi beban tetangga atau saudara. Bianca Lotta, nama yang kedua orang tuaku berikan. Menurut mbah gugel, Bianca artinya putih dan Lotta artinya perjuangan. Pantas saja terus-terusan harus berjuang dan tak boleh menyerah agar yang putih tetap putih tanpa noda. Nama berisi doa, benar itu adanya. Mungkin kelak saat aku punya anak nanti, kalau perempuan akan aku beri nama Ayu Sugiharta agar cantik dan banyak harta supaya hidupnya enak. Kalau laki-laki Bagus Sugiharta. Ah, tapi tidak semua orang yang bergelimang harta itu hidupnya enak. Seperti bu Risma contohnya. Banyak uang, fasilitas komplit, rumah bak istana tapi sakit-sakitan, suaminya selingkuh pula. Kan pusing. Ya kan?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Everything

read
278.6K
bc

Pengganti

read
301.9K
bc

Crazy In Love "As Told By Nino"

read
280.6K
bc

MANTAN TERINDAH

read
7.1K
bc

Pengantin Pengganti

read
1.4M
bc

When The Bastard CEO Falls in Love

read
370.6K
bc

T E A R S

read
313.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook