bc

Aku Kerja Suamiku Mendua

book_age18+
4.4K
FOLLOW
30.4K
READ
independent
boss
drama
bxg
witty
regency
realistic earth
love at the first sight
affair
colleagues to lovers
like
intro-logo
Blurb

Dua tahun lalu Nuri terpaksa pergi ke luar negri untuk bekerja demi mengubah nasib perekonomian rumah tangganya. Setiap bulan ia mengirim uang untuk sang suami, berharap uang yang ia kirim oleh sang suami dipakai buat membangun rumah, membeli kendaraan, dan membuka usaha.

Niat hati ingin memberi kejutan pada sang suami dengan kepulangannya dari luar negri, tapi malah Nuri sendiri yang dikejutkan saat mendapati pengkhianatan sang suami.

Nuri tidak terima uang yang selama ini ia kirimkan habis begitu saja, jadi ia merencanakan sesutu untuk membalaskan pengkhianatan suaminya. Ia tidak akan tinggal diam, apa yang menjadi hak dan miliknya maka harus kembali.

Apa yang akan Nuri lakukan untuk membalas pengkhiantan suaminya?

Juga apa yang akan ia lakukan untuk meminta pertanggung jawaban atas raibnya uang yang selama ini ia kirim?

chap-preview
Free preview
Bab 1. Pulang ke Indonesia
Nurinda atau kerap kali orang-orang memanggilnya Nuri itu menarik senyum lebar tatkala kedua kakinya menginjak lagi tanah yang dua tahun ini dia tinggalkan, ia baru turun dari pesawat yang mengangkutnya dari Singapura ke Indonesia. Menghirup aroma polusi yang membuatnya rindu dengan rakus, tidak peduli kalau polusi itu sebenarnya membuat hidungnya tidak nyaman. Kepulangannya ia sengaja sembunyikan dari Gani-sang suami karena ingin memberi kejutan padanya. Nuri merogoh ponsel di tas ransel yang ada di dekat kakinya, mengotak-atik sebentar lalu menempelkannya pada telinga. Deringan pertama tidak diangkat, Nuri mencoba lagi. Deringan kedua Gani tidak mengangkatnya lagi. Nuri tidak menyerah, dia menekan lagi tombol panggilan di ketiga kalinya. Cukup lama Nuri menyimpan ponsel di dekat telinganya. Ini memang nomer baru, kemungkinan Gani menyangka yang memanggilnya sekarang adalah orang lain makanya lama dia mengangkat. Nuri melebarkan senyumannya begitu panggilannya diangkat, tapi saat mendengar suara perempuan yang menjawab Nuri menyurutkan kembali senyum dan menggantinya jadi kernyitan halus di dahi. Siapa? Nuri tidak mengenali suara perempuan ini. Kalau mbak Alia-kakak perempuannya Gani, jelas dia sudah hapal bagaimana suara serta nada bicaranya. Bila memang itu ibu mertuanya, tidak mungkin suaranya dapat sebening ini. Ibu mertuanya sudah tua, jadi suaranya juga pasti serak dan agak basah. Nuri memutuskan untuk tidak menjawab. Berkali-kali wanita itu berkata 'hello', tapi ia keras kepala dengan tidak mau mengeluarkan suara sedikitpun. Hingga pada akhirnya telpon pun terputus, Nuri langsung mendudukkan tubuh di kursi yang kebetulan ada di sampingnya dengan lemas. "Tidak. Tidak. Tidak. Mana mungkin Mas Gani selingkuh, itu sangat tidak mungkin." Nuri terkekeh geli, menghibur hatinya sendiri. Walau keraguan dalam hatinya sangat besar, dia tetap mau untuk berpikir positif. Nuri menggelengkan kepala, mencoba mengusir pemikiran rancu di otaknya. Ia yakin suaminya itu setia, tidak akan pernah berani mengkhianatinya. Setelah menenangkan hati dari gejolak prasangka buruk dalam hatinya, Nuri kembali menelpon nomer Gani. Kali ini di dering pertama, Gani langsung mengangkatnya. Nuri menempelkan ponsel di telinga, menunggu suara dari sebrang telpon mengeluarkannya terlebih dahulu. "Hello?" Puri menghembuskan napas lega begitu yang kini bersuara adalah suara Gani. Dengan sedikit menekan nada antusias dalam suaranya, Nuri mulai angkat bicara. "Ya, hello Mas. Assalamualaikum." "Nu-nuri? Wa-walaikum sallam. Ya Dek, ada apa?" Suara Gani bergetar karena gugup, jelas Nuri dapat merasakan itu. Perasaan yang tadinya sudah mulai tenang kini kembali gelisah, pikiran buruk itu kembali menyerangnya. Nuri menggigit bibirnya, mencoba menahan tenggorokannya agar tidak bergetar saat bicara. "Mas Gani sekarang ada di mana?" Cukup lama terdiam hingga Nuri menyangka kalau Gani tidak berniat menjawab pertanyaannya, sebelum kemudian suara Gani kembali terdengar. "Mas lagi di luar, Dek. Kok tumben nanya, memangnya ada apa?" Sebelum mengatakan tujuannya, Nuri harus memastikan dulu siapa wanita yang tadi mengangkat panggilan pertama darinya. Nuri berdehem singkat, "tadi aku nelpon Mas Gani dan yang ngangkatnya perempuan, siapa itu Mas?" "Hah?" Gani tersentak kaget, "masa sih? Oh, mungkin itu hanya orang iseng. Soalnya saat tadi mas ke toilet, ponsel memang tertinggal di atas meja. Saat Mas balik lagi, eh sudah ada beberapa panggilan dari nomer asing. Mas kira itu orang lain, tapi ternyata istri Mas sendiri." "Memangnya Mas sekarang di luar di mana?" "Di-di cafe. Ya di cafe, Dek." Gani menjawab sedikit gugup. Nuri mengangguk walau dia tahu Gani tidak akan bisa melihatnya. Perasaannya kini mulai membaik lagi. Kalau memang Gani ada di kafe, pantas saja ponselnya bisa orang lain yang mengangkat tadi. Nuri langsung berucap istighfar dalam hati, karena sudah berpikir yang tidak-tidak pada suaminya itu. "Oh, di cafe. Mas Gani, bisa sekarang ke bandara buat jemput aku? Soalnya aku sudah ada di Indonesia, baru lepas landas barusan. Aku tidak tahu ja--," "APA?" Belum sempat Nuri menyelesaikan ucapannya, suara kaget Gani membuat ia mengernyit heran. Kenapa nada suara Gani malah seperti orang yang ketahuan maling alih-alih senang dirinya pulang? Nuri tidak ingin berpikir buruk lagi, jadi dia kembali mendekatkan ponsel ke telinganya setelah sebelumnya menjauhkan sebentar. "Kenapa Mas Gani?" Nuri bertanya heran. "Ha ha ha, tidak kok. Mas hanya terkejut dengan lelucon kamu. Kamu bisa aja kalau kasih kejutan, bikin Mas sampai berpikir ucapan barusan adalah nyata." Belum sempat Nuri menjawab, suara Gani kembali terdengar. Nuri memutuskan untuk mendengarnya terlebih dahulu sebelum kemudian menjelaskan pada Gani kalau dirinya barusan tidak sedang bercanda. "Oh, ya Dek. Mas butuh uang lagi buat bangun warung, soalnya uang yang kamu kirim kemarin buat modal toko sembako malah gagal karena toko yang Mas beli diambil paksa sama pabrik sabun. Kurang ajar memang, masa mereka tidak mengganti uang Mas. Maaf ya Dek, kesannya mungkin Mas ini gak bisa diandalkan dalam mengelola uang." "APA?" Kali ini Nuri yang terkejut setelah mendengar pengakuan Gani. "Bagaimana bisa pabrik sabun itu main ambil tanah dan robohkan toko sembarangan? Kamu tidak mengada-ngada kan Mas? Uang yang aku kasih kemarin buat modal kamu itu tidak sedikit, kenapa kamu tidak coba tanyakan lagi saja uang itu?" Jelas saja Nuri tidak terkejut bagaimana, Gani baru saja ia kirim uang belum lama ini karena mengatakan ingin membeli sebuah toko untuk jualan sembako. Namun, yang ia dengar sekarang malah toko itu sudah diruntuhkan, selain geram Nuri juga ingin mencakar jadinya. "Sudah Dek, tapi mereka mengatakan kalau tanah itu memang dari awal adalah milik mereka. Jujur saja... waktu transaksi dulu dengan pemilik toko, Mas gak ada di kasih surat kepemilikan gitu." "Ya ampun Mas kenapa kamu begitu bodoh? Harusnya kamu tanya-tanya dulu tentang surat kepemilikan tanah dan lainnya, kenapa main ambil saja dan langsung bayar? Heran aku sama kamu, Mas." Nuri memijit pelipisnya yang mendadak pusing. Belum juga menginjakan kaki di rumah barunya yang di bangun Gani dari hasil uang transferannya, tapi Nuri sudah dibuat pusing dengan tingkah ceroboh Gani. Kalau gini caranya, uang yang selama ini Nuri kirim Gani pakai untuk hal yang sia-sia. Nuri mengabaikan orang-orang yang berlalu-lalang melihat dirinya aneh karena marah-marah ditelpon. Bagi dirinya sekarang, perasaan tidak puas pada suaminya lebih penting. 50 juta, 50 juta yang Nuri kirimkan untuk Gani beli toko kemarin dan kini uang itu entah gimana kabarnya. "Maaf Dek, nanti Mas tanyakan lagi deh, tapi kamu tetap kirim uang buat bangun warung kan?" "Nanti saja kita bicarakan di rumah, sekarang kamu jemput aku di bandara. Lelah tubuhku karena berada di pesawat dua jam lamanya, aku ingin segera membersihkan diri dan istirahat," Nuri berucap sambil memukul-mukul pelan pundaknya dengan kepalan tangan sambil menggerakkan leher ke kiri dan kanan. "JA-JADI BENERAN KAMU SUDAH ADA DI INDONESIA?" Suara Gani terdengar kaget lagi, bahkan Nuri harus menjauhkan ponsel dari telinganya lantaran suara Gani yang memekakkan pendengaran. "Iya, Mas Gani aku memang di Indonesia, jadi cepat jemput. Assalamualaikum." Setelah mendengar balasan salam dari Gani, Nuri menutup sambungan telpon, lalu duduk di kursi tunggu yang terdapat di terminal. Dia memijit pelipisnya yang mendadak pusing, gedeg pada kelakuan Gani yang dia rasa tidak menghargai jerih payahnya dalam mencari uang. Cukup lama Nuri menunggu Gani, tidak terasa sudah satu jam berlalu. Nuri menghembuskan napas kesal, kenapa suaminya itu bisa selama ini hanya untuk menjemputnya ke bandara yang bahkan bisa sampai dalam setengah jam naik motor. Ponselnya kembali berdering, Nuri mengambilnya dan melihat siapa yang menelpon. Ternyata itu Danu, mantan majikannya di Singapura. Menggeser tombol hijau, lalu menempelkan ponsel pada telinga. Baru saja Nuri menempelkan ponsel itu pada telinganya, dia sudah harus menjauhkannya kembali saat mendengar suara cempreng bocah laki-laki yang menjadi anak asuhnya selama kerja di Singapura. "Kak Nuri, kapan mau balik lagi ke sini? Lio kangen tahu." Suara merajuk anak asuhnya itu mau tidak mau menghadirkan senyum kecil pada bibirnya. Di Singapura memang majikannya bisa berbahasa Indonesia, karena mereka memang asli orang Indonesia yang kebetulan punya bisnis di sana. "Baru saja Kakak pulang, eh sudah kangen saja. Gak usah kangen dulu, Kakak sudah pulang ke Indonesia. Repot nanti kamu ngurus kangen sama Kakak." Jawab Nuri apa adanya. Setelah kepulangannya sekarang, Nuri memang tidak punya niat untuk kembali ke sana. Rencananya dia akan mendirikan usaha kecil-kecilan untuk meneruskan hidupnya, jadi tidak perlu lagi mengandalkan uang dari pekerjaan menjadi TKW seperti sebelumnya. "Loh, Papa bilang Kakak hanya jalan-jalan sebentar. Kok bisa tiba-tiba di Indonesia?" Suara Lio terdengar merajuk dan setengah menangis, Nuri yakin majikannya itu tidak memberitahu pada Lio apa yang sebenarnya. Dia juga bukannya tidak ingin menyembunyikan kepulangannya, tapi saat itu Lio tengah sekolah jadi tidak sempat berpamitan dulu. Sekarang dia jadi pusing sendiri, harus bagaimana s Lio kalau dirinya pulang bukan hanya jalan-jalan, tapi selamanya tidak akan pernah balik lagi ke sana. "Em, Lio bisa berikan ponselnya pada papa kamu dulu?" "Oke," suara Lio terdengar terpaksa. Beberapa saat menunggu, akhirnya ada suara dari sebrang sana. Suara yang mengalun dingin, membuat lehernya meremang seketika. Danu ini orang yang dingin terkesan tak tersentuh, bahkan selama Nuri bekerja di rumahnya tidak pernah sekalipun melihat dia tersenyum. "Ada apa?" Nuri terbatuk sekali, menyamarkan nada gugup pada suaranya. "Maaf Mas Danu, kenapa Mas Danu tidak menjelaskan pada Lio kalau saya tidak akan balik kerja lagi di rumah Mas?" "Itu bukan urusanku," Danu menjawab acuh. Nuri bahkan sempat menjauhkan sebentar ponsel di telinga, mencebik kesal pada ponsel seolah itu adalah wajah Danu. Buru-biru Nuri menempelkan lagi ponsel ke telinga, "tapi kalau Mas Danu menjelaskannya, Lio tidak akan salah paham dan merengek padaku seperti ini. Setidaknya bicarakan pada dia dengan baik-baik, aku yakin Lio pun pasti mengerti." "Ya," Danu menjawab patuh. Untuk sesaat Nuri bernapas lega, tapi sedetik kemudian matanya melotot tatkala mendengar perkataan Danu pada anaknya. "Indah bilang dia tidak akan balik ke rumah kita lagi, jadi kamu jangan merengek seperti barusan." Indah adalah panggilan Danu untuk Nuri. Entahlah walau Nuri sudah mengatakan namanya Nurinda dan tentu saja tidak menggunakan huruf H diakhir kalimatnya Danu tetap memanggil begitu. Semua orang yang mengenalnya memanggil Nuri, hanya Danu yang berbeda dengan memanggil Indah. Kadang Nuri suka berpikir kalau sebenarnya majikannya itu ada hati sama dia. "Kak Nuri pembohong, dia bilang tidak akan ninggalin Lio." Suara Lio semakin mengecil diiringi hentakan kaki yang semakin menjauh. "MAS DANU," Nuri berteriak kesal. Buru-buru dia menampar mulutnya begitu tahu sudah membentak mantan majikannya itu, apa lagi saat ini dirinya ada di tengah keramaian. Lihatlah, kini orang-orang menoleh ke arahnya dengan pandangan heran. "Kenapa kamu berteriak?" Suara Danu terdengar tak bersahabat. Nuri meringis sambil meremas kesal ponsel yang masih tertempel di telinganya, buru-buru dia menjelaskan maksud teriakannya barusan. "Harusnya jangan bicara seperti itu, sekarang Lio pasti merajuk dan membenci aku karena tidak berpamitan dengan benar pada dia sebelum kepulangan ke Indonesia." "Balik lagi saja kerja di sini. Kalau kamu minta dinaikin gaji, saya pasti naikin." Enteng sekali dia berbicara, Nuri mengeluh dalam hati. Mau bagaimanapun dirinya ini adalah wanita bersuami, banyak kewajiban yang menuntutnya di sini. Terlalu lama hubungan Jarak jauh dengan Gani, tak bisa dipungkiri kalau perasaannya kerap kali resah. "Maaf Mas, tapi keputusan saya sudah bulat untuk tidak kembali bekerja di rumah Mas Danu. Saya punya suami, jadi ada kewajiban yang haris saya urus di sini. saya harap Mas Danu mau memberi pengertian pada Lio, katakan padanya tentang permintaan maaf saya." Lama sekali Nuri tidak mendengar jawaban dari Danu, sampai dirinya berpikir kalau Danu tidak akan menjawab perkataannya barusan. Namun, nyatanya perkiraan dia salah, Danu ada menjawab walau itu singkat. "Ya." Saat Nuri akan membalas dengan mengucapkan terima kasih, ponselnya sudah mati. Tidak terhubung ke Singapura, Danu memutuskannya sepihak. Nuri kembali menjauhkan ponselnya, lalu menyimpan kembali ke dalam tas. Setelah beberapa saat, laki-laki dengan postur yang familiar terlihat mendekat ke arahnya. Walau sudah dua tahun berlalu, tapi Nuri jelas masih mengenal kalau laki-laki itu adalah Gani-suaminya. Nuri melambaikan tangannya, tersenyum pada Gani. "MAS GANI, DI SINI." Gani yang tengah celingukan mencari Nuri langsung tersenyum begitu mendapati sang istri sedang melambaikan tangan padanya. Dengan sedikit berlari dia menghampiri Nuri, memeluknya sebentar untuk melepas rindu. "Kamu tidak mengabari Mas dulu sebelum pulang, jadinya ya begini. Maaf Mas lama jemput kamu, soalnya kamu juga tahu sendiri kalau Mas lagi di luar tadi." Begitu pelukan terlepas Gani langsung menjelaskan akan keterlambatannya sebelum Nuri mencecar dengan segala pertanyaan. Nuri mengangguk mengerti, "ya, maaf Mas, tadinya aku cuma mau kasih kejutan untuk kamu." "Kejutan sih kejutan, tapi kalau sampai mengejutkan jantung hingga bikin hampir jantungan itu tidak baik." Gani mengeluh kesal, bagaimanapun saat tadi dia mendengar Nuri sudah berada di Indonesia jantungnya hampir melompat dari tenggorokan saking kagetnya. Nuri merengut sebal, memukul pelan lengan Gani. "Kenapa kamu malah kelihatan tidak suka? Harusnya senang dong aku pulang. Kamu membuatku curiga, jangan-jangan kamu punya wanita lain ya makanya terlihat kaget gitu saat tahu-tahu aku ada di Indonesia?" Gani menghela napas tak berdaya, menunduk mengambil koper dan barang lainnya bawaan Nuri. Sedangkan Nuri sendiri hanya membawa tas lumayan besar di pundaknya, mulai berjalan mengikuti Gani yang sudah lebih dulu melangkah. "Mas bukannya tidak suka, Dek. Hanya saja sedikit shock. Kalau memberi kabar kepulangan kamu dari awal, kan bisa Mas tungguin kamu di bandara. Tidak seperti sekarang yang malah kamu menunggu cukup lama di sini. Itu juga, tuduhan kamu sangat tidak masuk akal. Bagaimana bisa kamu menuduh Mas menikah lagi? Kamu gak percaya sama Mas selama ini?" "Sudah Mas, jangan dibahas dulu. Lagi pula aku juga sudah ada di sini. Sekarang cepat kita pulang, aku sudah lelah dan ingin segera merebahkan tubuh di atas kasur." Nuri mendesah kasar. Badannya sungguh tidak nyaman, capek dan ingin segera beristirahat. "Kalau kamu tidak merasa selingkuh, tidak perlu se sewot ini juga kali." "Iya, Mas minta maaf. Sekarang ayo naik, kita pulang." Nuri menyipitkan mata begitu melihat taksi di depannya. "Mas, kok kita naik taksi? Memangnya motor yang waktu itu kamu beli dari uang hasil kiriman aku ke mana?" ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
98.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook