Bab 2. Kecurigaan Nuri

2097 Words
Nuri memasang postur curiga, menyipitkan mata sambil melipat tangan di depan d**a. Dia menunggu Gani memberikan alasan yang masuk akal, dapat di terima oleh dirinya. Belum juga dia sampai di rumah, beberapa keanehan sudah dapat dia cium dari suaminya ini. Gani terbatuk sekali, menatap Nuri dengan pandangan menenangkan. "Kamu jangan curigaan dulu. Motor itu ada kok, hanya saja sengaja Mas tidak bawa lantaran tahu bakal ribet. Coba kalau Mas bawa motor, pasti harus bulak balik karena barang bawaan kamu tidak akan keangkut semua." Nuri menghembuskan napas dengan kasar, menggeleng sebentar dan langsung naik ke dalam mobil. Setidaknya untuk saat ini Gani memberikan alasan yang masuk akal, adapun benar atau tidaknya dia akan melihatnya nanti saat sampai di rumah. Tidak lama setelah dia masuk ke jok mobil bagian penumpang, Gani menyusulnya. Nuri sedikit menggeser tempat duduknya agar Gani dapat masuk dengan leluasa ke dalam mobil, barulah setelah itu Gani menutup pintu mobil. Setelah Gani menyebutkan alamat yang akan di tuju pada supir taksi, mobil mulai melaju jalan. Satu jam kemudian mobil berhenti tepat di depan rumah bersusun. Nuri yang melihat itu sontak mengernyit heran sambil menatap Gani, tidak mengerti kenapa suaminya ini malah membawa dirinya ke rumah kontrakan. "Kok ke sini Mas?" Gani menoleh sekilas ke arah Nuri, membayar ongkos taksi terlebih dahulu. Setelah itu dia menoleh ke arah Nuri, "kita turun dulu, nanti Mas jelaskan di dalam." Dengan berusaha meredam semua pertanyaan yang tersangkut di ujung lidah, Nuri ikut turun dari dalam mobil. Dia membantu Gani mengeluarkan semua barang bawaannya dari bagasi mobil, lalu memindahkannya ke sisi jalan. "Ayo masuk dulu," Gani membawa semua barang dan menyisakan satu tas besar yang tadi saat di bandara di bawa Nuri. Setelah mengambil tas di tanah, Nuri mengikuti Gani masuk ke dalam rumah kontrakan dengan berbagai pertanyaan yang berkecamuk dalam hatinya. Dia menekan hati, tidak ingin meludahkan kalimat-kalimat yang ingin dia pertanyakan pada Gani dengan segera di luar rumah seperti ini. Apa lagi beberapa ibu-ibu tampak memperhatikan dirinya dan Gani, membuat Nuri agak risih sendiri. Saat rumah kontrakan terbuka, Nuri menyipitkan mata begitu melihat ternyata tidak ada apa-apa di dalam kontrakan. "Kok kosong? Kamu baru nyewa rumah kontrakan ini Mas Gani?" Gani mengangguk mengiyakan, "iya Dek, Mas memang baru menyewanya sekarang. Ayo masuk, jangan diam di ambang pintu begitu." Nuri melihat ke belakang tubuhnya, guna melihat sekumpulan ibu-ibu yang masih memperhatikannya. Dia merasa malu juga kalau berbicara ini itu di ambang pintu seperti sekarang, jadi memilih masuk dan langsung menutup pintunya. Nuri langsung mendekati Gani, "maksud semua ini apa Mas Gani? Bukankah kita sudah membangun rumah dari hasil transferan aku selama ini? Kalau rumah itu tidak ada, lalu kamu pakai apa uang itu?" Nuri langsung meludahkan pertanyaan yang sedari tadi gatal ingin dia tanyakan segera pada Gani, tapi terpaksa ia tahan karena beberapa hal. Sekarang setelah tidak ada lagi penghalang, Nuri dengan dorongan sedikit kesal dan curiga bertanya pada Gani. Gani menghela napas dengan pelan, mencoba sabar untuk menjelaskannya pada Nuri. "Sabar dong, Dek. Semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Rumah itu ada kok, hanya saja memang belum dibersihkan dan juga belum ditempati. Mas sengaja tidak menempatinya sekarang, karena menunggu kamu pulang dari Singapura dulu." "Lalu kenapa Mas Gani tidak membawa aku langsung pulang ke rumah itu? Malah ke kontrakan begini, jadi aku bisa beres-beres dan bersih-bersih bila langsung pulang ke rumah." Suara Nuri begitu jelas terdengar kesal. Otaknya mendidih, di matanya Gani malah seperti tengah mencari-cari alasan untuk dia mengulur waktu. Perasaan Nuri mengatakan ada yang disembunyikan oleh Gani, kalau tidak kenapa Gani terkesan tidak mau dirinya melihat rumah itu. Bukan hanya masalah rumah saja, tapi motor, toko, dan mengenai buka warung sembako yang direncanakan Gani membuat dia merasa aneh. "Untuk sementara ini belum bisa, Dek. Rumah itu masih butuh pembangunan di beberapa tempat, jadi kamu sabar dulu sekitar satu bulan untuk tinggal di kontrakan ini. Secepatnya Mas akan segera menyelesaikan pembangunannya, jadi kita bisa segera pindah ke rumah baru sama-sama." "SATU BULAN?" Suara Nuri berteriak nyaring. Dia mengepalkan tangan, marah akan jawaban Gani yang sama sekali tidak masuk akal. "Kenapa bisa selama itu? Kamu tidak sedang menyembunyikan apa-apa bukan?" Gani menghela napas dengan lelah, mendekati Nuri dan berniat menjangkau tubuhnya. Namun, Nuri justru menghindar, tidak mau tubuhnya sedikitpun di sentuh oleh dirinya. Gani hanya dapat menyentuh angin, karena Nuri sudah mundur lebih dulu. "Menyembunyikan apa? Oke, kalau menurutmu satu bulan terlalu lama, bagaimana kalau tiga minggu?" "Satu minggu." "Dua minggu ya, Dek?" "Satu minggu atau sekarang juga aku mau lihat keadaan rumah itu?" Nuri menatap Gani tajam, sama sekali tidak ada penawaran di matanya. Serius dan terkesan tidak ingin di bantah. Dia sudah cukup memberi peluang pada Gani untuk membuktikan kalau rumah itu benar-benar ada, tapi tentunya dia sendiri sudah punya rencana untuk membuktikan semua perkataan Gani ini benar atau bohong. "Oke, satu minggu. Mas akan berusaha mempercepat pembangunan di beberapa bagian rumah itu." Pada akhirnya Gani hanya bisa mengalah, istrinya memang tidak bisa lagi ia bujuk. Nuri menenangkan laju napasnya yang sempat memburu, lalu memindai setiap sudut rumah kontrakan yang masih kosong melompong ini. Sekali lagi dia berusaha untuk sabar, tidak menyembur suaminya dengan kemarahan yang bahkan umpatannya sudah berada di ujung lidah. Dia capek, badannya lelah, ingin segera istirahat di kasur yang empuk. Namun, keinginannya itu pupus sudah, mungkin hanya bisa berbaring di atas lantai saja. "Mas ambil tikar dulu, siapa tahu kamu mau baringan." Dengan cepat Gani pergi ke pojok rumah yang terdapat gulungan tikar di sana, lalu menggelarnya di depan Nuri. "Ayo duduk." Dengan ogah-ogahan Nuri mendudukkan dirinya di atas tikar yang Gani gelar barusan. Memindai sekali lagi kontrakan kosong yang saat ini dia tempati, "lalu bagaimana kita mau masak dan lainnya? Di sini kosong, masa harus beli semua peralatan itu?" Sebelum Nuri memutuskan untuk menjadi TKW ke luar negri, memang hidupnya dan Gani sangat pas-pasan. Bahkan tidak sedikit hutang yang dimiliki mereka berdua demi menyambung hidup. Gani adalah pekerja serabutan, sedangkan Nuri hanya bisa membantu sebisanya. Beruntung mereka belum memiliki anak, jadi pengeluaran tidak begitu banyak. Semakin hari hutang mereka semakin banyak, apa lagi setiap bulannya harus membayar biaya sewa kontrakan. Semua barang sudah habis dijual, pekerjaan lebih mapan juga tak kunjung di dapat. Pada akhirnya pilihan terakhir Nuri adalah meminta ijin pada Gani untuk bekerja ke luar negri demi bisa merubah nasib dan membayar hutang-hutang yang sudah menumpuk. "Kenapa kita tidak tinggal bersama ibu untuk sementara waktu? Bukankah ibu sudah dapat menerima aku sekarang?" Dulu awal pernikahan, Luly-ibu Gani memang menolak kehadiran Nuri. Itu sebabnya dia dan Gani memilih ngontrak ketimbang tinggal serumah dengan Luly. Selain membenci Nuri, nyatanya Luly juga sering memfitnah dengan mengatakan pada orang-orang tujuan Nuri menikah dengan Gani hanya untuk memporoti anaknya saja. Makanya tidak pernah terbesit keinginan untuk tinggal serumah dengan Luly, bahkan di saat keadaan rumah tangganya di kelilingi hutang sekalipun. Padahal Nuri tidak pernah punya niat sedikitpun untuk memproti Gani, malah yang ada dia juga ikut membantu perekonomian. Karena tanpa dirinya ikut bekerja, maka kemungkinan besar dirinya dan Gani pasti terusir sudah lama dari kontrakan. Setelah Nuri kerja di Singapura dan mulai mentransfer uang pada Gani, Luly yang awalnya teramat membenci Nuri mulai berbicara lunak padanya. Sebenarnya Nuri agak kesal karena sikap mertuanya itu seolah menegaskan di mana Nuri punya uang, maka dia diterima menjadi menantunya. Namun, di mana Nuri miskin, maka jangan harap bisa diakui menjadi menantu. Nuri ingin diterima apa adanya, terlepas dia punya uang atau tidak. Gani menatap Nuri salah tingkah, terbukti dari tatapannya yang selalu menghindar ketika tidak sengaja bertatap dengan mata Nuri. "Itu, rumah ibu kan sempit, jadi Mas gak enak kalau kita harus numpang di sana. Apa lagi ada mbak Alya, Tina, dan suaminya, kalau ditambah kita makin sempit nanti rumah ibu." Memang benar, kakak Gani yang bernama Alia itu tinggal serumah dengan Luly. Entah apa alasannya, padahal Banyu-suaminya Alya tidak bekerja, tapi ibu masih bersikap baik dan mau menampung tinggal di rumahnya. "Apa sama sekali tidak bisa walau hanya seminggu? Lagi pula, rumah yang kamu bangun untuk rumah kita juga berdekatan dengan rumah ibu 'kan? jadi sesekali aku bisa mampir lihat rumah kita yang katamu harus ada perbaikan di beberapa tempat itu." Gani memasang wajah bersalah, "maaf Dek, gak bisa." Nuri menghembuskan napas dengan keras, membuang wajah ke arah lain karena enggan melihat wajah Gani. Dia kecewa, perasaannya tetap kekeuh mengatakan ada yang disembunyikan oleh Gani dari dirinya. Awas saja kalau itu semua terbukti, akan dia buat Gani dan orang-orang yang bersekongkol dengannya menyesal. "Dek," Gani memanggil pelan. "Jangan marah ya. Sekarang dari pada memikirkan rumah, kenapa tidak kita pikirkan saja masalah warung yang akan Mas buka. Uangnya ada kan?" Gani menatap Nuri penuh harap. Bicaranya barusan sangat hati-hati, perlahan dan terselip nada merayu. Nuri langsung menatap Gani dengan sunggingan sinis di bibirnya, "mana bisa aku percaya gitu aja sama kamu, Mas? Sedangkan semua sikap kamu dai awal aku telpon sampai saat ini sangat mencurigakan. Kalau memang ucapan kamu semua itu terbukti tidak bohong, maka akan kupikirkan tentang warung itu. Namun, bila terbukti kamu berbohong, jangan harap bisa mencicipi uangku lagi. Ingat, semua uang yang sudah di transfer juga akan aku tuntut balik." "Kok kamu bicaranya gitu sih Dek?" Gani menatap Nuri protes, "apa pantas seorang istri berkata seperti itu pada suaminya? Ingat, ridho Allah ada pada ridho suami. Kamu adalah wanita bersuami, jadi perhatikan ucapan kamu ini." Tidak ingin memperpanjang masalah, Nuri hanya mendiamkan Gani. Tidak menanggapi ucapannya barusan, memilih tiduran di atas tikar yang saat ini dia tempati. Apa lagi saat ini tubuhnya benar-benar lelah, Nuri membutuhkan istirahat untuk mengenyahkan rasa lelah dari perjalanan jauhnya tadi. Nuri menggeser tas besar di sampingnya untuk ia pakai alas kepala, memejamkan mata dan tidak menghiraukan lagi Gani yang uring-uringan di depannya. Masa bodoh, Nuri terlanjur kesal pada laki-laku berstatus suaminya ini. Semua hal seolah disembunyikan dia, apa jangan-jangan selama ini juga dia sudah mengkhianatinya? Nuri menggelengkan kepala, lelah membuatnya berpikir yang tidak-tidak. Tidak terasa Nuri tertidur cukup lama, saat dia bangun dan melihat ke luar ternyata hari sudah mulai gelap. Setelah membersihkan diri, bergegas Nuri ke luar rumah untuk membeli makanan. Di rumahnya jangankan untuk masak, kompor saja tidak ada. Saat ke luar keadaan kontrakan sudah sepi, mungkin para penghuni yang semula berkumpul di luar sudah masuk ke kontrakan atau ke rumah masing-masing. Hanya saja dia jadi bingung, ke mana perginya Gani? Saat bangun tadi dia tidak menemukannya di mana-mana. Berjalan beberapa meter ke depan, Nuri menemukan tukang bakso. Melihat kiri dan kanannya berniat mencari warung nasi, tapi tidak kunjung dia temukan juga. Pada akhirnya Nuri pasrah kali ini untuk mengganjal perutnya dengan bakso, dari pada tidak makan sama sekali. "Bang, bakso urat satu porsi ya." Nuri menyebutkan pesanannya. "Siap Neng," si abang penjual bakso menyahut semangat. "Silahkan duduk dulu, Abang bikinin baksonya dulu." "Ya, Bang." Nuri mencari tempat kosong untuk duduk menunggu si abang membuatkan pesanannya. Setelah menemukan tempat yang kebetulan kosong, ia duduk di sana sambil memainkan ponselnya. Melihat ponsel di tangannya mau tidak mau ia menjadi senyum-senyum sendiri. Ponsel ini dibelikan Danu majikannya di Singapura, dengan alasan sulit menghubunginya kalau dia tidak punya ponsel. "Kamu tidak punya ponsel?" dengan wajah datarnya Danu menatap Nuri yang baru beberapa hari kerja di rumahnya. Nuri yang memang segan dengan majikannya itu hanya mengangguk tanpa bisa menjawab, seolah suaranya tercekat di tenggorokan begitu melihat wajah datar dan suara mengalun dingin dari majikan barunya. Danu adalah seorang duda beranak satu, dia tinggal berdua bersama anaknya yang bernama Emilio di rumah ini. Nuri kira majikannya itu hanya sekedar bertanya saja, tapi tak disangka begitu Danu pulang kerja di tangannya tertenteng satu plastik dengan logo handphon. Nuri hanya terbengong-bengong saat plastik berisi ponsel itu Danu lemparkan ke pangkuannya yang sedang duduk bermain dengan lio, menatap Danu dan ponsel di atas pangkuannya bergantian dengan pandangan bingung. Bukannya menjelaskan apa maksud dari tindakannya, Danu malah melengoskan wajah membuat Lio yang menyaksikan kedinginan Danu dan kebingungan Nuri tertawa geli. "Maksud papa kamu apa?" Nuri menoleh ke arah Lio yang masih tertawa. Setelah meredakan tawanya, Lio menatap Nuri dengan sisa tawa yang masih tergambar jelas pada sari wajahnya. "Maksud papa ponsel itu buat Mbak Nuri, gitu." "Saya sulit menghubungimu, jadi pakai ponsel itu!" Danu berbicara sambil berjalan melewati keduanya. Sama sekali tidak menoleh, bahkan hanya sekedar melirik pun tidak. "Terima kasih," Nuri berucap sambil tersenyum tipis. Mengingatnya membuat Nuri tidak dapat untuk tidak tertawa lirih, Danu memang baik walau banyak menyebalkannya. Dingin dan tak tersentuh adalah dua kata yang mampu menggambarkan pribadi seorang Fardanu Aji Waluyo, tapi Nuri tahu kalau majikannya itu adalah orang baik. "Nuri? Ini kamu kan?" Nuri menoleh ke arah seorang wanita dengan dress selutut, rambut indahnya dibiarkan tergerai membingkai wajah cantiknya. Dia adalah Vanny, satu-satunya teman yang mau menerima dia apa adanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD