"Jadi seperti begitu keseharian kamu sebelum berangkat kerja." Pernyataan Ajiz setelah melihat Amelia siap dengan pakaian kerjanya.
Amelia memutar bola matanya malas, "Kamu saja yang datangnya kepagian, coba lebih siang sedikit," kilah Amelia mencari alasan.
Alis tebal Ajiz terangkat sebelah mendengar jawaban Amelia. Kemudian matanya menangkap sosok Seira di belakang Amel.
"Seira menginap di sini?"
Amel menoleh ke belakang, sementara Seira melangkah mendekat ke arah mereka.
"Iya, semalam di rumah sepi. Jadi aku menginap di sini," sahut Seira tersenyum tipis.
Ajiz mengangguk paham, melirik jam tangannya sekilas. "Setengah delapan, kita berangkat sekarang." Ajiz hendak melangkah terhenti mendengar seruan Amel.
"Aku belum sarapan," ucap Amel meringis memegangi perutnya.
Ajiz dan Seira mendengus bersamaan. "Gembul!" semprot keduanya spontan.
Amel mencebik menggerutu dalam hati. Memang kalau lapar salah, ya? Dia memang paling tak sanggup jika harus melewatkan sarapan.
"Kalian duluan deh, aku mau sarapan dulu."
Ajiz meraih jemari Amel yang bebas. "Kita sarapan di kantin kantor nanti," kata Ajiz. "Semoga nggak macet, jadi kita bisa cari sarapan dulu."
Amel mengangguk semangat tersenyum lebar, sementara Seira tetap mempertahankan senyum tipisnya."Mbak! Kita berangkat, ya..," seru Amel setengah berteriak.
Setelah mendengar sahutan dari dalam, merekapun berangkat ke kantor.
***
"Ah gila! Mending berangkat sendiri saja deh. Berasa kayak nyamuk di sini," sarkas Seira dengan nada menyindir.
Dahi Amel mengerut melirik ke arah Seira. "Memang kita ngapain sampai kamu kayak nyamuk?" Amelia geleng-geleng kepala, karena pasalnya dia memang tidak sedang bermesraan dengan Ajiz. Dirinya sedang sibuk menyuapkan nasi kuning yang ke dua bungkusnya.
Seira memutar bola matanya malas, mendesah kasar. "Kalian sibuk sendiri," tuduh Seira kesal. Seira melirik Amel sebal, "Kamu juga, sibuk makan terus. Gendut lagi baru tahu rasa!" seru Seira jengkel.
Amelia mengedikan bahunya tak acuh. "Percuma kurus kalau harus nahan lapar, Sei," sahut Amel setelah menyuapkan nasi kuning terakhirnya. "Kamu itu nggak dimakan?" tunjuk Amelia pada nasi kuning Seira yang masih tersisa.
Seira mengikuti arah pandang Amelia. "Nggak, sudah kenyang."
Amelia mengangguk paham hendak menyambar nasi kuning milik Seira, tapi sayang, pergerakannya ditahan oleh Ajiz.
"Ingat, satu minggu ini kamu sudah naik dua kilo." Ajiz menatap tajam Amelia. "Ayo, lagian kamu sudah menghabiskan dua bungkus. Belum kenyang? Biasanya kan cuman sarapan roti."
Bahu Amel luruh, menatap jengah pada Ajiz. "Begini nih, kalau punya pasangan yang demen banget pola sehat. Merana seumur hidup," gerutu Amel seraya beranjak dari duduknya melangkah meninggalkan kedua orang yang masih duduk di sana.
Seira terkikik geli, sedangkan Ajiz hanya memasang raut wajah datarnya.Tersadar, mereka saling melempar pandangan dan saat itu juga kikikan Seira berhenti.
Seira menatap Ajiz sebentar sebelum akhirnya menyusul Amel yang sudah hilang di balik pintu.
***
"Memang apa bedanya sih gendut sama kurus? Enakan juga gendut deh segala macam makanan bisa dihabiskan," gerutu Amel belum kunjung reda sampai tak menyadari ada orang dalam lift.
"Ya bedalah, kalau gendut yang cantik juga bisa kelihatan jelek. Kalau yang punya body, sudah pasti cantik," sahut seorang Pria bersuara berat.
"Ya sudah, mending gendut kelihatan jelek. Daripada kurus kelihatan cantik, tapi menderita!" sembur Amel bersedekap tanpa mau repot menoleh ke belakang.
Pria yang berdiri di belakang Amel tersenyum geli.Dia Nino, Pria yang selalu mengganggu Amelia.Entah dengan mengerjai, atau sekedar meledek Amel.Dulu, tiada hari tanpa mengganggu Amel.
"Nggak semua cewek kurus menderita, contohnya sahabat kamu sendiri, Seira," timpalnya lagi santai.
Amel mencebik. "Memang, Seira itu ususnya kecil jadi dia selalu nggak sanggup menampung nasi satu piring juga." Amelia belum masih menoleh ke belakang.
"Makanya Ajiz lebih tertarik pada Seira, karena Seira lembut, modis, dan lebihnya lagi irit," ucap Nino tersenyum tipis.
Dahi Amel mengerut, tunggu dulu, siapa yang berbicara dengannya? Amelia memikirkan siapa orangnya, seketika bahu Amelia turun tak semangat. Amelia menoleh ke belakang, benar kan perkiraannya.
Nino di belakang sedari tadi, tapi kenapa dia tidak menyadarinya?
Amel merutuki kecerobohannya.
"Dari dulu, lo memang nggak pernah berubah, Ndut." Nino tersenyum tipis.
Amelia sedikit memundurkan tubuhnya, menyejajarkan dirinya dengan Nino."Aku sudah nggak gendut lagi, sekarang," sahut Amel santai.
Nino menoleh, tersenyum miring. "Tapi bagi gue, lo tetap Ndut yang sama."
Amelia menahan dengusannya. Akan sangat tidak sopan jika dirinya mendengus pada atasannya. Iya, bagaimanapun Nino tetap atasannya. Amelia belum siap untuk jadi pengangguran dalam waktu dekat.
"Si gendut yang bawel, percaya diri, ceroboh, dan selalu menangis jika kalah berdebat." tatapan mata Nino beralih ke depan menerawang.
Amelia kali ini tak bisa menahan dengusannya, Amel mendengus jengkel mendelik tajam ke arah Nino.
Nino memang benar, meskipun Amel kelebihan fisik, tapi tak pernah membuatnya minder.
Hanya saja, saat giliran Amel lelah diejek atau dikerjai, Amel memilih lari sambil menangis.Itu cara ampuh untuk mengurangi rasa sakit hati atas ejekan teman-temannya.
"Iya, dan Bapak nggak pernah puas berhenti meledek saya," sindir Amel dengan bahasa formalnya.
Nino terkekeh pelan, merapatkan diri dengan Amel."Habis sarapan?" tanyanya menatap Amel dari samping.
Amel menganggukkan kepalanya mengiyakan. "Habis berapa bungkus?" tanyanya lagi semakin dalam menatap Amelia
Amelia menelan ludahnya susah payah, mata Amel bergerak ke sana-ke mari menghindari tatapan tajam yang dilayangkan Nino padanya.Sial! Kenapa liftnya lama sekali sampainya! Amel sudah gerah berdua di sini dengan atasan istimewanya ini.
Tubuh kekar Nino semakin merapat pada Amel, dan tatapan Nino semakin tajam padanya.Nino menyeringai, sementara Amel semakin terpojok di dinding lift.
"Bapak mau," ucapan Amel terhenti saat tangan Nino terulur ke arah wajahnya.
Amel memejamkan matanya menahan napasnya sebisa mungkin.
Nino menatap geli melihat reaksi Amel, tangannya masih terulur mendarat di sudut bibir Amel kemudian bergerak seperti mengusap untuk menyingkirkan remahan nasi yang tersisa di sudut bibir Amel.
"Lo seharusnya mengaca dulu sebelum pergi, nggak sampai harus menyisakanremah segala," ejek Nino.
Spontan Amel membuka mata, ekspresi yang di luar perkiraannya. Amel buru-buru menyentuh bibirnya kaku.
"Sudah gue buang barusan," sahut Nino cepat seolah tahu yang ada di pikiran Amel.
Pipi Amel merona, sumpah demi apapun saat ini dirinya dilanda rasa malu yang luar biasa.Pikiran kotornya rupanya harus segera dicuci.Amel geleng-geleng kepala menepis rasa malu yang tiada tara itu.