Menggoda sang Pangeran

1320 Words
Seiring langkah kakinya yang mendekati pria itu, jantungnya berdegup semakin kencang. Tiga gelas minuman nampaknya tidak cukup untuk menenangkan dirinya. Sepanjang perjalanan ia sudah merangkai skenario yang tepat untuk ia lakukan saat berhadapan dengan sang pangeran namun rasanya apa yang ia rancang tidak sesuai. Tinggal beberapa langkah lagi hingga ia mencapai meja pria itu namun keberanian dirinya ikut menipis. Tiba-tiba saja langkah kakinya berputar arah dan kembali ke mejanya. Echa sedari jauh sudah mengawasinya. “Ngapain balik lagi?” “Cha ngga bisa gue, cha. Aduh gue deketin cowok lain yang gue kenal aja deh.” “Ya siapa? selama ini kan lo udah nyari tapi pilihan lo cuma mentok sama Adi. Makanya jangan pilih-pilih jadi orang. Yang deketin udah banyak tapi banyak banget sih lo kriterianya.” “Duh, iya janji deh gue mau turunin standard aja nanti tapi kita carinya seseorang yang bisa gue jangkau aja ya.” Echa mendekati Alena dan menempatkan kedua tangannya di bahu. “Len, percaya sama gue. Lo pasti bisa. Jangkauan lo emang udah seharusnya sekelas sama pangeran itu, lo nya aja yang selama ini bergaul di lingkungan yang salah.” Berapa kalipun Echa menasihatinya, jantung Alena tidak bisa tenang. Ia sudah menarik napas dalam-dalam dan berhitung dalam hati, tetap saja, gagasan untuk mendekati seorang pria asing untuk tidur dengannya terdengar mustahil. Echa menatap Jordan untuk meminta bantuan sehingga pria itu bangkit dari tempatnya. “Ya udah gue temenin lo buat basa-basi, setelah kalian saling kenal gue bakal balik ke sini.” pria itu berjalan mendahului Alena. Alena yang panik langsung mengejar pria itu. “Eh, jangan-jangan! Lo malah bikin gue tambah malu depan cowok itu nantinya.” “Jadi lo maunya gimana Alena!” Echa berseru karena gemas pada temannya. Bahu Alena lemas. “Ya udah deh, gue coba lagi.” Dengan gontai ia jalan menuju tempat itu kembali. Matanya mengawasi pria itu yang sedang memegang gelas di tangan kanannya. Beberapa saat Alena melihatnya mengerutkan dahi entah karena apa. atau mungkin karena pria itu memang punya kebiasaan seperti itu, entahlah, yang jelas sisa kurang dari sepuluh langkah lagi untuk berakhir di meja tersebut. Ia menghitung mundur, 8, 7, 6, 5, 4, 3, 2, oh, tidak… Pria itu mendadak menengadahkan wajahnya dan menatap Alena. Mata pria itu memerangkap Alena yang salah tingkah. Raut wajah pria itu amat sangat tidak ramah dan tidak memungkinkan untuk didekati olehnya. Ia tidak bisa mendekati pria dengan wajah masam seperti itu. Tapi.. Oh tuhan, mengapa wajah tampan pria itu seperti menantang dirinya. Seandainya ia tahu wajah pangeran negeri ini setampan itu, mungkin ia akan menghabiskan waktu menjelajah internet untuk mencari foto-foto pria itu dan ia jadikan wallpaper pada ponselnya. Bibirnya, oh, dari jauh saja Alena sudah ingin mencicipi bibir itu. Lalu matanya… Matanya menatap tajam pada Alena dan membuat nyalinya seketika menciut. Ia tidak bisa melihat jelas warna mata pria itu apa, yang jelas gelap dan tajam. Langkah kaki yang seharusnya berhenti di samping meja pria itu, tidak bisa terkendali hingga akhirnya ia berjalan lurus menuju ujung ruangan itu dan berakhir di toilet wanita. Syukurlah ada toilet ini yang bisa ia datangi. Ia bisa beralasan bahwa sedari awal dirinya memang ingin pergi ke toilet. Tapi, toh, pria itu tidak akan menanyakan alasannya dan ia tidak akan memiliki kesempatan untuk menjelaskan karena sumpah mati, ia tidak akan pernah berani untuk menggoda pria itu di mejanya seperti tadi. Entah setan apa yang merasukinya tadi sehingga ia pikir dirinya sanggup melakukan hal gila itu. Pria itu adalah seorang pangeran, demi tuhan. Calon penerus tahta kerajaan. Apa yang akan dilakukan seorang pangeran dengan dirinya? Tidak ada. Alena mencuci tangannya. Menghela napas dan bercermin. Menatap pantulan dirinya sendiri. Sebuah dress selutut membungkus tubuh langsingnya, dengan rambut berwarna coklat panjang yang sedikit mengikal hasil dari kerja keras salon langganannya membingkai wajah berbentuk oval. Ia tidak pernah mengira dirinya buruk rupa, semua temannya selalu memuji parasnya. Namun jika disandingkan dengan pangeran tampan tadi, sudah jelas dirinya ini jauh berada di bawahnya. Ia menggelengkan kepalanya sambil mengeringkan tangan pada mesin hand dryer yang berada di sudut ruangan. Sudah diputuskan, ia tidak akan melakukan hal gila seperti yang disarankan Jordan dan Echa. Ia tidak sanggup menahan rasa malu jika nanti ditolak mentah-mentah. Tangan Alena meraih gagang pintu kamar mandi dan ia hendak kembali menghampiri kedua temannya namun apa yang saat ini berada di hadapannya membuat langkahnya terhenti. Pria itu berdiri dengan santai namun wajahnya bagaikan elang yang sedang memburu mangsa. Tajam memperhatikan Alena yang baru saja keluar dari kamar mandi. Setelah ia lihat lebih jelas dalam kondisi seperti ini, pria itu memiliki badan atletis yang tinggi. Alena bahkan dapat membayangkan betapa liat otot-otot tubuh pria itu dan jika dilihat dari proporsi badannya, seharusnya pria itu memiliki sesuatu yang Alena harapkan tapi ia tidak berani melirik lebih jauh lagi ke bawah untuk memastikan. Alena berdeham untuk menghilangkan sikap salah tingkahnya. Tidak mungkin pria ini tahu bahwa ia bermaksud menggodanya beberapa saat lalu. Alena menoleh pada pintu disamping toilet yang baru saja ia masuki. Ada toilet laki-laki di sana, mungkin pria itu memang berniat masuk ke balik pintu tersebut. Dengan ragu, ia berjalan melewati pria itu namun langkahnya lagi-lagi terhenti. Pria itu, sang pangeran, menghalagi jalan Alena dengan tubuhnya. “Ada perlu apa?” Alena mengerjapkan matanya. “Maksudnya anda bicara dengan saya?” “Bukannya dari tadi kamu mau membicarakan sesuatu denganku?” balas pria itu dengan pertanyaan lain. “Hm, ngga. Kamu.. maksud saya anda salah paham.” Alena menjawab dengan suara yang ia yakin terdengar seperti cicitan burung. “Permisi.” Pria itu hanya menatapnya, tanpa mencegah Alena pergi menjauh namun tiba-tiba saja sebuah kalimat terdengar dari suara baritonnya. “Aku tidak akan menemuimu untuk kedua kali. Ini kesempatan terakhir untuk berbicara padaku.” Alena menggigit bibirnya saat mendengar pria itu. ia mengutuk diri sendiri karena tidak punya keberanian untuk berterus terang dan menyerah menggoda pria itu. keputusannya sudah bulat, ia akan mencari pria lain saja nanti. Namun, tubuhnya berkata lain. Sosok pria itu memikat Alena sejak mereka bertatapan. Pada detik pertama, ia sudah membayangkan bagaimana berada di bawah tubuh pria itu. dalam dekapan hangatnya yang nyaman dan besar. “Aku mau tidur sama kamu.” Ucap Alena tiba-tiba spontan. Ia menutup mulutnya dengan satu tangan begitu sadar kalimat yang terlontar dari bibirnya. Detik berikutnya Alena melihat senyuman tipis di mulut pria itu dengan saat yang bersamaan lengannya di tarik ke dalam toilet wanita yang baru ia masuki sebelumnya. “Kamu butuh uang dan ingin menjual diri padaku?” Alis pria itu naik saat bertanya. Alena berpikir sebelum ia menjawab. Jika ia bilang ia ingin tidur dengan pria itu karena ingin melepas keperawanannya apakah itu memalukan? Ya, sepertinya itu memalukan. Bahkan bisa jadi pria itu kabur karena tidak ingin berurusan dengan seorang gadis perawan. Yang biasanya terjadi pada kehidupan nyata, seorang pria tidak ingin bermain dengan gadis perawan karena malas bertanggung jawab. Bisa jadi gadis-gadis itu meminta pertanggungjawaban si pria. Namun, bukan itu yang akan Alena lakukan. Tapi bagaimana membuat pria itu percaya bahwa ia bukan gadis seperti itu? “Ya, aku butuh uang.” Jawaban itu terasa tepat. Jika pria itu tahu dirinya hanya membutuhkan uang, maka seharusnya pria itu tidak akan lari dan merasa khawatir. “Aku ingin lihat apa yang bisa kamu tawarkan.” Mata Alena membulat. “M-maksudnya di sini?” Pria itu melipat tangan di d a d a. “Sebelum kita melanjutkan lebih jauh, aku harus mengetahui apa kamu layak untukku atau tidak.” Alana mendengus, dalam hati ia menggerutu. Tentu saja, pria itu akan berkata seperti ini karena dia seorang pangeran dan merasa derajatnya lebih tinggi dibandingkan rakyat biasa sepertiku. “Aku berubah pikiran. Minggir.” Alena melangkah dan berniat untuk menggapai pegangan pintu agar bisa keluar dari ruangan itu namun pria di hadapannya tidak membiarkan usaha Alena berjalan dengan mulus. “Once you’re in, you’re in.” ucapnya dengan suara rendah. “Buka bajumu dan perlihatkan padaku apa yang kamu punya.”    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD