TSL ~ Awal Mula

1594 Words
Patah hati telah mengantarkan Aruna ke tempat ini. Sebuah tempat yang sangat cocok di jadikan sebagai tempat pelipur lara. Tempat melepas lelah atas segala kepenatan tentang pekerjaan dan banyak hal lain yang mengganggu pikirannya belakangan ini. Sebagai gadis yang normal, ada kalanya dia akan menangis saat hatinya benar benar hancur. Dan ada kalanya dia juga ingin sendiri. Menikmati semua problematika seorang diri tanpa siapapun. Dia ingin berbicara dengan dirinya sendiri. Menanyakan beberapa hal untuk mencari sebab serta alasan kenapa dia di tinggalkan. Baiklah, mungkin dia di tinggalkan bukan karena terlalu banyak kekurangan, tapi karena dia terlalu sempurna untuk di jadikan pendamping hidup, sehingga pria itu lebih memilih gadis yang tidak selevel dengannya. Lebih tepatnya adalah tiga level di bawahnya. Aruna duduk dengan damai di salah satu Cafe terbaik yang menawarkan pemandangan indah menghadap laut dengan tema indoor dan outdoor. Membuatnya memilih untuk duduk di luar ruangan dengan di terangi cahaya bulan yang kebetulan malam ini bersinar cerah. Ada banyak hal yang dia rasakan namun tidak dapat dia katakan pada situasi seperti ini. Ada semacam deja vu yang membuatnya tidak berhenti mendongak untuk mengagumi keindahan bulan. "Keindahan ini, ah... sangat menyedihkan." Gumamnya pada dirinya sendiri. Seakan mengejek kebodohannya karena masih belum bisa melupakan kejadian di masa lalu. Dia memang bukan tipe gadis yang banyak bicara ataupun berkata manis. Dengan siapapun itu, entah itu sahabat atau kekasih, Aruna akan menjadi dirinya sendiri yang tertutup dan tenang. Aruna mengalihkan pandangannya. Melihat Whitehaven Beach yang membentang tak terbatas sejauh mata memandang. Perairan Aqua jernih dengan pasir silika murni membuat perasaannya sedikit lebih baik. Untunglah.. Aruna adalah gadis yang kondisional. Bisa berkamuflase dengan profesional. Itu pula yang membuatnya pandai menutupi perasaan dengan tampilan depan yang berbeda dengan tampilan belakang. Jika mereka bisa melihat hujan saat langit tak mendung. Maka, saat itu pula mereka akan menyadari jika Aruna tengah menangis meski bibirnya menampakan senyum. Tapi, karena dua hari lagi liburannya akan berakhir, spesial hari ini.. dia akan bahagia.. Melupakan keluh kesah dan membuang masa lalu adalah tujuan awalnya datang ke sini, jadi dia tidak akan membuang waktu dengan sebuah kesia siaan. Aruna mengedarkan pandangan untuk mengawasi suasana Cafe. Dia lantas tersenyum masam tanpa sadar saat tatapan matanya tidak sengaja bertemu dengan seorang pria berwajah blesteran yang tengah menatapnya lekat. Semua pria, nyatanya sama saja. Tidak bisa melihat wanita cantik, maka mereka langsung menjatuhkan mata mereka untuk menatap tanpa berkedip. Bagaimanapun, buaya memang di takdirkan untuk hidup di dua alam. Namun, buaya yang berevolusi dalam bentuk manusia, tidak hidup di dua alam, melainkan mempunyai dua kehidupan. Kehidupan pertama adalah untuk gadis yang menjadi bagian dari hatinya, dan kehidupan kedua adalah untuk gadis yang mereka temui di pinggir jalan. Aruna mengangkat gelas berisi white wine dengan satu tangan, di sertai anggukan sebagai balasan atas hal serupa yang pria itu lakukan. Anggaplah ini sebagai bentuk penghormatan darinya untuk seseorang yang juga menghormatinya. Namun, dahinya berkerut saat melihat pria itu beranjak, dan melangkah ke arahnya. Semakin dekat dan dekat. Aruna mengawasi sekeliling, melihat ke belakang dan ke samping, namun tidak menemukan siapapun di sekitarnya. Mungkinkah, pria menghampirinya? Tapi.. ada urusan apa?? ------• --• Whitsunday Island, Australia. Adalah tempat yang menyenangkan. Memiliki kekayaan alam yang berisi para gadis cantik dengan bentuk tubuh indah dan ideal. Tempat yang rasanya sangat cocok untuknya menghabiskan waktu menikmati masa lajangnya. Namun, liburannya kali ini tidak hanya untuk mencari kesenangan semata. Karena di balik liburan yang indah, tersimpan sebuah tanggung jawab yang besar antara hidup dan mati. Nyawa adalah taruhannya. Radiftian Erlangga, adalah sosok yang saat ini tengah menikmati hidup dengan beragam tekanan dari kedua orang tuanya. Usia tiga puluh dua tahun ternyata sudah menjadi kodratnya untuk mendapat siksaan batin dari Orang Tua yang meminta Cucu, meski tanpa pernikahan. Aneh. Orang Tua seharusnya meminta anaknya untuk menikah dan memberikan Cucu kemudian. Namun, Orang Tuanya justru menginginkan hal tabu semacam itu. Mereka pasti sudah kehilangan akal. Meski Erlan tau persis, keinginan mereka bukan tanpa alasan. Tapi, siapa suruh mereka menganggap anak mereka sendiri sebagai seorang gay? Bukankah itu tidak masuk akal? Seharusnya mereka mengerti, jika hubungan percintaan tidak seharusnya di umbar ke publik untuk membuktikan legalitas seseorang. Di lihat dari sudut pandang ini saja, sudah bisa di buktikan siapa yang teraniaya dan siapa yang menganiaya. Tapi, namanya juga Orang Tua, mereka tidak akan mengalah begitu saja. Mereka justru semakin keras memojokkan dan menganggap diri mereka sebagai yang paling benar. Sudahlah.. membahas Orang Tua seperti itu tidak akan ada habisnya. Setidaknya.. dia bisa aman dari tuntutan mereka untuk sementara. Untuk selebihnya, pikirkan nanti. Erlan mengedarkan pandangannya, sesaat kemudian tatapannya berhenti pada salah seorang gadis yang tengah sibuk menatap Whitehaven Beach. Seorang gadis cantik dengan tubuh seksi dan menggoda, cukup untuk menarik perhatiannya. Di perhatikannya lekat. Gaun merk ternama, tas limited edition, kalung titanium, juga jam tangan mewah yang melingkar pada pergelangan tangan sosok cantik itu, menggugah hati nuraninya untuk mendekati gadis itu lebih jauh. Ditambah, sinar bulan yang menyinari sebagian wajah gadis itu, membuat penampilan yang luar biasa kian memukau. Erlan mengangkat gelas winenya saat tatapan mereka tidak sengaja bertemu. Menampilkan senyum memikat dari gadis yang berjarak cukup jauh darinya. Namun, jangan salahkan kelihaiannya untuk menilai lawan jenis meski dari jarak sejauh ini. Tatapannya sejernih air dan setajam Elang. Baginya, jarak bukanlah halangan untuk sekedar mengagumi salah satu ciptaan Tuhan yang mampu membangkitkan hasrat liarnya sebagai seorang pria. "Sial!" Erlan mengumpat saat mendapati sesuatu dari dirinya mulai berontak. Tidak di pungkiri, tampilan gadis itu memang sangat menggoda dengan gaun minim bahan berdada rendah serta berbelahan samping yang menonjolkan d**a besar serta kaki jenjang yang membuat gambaran nakal dalam benaknya mulai menjelajah. Erlan beranjak. Dia sudah memutuskan akan menghampiri gadis itu. Jadi, dia akan membantu keinginan hatinya agar menjadi kenyataan. Dia melangkah mendekat, semakin dekat dan dekat. "Selamat malam, Nona." Sapanya ramah. Meski Erlan bukanlah tipe pria yang gemar berkata manis, setidaknya dia masih bisa menggunakan bahasa manusia yang baik dan benar, serta sopan. Aruna memejamkan mata. Suara itu.. sangat enak di dengar. Benar benar Manly. Cukup menggoda untuk ukuran seorang pria. Jika suara itu berbisik di telinganya, dia yakin tidak akan bisa menjaga keimanannya lagi dan akan mengkhianati Tuhan pada akhirnya. "Malam, juga.." Aruna menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari white wine dalam gelas yang bergoyang kala dia memutar gelasnya. Bening dengan sedikit busa. Dia sengaja memilih Bellissimo Moscato, karena White Wine jenis ini low alcohol. "Mau aku temani??" Erlan kembali bersuara. Sejujurnya, dia lebih sering di kejar para gadis dari pada mengejar. Jadi dia tidak memiliki keahlian apapun untuk mencuri hati makhluk berspesies betina. Sepertinya, untuk gadis secuek ini, akan sedikit sulit. Lihat saja, gadis itu tidak menggubrisnya sama sekali. Menolehpun tidak. Aruna mendongak, menatap sosok pria yang sudah berdiri di hadapannya. "Tentu." Jawabnya di sertai tawa canggung. Aruna celingukan. Dia baru menyadari jika pria itu sangat tampan saat di pandang dari dekat. Entah otaknya kemasukan air, atau sekrup dalam otaknya ada yang terlepas sampai dia tidak menyadari itu. Erlan terkekeh pelan sebelum mendudukkan dirinya di hadapan Aruna. Masih terhalang meja namun dia masih bisa melihat perubahan ekspresi gadis itu, dia yakin jika ketampanannya telah membuat gadis ini terpesona. Juga menjadi awal yang baik untuknya. "Kamu sendirian??" Erlan bertanya seraya melirik jari jemari gadis itu yang masih kosong. Tidak ada cincin, maka tidak ada kekasih. Good job. Aruna tersenyum lembut, lalu meletakan gelasnya di atas meja. "Sepertinya kamu benar, aku sendirian." Wajahnya berubah muram. Liburan sendirian memang terasa ada yang kurang, tapi.. ini adalah keinginan Aruna sejak awal. "Tapi.. kamu tenang saja, aku akan menemanimu. Tidak tidak.. aku akan menjadi pemandu wisatamu selama kamu di sini?" Erlan menjawab cepat saat reaksi menyedihkan gadis terlihat mencolok. "Siapa namamu, Nona Cantik??" Erlan menambahkan. "Aku..." Aruna memotong kalimatnya. Dia ragu dan tidak cukup percaya diri. Bagaimana dia bisa percaya dengan orang lain jika dia saja tidak mempercayai dirinya sendiri? Sangat aneh. "Kamu bisa memanggilku LA-RA." Aruna menambahkan. Mengeja kata LA-RA dengan penuh penekanan. Lara adalah nama belakangnya, sementara nama depannya di rasa tidak perlu untuk di beritahukan kepada pria asing yang hanya menumpang lewat sebentar. Anggaplah ini sebagai bentuk penjagaan diri dari seorang Aruna Larasati. Gadis pintar dengan satu juta jurus untuk lari dari kenyataan. "Lara.. nama yang indah. Kamu bisa memanggilku Erlan. Radiftian Erlangga." Aruna mengerjap. Dia merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya. Tapi.. dimana?? "Lara.." "Ah.. iya." Aruna tersadar dari lamunan saat mendengar Erlan memanggil namanya. Terlalu banyak yang dia pikirkan sampai fokusnya tidak berada di sini. "Kenapa gadis secantik kamu bisa sendirian? Apa kekasihmu meninggalkanmu?" Erlan menatap Aruna penuh selidik. Meminta jawaban untuk pertanyaan pribadi yang dia layangkan. Namun, pertanyaan itu, rasanya.. telah merusak suasana. Aruna cemberut, namun sedetik kemudian dia terkekeh. "Lagi lagi kamu benar. Apa kamu seorang peramal yang bisa membaca nasib melalui kartu tarot?" "Aku bukan peramal." Erlan menggeleng. "Tapi, aku bisa membaca masa depan melalui garis tangan." Dia menambahkan dengan nada serius. "Oh ya??" Mata Aruna berbinar. Meski dia tau Erlan berbohong, tapi dia tetap mempercayai kebohongan itu. Erlan mengangguk. Lalu meminta Aruna untuk mengulurkan tangan. Aruna menurut, tidak menolak ataupun memberontak. Erlan melihat garis tangan Aruna dengan serius. Seperti tengah berpikir keras. Meski nyatanya.. dia tidak tau apapun tentang itu. Dia hanya mencoba mendramatisir keadaan. Aruna menarik tangannya kembali. "Lalu.. seperti apa masa depanku?? Apa.. aku akan menikah denganmu??" Erlan kesusahan menahan tawa. Bagaimana Aruna bisa membongkar niatnya begitu mudah dengan bahasa yang sangat frontal? Astaga.. gadis ini terlalu mengerikan untuk di ajak bercanda. "Tidak tidak tidak. Kamu salah, Nona. Ramalanku ini tidak bisa di tebak dengan mudah. Jadi.. tebakanmu salah besar." Erlan menyangkal tebakan Aruna. Dia akan membuat ramalan versi dirinya sendiri. "Lalu??" "Kamu akan terpesona dan suatu hari nanti, kamu akan menjadi Istriku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD