Lima

676 Words
"Mel, laporan sudah siap, kan?" tanya Ferdi rekan kerja satu divisinya.   Amel menoleh, mengangguk pelan. Sebenarnya, pikirannya melayang pada kejadian pagi tadi, di mana dia berpikiran bahwa akan terjadi kecup basah di dalam lift, tapi yang terjadi malah dirinya mendapati butiran remeh yang menempel di sudut bibirnya.Astaga, Nino memang paling pintar mempermalukannya, mau langsung atau secara tidak langsung.   Amelia geleng-geleng kepala mengusir pikiran yang terus bersarang dalam otaknya. Amel segera beranjak mengambil berkas laporan yang diminta Ferdi. Amel menyerahkan satu tumpuk berkas pada Ferdi untuk diperiksa lebih rinci lagi."Itu laporan pemasaran awal bulan sama akhir bulan kemarin."   Ferdi menerima berkas yang disodorkan Amel padanya, teringat sesuatu, Ferdi kembali membuka suara. "Nanti setelah jam makan siang, Manajer kita mau ngadain rapat darurat." "Membahas tentang pemasaran produk pabrik  yang sedikit anjlok?" tebak Amel.   Perusahaan tempat Amel bekerja memang sedang terombang-ambing karena perusahaan baru yang mengeluarkan produk sejenis tapi dengan kemasan yang lebih baru dan lebih kekinian sehingga menarik konsumen untuk berpindah produk.   Ferdi mengangguk cepat, "Kadang begini deritanya bagian divisi marketing," Ferdi menghela napas panjang. "Kita harus putar otak untuk menarik perhatian konsumen kembali." selanjutnya Ferdi geleng-geleng kepala.   Amelia menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya berdeham membenarkan apa kata Ferdi barusan."Ya sudah, gue tinggal dulu ya." Ferdi beranjak meninggalkan kubikelnya.   Amelia memejamkan matanya beristirahat sejenak menjernihkan kepalanya."Mau tidur jangan di kantor, sana ke pantry." suara berat memaksa Amel membuka matanya kembali. Amelia mendongak mencari sumber suara, setelah mengetahui siapa yang datang, Amel menyesal sudah membuka matanya.   "Mau kurus bagaimana, kerjaan tidur. Sudah nambah gendut nambah dosa pula," cibirnya sarkas.   Amelia mendengus memutar bola  malas lalu menegakkan tubuhnya. "Bapak itu ke sini mau cari apa? Perasaan ini bukan ruangan Bapak," kata Amel bernada ketus.   Nino terkekeh pelan menarik kursi yang ada di sana untuk bisa duduk berdekatan dengannya. "Kebetulan gue mau bicara sama lo, jadi gue mampir dulu sini." Mata tajam Nino mengawasi ruangan kerja Amel yang terdiri beberapa kubikel lainnya. "Yang lain pada ke mana?" tanya Nino penuh selidik.   Lagi Amel mendengus sebal menatap malas pada Pria yang duduk di sampingnya."Bicara apa?" sungut Amel jengkel. "Oh mungkin sudah Bapak-bapak beneran kali ya jadinya lupa kalau sekarang menit ke sepuluh jam makan siang," ejek Amel berani.   Nino tersenyum miring. "Gue tadi lihat Seira sama Ajiz jalan bareng keluar." kali ini Nino memasang wajahnya serius.   Alis Amel terangkat sebelah, masih menatap Nino malas."Serius gue, Mel." Nino kembali berkata dengan nada sungguh-sungguh.   "Terus urusanku apa?" ketus Amel. "Mereka kan di atas gedung, sama kayak kamu. Jadi kalau mereka keluar bareng bukan hal yang harus dicurigai, kan?" jawab Amel positif thinking.   Nino tertawa pelan, lebih tepatnya seperti memberi ejekan pada Amel. "Lo polos apa memang kelewat polos? Kalau benar, mereka pasti keluarnya bareng gue." Nino menatapnyalekat."Gue dengar kalian berdua, maksud gue, lo sama Ajiz sudah resmi jadi sepasang kekasih?" Amel semakin gagal paham dengan ucapan-ucapan Nino yang menurutnya absurd.   "Iya, kemarin hari minggu Ajiz minta aku buat jadi kekasihnya," sahut Amel cepat. Amel memperhatikan ekspresi Nino yang seperti keheranan atau.. Entahlah, Amel malas menebaknya.   "Dan lo menerimanya begitu saja?" tanya Nino yang diangguki Amel penuh kemantapan. Nino memijat keningnya seperti sedang kesal. "Kok lo terima dia begitu saja sih, Mel!" seru Nino persis seperti anak kecil.   Dahinyamengerut. "Begitu saja?" ulangnya heran. "Begitu saja bagaimana maksudmu? Ajiz seniorku di sekolah, sama sepertimu. Bahkan Ajiz sangat baik padaku, mau menjadi temanku dan mau membantuku mengurangi kiloan sialan itu," sungut Amel tak terima.   "Lo nggak tahu kan apa yang ada dalam hati dan pikiran dia waktu dia minta lo buat jadi pasangannya?" Amel diam tak menjawab. "Lo nggak tahu, kalau lo tahu, gue yakin, lo pasti bakal nolak Ajiz saat itu juga."   Tangan Amel mengibas berlawanan arah beberapa kali. "Maaf ya, aku nggak bisa terpengaruh sama ucapan kamu. Karena kamu memang selalu begitu padaku." Amel menarik napas panjang. "Ajiz yang memintaku jadi kekasihnya, jadi aku pikir sangat kecil kemungkinan kalau sampai Ajiz tak memiliki rasa padaku."   Nino tersenyum kecut mendengar jawaban Amel, memang benar apa kata Amel barusan. Dirinya senang merecoki kehidupan Amel, tapi kali ini berbeda, tapi ya sudah lah. Mungkin memang mereka saling mencintai.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD