Bab. 4 - Sang Mantan

1299 Words
Nessa tertawa mendengar omongan Juna. Cowok itu tahu cara membujuk Anna lebih baik dari siapapun. Harga diri Anna sangat anti dibanting dengan istilah masih sayang atau belum move on. Alhasil, mau tak mau, sudi tak sudi, Anna menerima tawaran tersebut. Tentu saja agar ia tak dianggap cengeng atau bucin tahunan. Menolak artinya bisa jadi takut jatuh cinta lagi. Takut terpikat masa lalu lagi. Bisa jadi demikian. Faktanya memang iya, Anna was-was pada Juna. Cemas bilamana cowok itu mengambil hatinya lagi lalu dipatahkan lagi. "Oke, kali ini aja!" sungut Anna menahan letupan emosi. Di sinilah akhirnya Anna berada. Duduk bersebelahan dengan sang mantan. Mobil yang dikendarai Juna benar-benar hening. Kecuali hanya terisi dengungan lagu lawas milik Lyla, Mantan Kekasih. Suara berat Indra Perdana Sinaga sangat jelas menyindir pikiran serta hati dua insan dimabuk dilema. Liriknya amat menyentuh, menyeret ulang keduanya ke masa lalu. Memaksa memori berputar balik. Mengulas rentetan kisah yang jelas tak bisa kembali. Hanya sebatas mampu diingat semata. Rasa sakit dan semacamnya makin menusuk, tanpa bisa diobati. Oh mantan kekasihku Jangan kau lupakan aku Bila suatu saat nanti Kau merindukanku Datang datang padaku Terdengar helaan napas berat Juna menguar bebas. Dalam batin ia merutuk tak karuan. Jemarinya berniat mengganti lagu. Namun lagi-lagi secara tidak sadar otaknya tengah menikmati kenangan. Sejak beberapa menit lalu ia setengah melamun. Bersamaan dengan niatnya mengganti lagu, rupanya Anna juga hendak melakukan hal sama. Alhasil dua telapak tangan mereka bersentuhan tanpa sengaja. Menyadari ada yang salah, dengan kilat Anna menarik lengannya menjauh dari sasaran. Jantungnya masih saja berdegup kencang. Berada di dekat Juna cukup merampas sebagian energinya. Tak ada sapa maupun percakapan. Keduanya sibuk menata pikiran serta batin yang terus memberontak. Ingin bicara lidah kelu. Ingin menggenggam tangan bergetar. Ingin melihat mata terasa panas. Isi hati telah berada di haluan lain. Tak ada yang bisa dilakukan. Kecuali saling merindukan dalam kebisuan. Mobil telah sampai di halaman kampus. Anna baru saja membuka pintu dan berniat ke luar. "Aku seneng kamu baik-baik aja." Ia tersentak mendengar Juna membuka suara. Dengan segelintir kata yang begitu ia harapkan selama ini. Sejak berpisah mereka terlalu naif, saling menghindar satu sama lain. Jun memang sangat jarang pulang karena tuntutan tugas. Namun saat ada waktu pun ia tak akan bisa lagi menemui Anna. Bukan ia tak ingin. Tapi memang keadaan sudah berkata lain. Gadis itu menarik napas dalam. Meski matanya berkaca, sekuat mungkin ia tahan agar tak tumpah ruah. Air matanya harus ia bekukan supaya kesedihan dan rindunya teredam. "Makasih udah anterin," lirihnya bergetar. Juna menggenggam setir amat erat. Ia ingin sekali memeluk Anna. Ingin sekali membelai rambutnya lembut. Atau sekadar menggenggam jemari hangatnya. Fakta melarangnya. Kenyataan menyekap hasratnya. Juna tenggelam terlampau dalam pada batasan masa lalu. Anna turun dengan tergesa dibarengi jeritan hati yang meronta. Aku pengen peluk kamu, Jun! Aku kangen kamu! Banget! Jiwanya tergores tanpa daya. Anna melangkah cepat meninggalkan mobil dan pemiliknya tanpa menoleh. Juna memandang punggung Anna makin samar. Lenyap terhalang punggung-punggung lain. "Aku kangen kamu, Na ... " bisiknya pada angin. Sebentar ia mengenang cerita singkat dari sebagian kenangan bersama Anna. *** Juna baru ke luar kamar menenteng jas hitam di tangan. Berbarengan dengan tapak kaki Anna baru saja dari dapur. Secangkir teh hangat dengan kepulan masih terlihat jelas mengudara. Anna sedikit memiringkan alis melihat Juna sudah rapi kembali. Ditengoknya jam dinding putih di tembok. Sudah hampir tengah malam. "Mau ke mana?" "Gantiin temen piket jaga malam. Nyokapnya masuk rumah sakit. Kasihan kalau nggak ada yang gantiin jaga." Juna meraih gelas keramik dipegangan Anna. Menyeruputnya hati-hati. Tak ingin bibir indahnya kepanasan. "Anggota Paspampres kan banyak. Kenapa harus kamu yang gantiin?!" keluh Anna. Karena Juna memang terlalu baik. Tiap ada anggotanya bermasalah, dia juga yang turun tangan meski pagi buta sekali pun. "Katanya siap jadi Ibu Persit. Kok calonnya mau nugas malah ngambek sih?" goda Juna mencubit hidung bangir Anna. Sekilas Juna mengecup bibir manyun Anna karena gemas. "Kenapa nggak pakai seragam? Beneran mau nugas apa mau main?!" cerocos Anna setengah curiga. "Seragamku masih di barak, Yank." Hampir saja Anna protes lagi, sebelum digagalkan oleh suara dering ponsel di saku celana Juna. Ponsel jadul Nokia 1280 masih setia menjadi juara di genggaman Juna. Bukan karena tak suka kemajuan teknik masa kini. Tapi karena memang lebih awet. Ia sudah tiga kali ganti ponsel karena jatuh dan pecah. Terakhir, ponsel Samsung terbarunya masih diservis karena LCD rusak. Anna mengambil alih cangkir di tangan kiri Juna, kemudian meletakkannya di atas meja. "Nasib jadi pacar abdi negara, berasa jomblo mulu," dumel Anna pelan. Usai telepon dimatikan, Juna melangkah dua tapak hingga tepat berdiri di dekat Anna. Menarik tubuh gadis itu dalam pelukan erat. Merengkuhnya seolah waktu akan lama memisahkan mereka. "Sesek!" Anna hampir kesulitan bernapas akibat pelukan Juna. Juna mengendurkan pelukannya. Dipandangnya gadis dengan cepolan rambut asal tersebut penuh sayang. Mengecup kening dan hidungnya cukup lama. Tak ketinggalan sebuah kecupan lembut mendarat di bibir tanpa polesan lipstik milik Anna. "Masih kangen sih, tapi komandan udah nelepon lagi. Gimana dong?" "Yaudah sana buruan datengin. Asal jangan dipacarin!" "Masa terong sama terong?" Anna tertawa mencibir. "Jangan sama cabe-cabean juga." "Aku maunya sama kamu aja." Juna mencubit pipi Anna. Membuatnya mendapat kecupan balasan di pipi. *** Semua telah berakhir. Andai ada kesempatan buat balik sama kamu, Na... Juna bergumam retoris dalam hati terdalamnya. ======= Anna menyandarkan kepala pada batang pohon Angsana yang rindang. Wajahnya langsung mengahadap langit siang yang cukup menyilaukan mata. Mengenang kisah klasik bersama seorang cowok spesial, ternyata cukup menyita asupan oksigen yang masuk. Ia selalu pusing acap kali serentet kenangan Juna melintas tanpa permisi. Meski sudah berusaha menanam rambu merah dalam hati dan logika. Tetap saja khayalan maupun imajinasi masa lalu lebih kuat menarik dirinya masuk. "Lo kelihatan murung habis ketemu abang gue, Na. Ada getar-getar apa nih?" tanya Nessa. Ia masih asik menyantap keripik kentang spicy grilled beef flavor. Sesekali menyeruput es s**u cokelat dalam kotak kemasan. Walau terbilang sangat cuek dan masa bodoh. Sebenarnya ia adalah sosok yang cukup peka. "Kayaknya gue sadar, lo lagi ngejebak gue. Seneng banget sih lo bikin gue sensi pagi-pagi." Anna mengingat kejadian tadi pagi. Tak terpikirkan sebelumnya, akan bertemu bahkan satu mobil lagi dengan sang mantan. Selain sibuk urusan kuliah dia juga sibuk melupakan sosok, yang sampai detik ini masih jadi benalu di otaknya. "Sambil tetap mengunyah, Nessa merinci niatnya. "Gue berusaha kasih kalian kesempatan terbaik buat saling buka hati lagi. Tapi kayaknya kalian berdua nggak pergunain dengan bener. Kalau gue jadi elo, pasti udah gue peluk cowok yang gue kangenin," tukasnya sok percaya diri. Mendengar kalimat temannya Anna langsung meraih ranting kecil dan melempar ke arah Nessa. "Ngaca sana, Ness. Berani nggak lo lakuin yang barusan lo bilang ke si Killer Boy kesayangan lo itu?" Anna membalikkan keadaan. "Beda cerita, Na. Lo sama abang gue jelas saling suka. Lhah gue? Cuma berat sebelah." "Justru kalau lo pengen tahu jawaban Gama, lo ungkapin dong. Percuma hati lo jejeritan, dia nggak bakal denger dan tahu." Kali ini Nessa gantian melempar ranting ke Anna. Keduanya terlibat cekcok cukup lama. Hingga suara Niko menghentikan. Cowok maskulin dan punya senyum mematikan itu ikut duduk mendusel di antara Anna dan Nessa. "Lagi pada gibah ya?" "Kepo banget lo! Sana, jangan ikut campur urusan ladies," usir Anna mengibas tangan. Tak menggubris tingkah Anna, Niko mulai pamer. Ia mengeluarkan dua buah foto dengan tanda tangan asli pemilik dari dalam paper bag hitam. Sontak membuat Anna dan Nessa langsung merampas cepat. Raut mengerikan dua karib itu berubah sumringah. Mereka tersenyum merekah sembari memeluk foto Joe Taslim dan Iqbal Ramadhan dalam figura. "Gantengan gue ke mana-mana kali." Niko berseru percaya diri. Nessa dan Anna saling lirik sebentar. Mematahkan ranting menjadi dua bagian. Dan langsung melemparnya ke arah Niko. Cowok itu memekik pelan. Di depan gadis lain ia adalah casanova tingkat menara Eiffel. Tapi di depan dua sahabat baiknya ini, dia bak ikan mas koki dalam akuarium. Tak bisa berkutik banyak. ====
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD