BAB 8

2111 Words
“Apakah anda ingin menikmati teh di taman bunga? Hari ini cuacanya cukup hangat dan tidak turun salju sejak kemarin sore,” tutur Hera di sela kesibukannya menata rambut Ellie. Perhatian Ellie teralihkan. Ia menatap bayangannya pada cermin meja rias. Memikirkan saran Hera. “Kau benar juga, Hera. Sudah lama tidak turun salju.” “Iya. Para tukang kebun bekerja keras membersihkan tumpukan salju di area taman bunga demi kenyamanan anda,” jeda. “Dengan tidak turunnya salju sejak kemarin sore membuat pekerjaan mereka lebih mudah.” Ellie tersenyum kecil. “Benar.” Hera mengembuskan napas setelah selesai menata rambut Ellie. Untuk hari ini rambut pirang madu tersebut dikepang besar menyampir menjuntai ke depan pundak kanan Ellie. Dengan sentuhan pita biru muda pada ujung kepangan dan beberapa jepitan bunga kecil pada kepangannya membuat Ellie tampak sangat manis. Hera benar-benar bangga dengan keahliannya yang tidak pudar setelah sekian lama tidak melayani perempuan bangsawan. “Wah,” kata Ellie kagum melihat tatanan rambutnya pada cermin. “Manis sekali, Hera. Terima kasih.” “Sudah menjadi tugas saya,” balas Hera seraya merapikan peralatan rias ke dalam laci meja rias. “Jadi, bagaimana saran saya tadi, Nona?” Ellie sedikit mengerucutkan bibirnya seraya menoleh ke jendela kamar. Salju tidak turun lagi. Sinar matahari juga menerpa hangat. Sepertinya tidak masalah bagi Ellie untuk menikmati teh di taman bunga. Secangkir teh tidak akan membuat perutnya sakit. “Baiklah. Kali ini aku ingin teh s**u hangat.” kata Ellie setuju, kemudian bangkit berdiri bersiap pergi ke taman bunga. Hera tersenyum. “Baik, Nona.” Ellie keluar dari kamarnya bersama Hera. Ia berjalan dengan tenang setelah Hera pergi untuk menyiapkan teh dan mengatakan Ellie berjalan lebih dulu ke taman. Ellie menyadari, ini pertama kalinya ia berjalan sendirian menyusuri Istana. Biasanya, Hera selalu menemaninya ke mana pun sewajarnya pelayan pribadi. Namun kali ini karena ketiadaan Charles, Hera cukup kewalahan. Ellie tidak masalah. Selama ini ia sudah terbiasa menyusuri rumah besar sendirian. Rumah dan Istana memang berbeda, namun menyimpan kesamaan yang sama dalam mampu membuat orang merasa kesepian dan sendirian. Ellie berhenti sejenak di ujung lorong, berdiri di dekat jendela dengan pandangan menerawang jauh ke luar. Sekarang mulai terpikirkan dalam benaknya, bagaimana nasib rumahnya? Dengan kepergianku sebagai penghuni terakhir, sekarang rumah itu benar-benar terbengkalai. Suatu hari nanti ayah pasti akan meliriknya dan menjualnya sebagai ganti tidak dapat menjualku, batin Ellie mulai murung. Ketika kekayaanmu mulai terancam, kau baru mengingatku dan malah berniat menjualku. Benar-benar menghabiskan waktuku berharap kau pulang dan memberikan kasih sayang selayaknya orang tua. Aku benar-benar bodoh. “Nona?” Ellie terlonjak kaget, spontan menoleh. Matanya menangkap figur ksatria muda berdiri tak jauh darinya. Pemuda itu jangkung, namun tak sejangkung Raymond maupun Eugene. Gagah dan tegap selayaknya ksatria dengan rambut hitam dan mata cokelat. Kening Ellie berkerut bingung, baru pertama kali melihat wajah pemuda itu. “Anda siapa?” tanya Ellie setelah lama terpaku dalam keterkejutan. Ksatria tersebut menunduk memberikan hormat, lalu menjawab. “Saya Caesar Vandeberg. Ksatria tingkat satu dalam pasukan Istana Alterius. Anda bisa memanggil saya Caesar.” Ellie mengerjap, cukup terkejut mengetahui pemuda bernama Caesar itu termasuk ksatria tingkat satu. Sepengetahuan Ellie, ksatria tingkat satu dalam pasukan Alterius merupakan ksatria paling handal dan berbakat yang menjadi pengawal utama Grand Duke. Melihat Caesar berada di istana seperti ini membuat Ellie bingung. “Em…, anda tidak ikut Grand Duke dalam ekspedisi?” tanya Ellie, sedikit menjauh dari jendela lorong. “Untuk hal itu, saya baru saja kembali setelah mengikuti Yang Mulia bertugas di perkotaan. Mulai hari ini saya bertugas menjadi pengawal anda karena Yang Mulia tidak akan pulang untuk beberapa hari.” Mata Ellie membulat. “Ada apa? Apa terjadi sesuatu dengan Grand Duke?!” “Tidak ada masalah pada Yang Mulia. Beliau harus mengurus beberapa tugas mendadak di perkotaan. Anda tidak perlu khawatir,” tutur Caesar membuat Ellie spontan mengembuskan napas lega. “Syukurlah,” gumam Ellie lega. Caesar mengerjap. “Kalau boleh tahu, mengapa anda berada di sini? Anda ingin pergi ke mana?” “Ah, iya,” ceplos Ellie tersadar. “Saya ingin ke taman bunga untuk minum teh. Ah, Hera pasti sudah menunggu di sana.” “Kalau begitu, saya akan mengantarkan anda,” Caesar mengubah badannya jadi menyamping, mempersilahkan Ellie berjalan lebih dahulu. Dengan begitu, Ellie kembali berjalan menuju taman bunga yang terletak di area Sun Palace. Area itu merupakan area paling umum dalam Istana untuk menerima tamu sekaligus tempat Eugene bekerja. Sun Palace terpisah dari area Rose Palace yang menjadi tempat tinggal Ellie sejak awal kedatangannya. Rose Palace dikenal sebagai tempat tinggal Grand Duchess karena berdekatan dengan area Grand Palace yang menjadi tempat tinggal Grand Duke. Ketika Hera memberitahukan fakta tersebut, Ellie benar-benar terkejut dengan muka memerah. Omong-omong suasananya benar-benar canggung. Caesar tidak bersuara sama sekali. Ksatria muda itu tergolong tampan dan muda bila dilihat dari perawakan tubuh dan wajahnya. Ellie mengira Caesar adalah tipe yang riang dan ramah. Sepertinya justru kebalikannya. Caesar sangat pendiam dan berbicara seperlunya. Bagaimana pun juga, Ellie tidak bisa tahan dalam situasi canggung. Maka, Ellie melempar pertanyaan. “Sir Caesar—“ “Caesar.” Ellie sedikit menoleh. “Ya?” “Tidak perlu menambahkan Sir. Panggil saja Caesar dan anda tidak perlu berbicara formal pada saya, Nona.” Astaga, kenapa rasanya dia mengeluarkan aura menyeramkan? batin Ellie ngeri. “Baiklah, Caesar. Jadi, kenapa Grand Duke tiba-tiba menugaskanmu menjadi pengawalku?” “Yang Mulia tidak akan pulang untuk beberapa hari ke depan. Ksatria tingkat satu sangat sedikit di Istana dan mereka semua mengikuti beliau bertugas. Jadi, beliau khawatir dengan keamanan Nona yang sendirian di sini bersama pelayan dan ksatria biasa.” “Tapi, tetap saja rasanya tidak pantas bagiku untuk sampai mendapat pengawal pribadi,” ungkap Ellie pelan. “Siapa yang berniat mengincar perempuan biasa sepertiku, bukan?” Ya, sebenarnya Caesar pun bingung dengan Eugene. Sejauh yang Caesar tahu, Ellie adalah perempuan yang diselamatkan Eugene di kaki pegunungan Alphens ketika sedang mencari buronan Viscount Martin yang kabur dari penjara. Semua orang juga mengatakan Ellie bukanlah perempuan bangsawan. Benar-benar perempuan desa biasa yang nyawanya beruntung karena sang Grand Duke. Walaupun begitu, Caesar tak bisa menolak perintah Eugene. Jadi, ia menerima tugas tanpa banyak bertanya. Kini melihat sosok Ellie secara langsung membuat kebingungan Caesar makin membesar. Mau dilihat dari mana pun, Ellie benar-benar mungil sesuai buah bibir para pelayan dan ksatria. Sejak kedatangan gadis itu, beredar rumor bahwa gadis itulah yang akan menjadi calon Grand Duchess Alterius. Perawakannya sangat mungil dan pendek dibandingkan Eugene yang sangat tinggi dan gagah. Semua orang menyambutnya gembira meski baru sekadar rumor. Caesar sampai cukup muak karena mereka tidak pernah berhenti membicarakannya. “Ah, Hera! Maaf membuatmu menunggu!” seru Ellie saat sudah sampai di koridor Sun Palace yang berseberangan dengan halaman belakang dan taman bunga. Seruan Ellie membuat Caesar tersadar dari pikirannya. Ia jadi sedikit bersalah karena agak lalai mengawal Ellie. Ellie menoleh, menatap Caesar. “Terima kasih sudah mengantarkanku, Caesar. Apakah kau ingin secangkir teh?” Caesar mengerjap bingung dengan wajah datarnya. “Teh?” “Iya,” Ellie tersenyum, “ah, hari ini teh s**u. Apakah kau suka manis-manis? Kalau tidak, aku akan meminta Hera untuk membuat teh biasa.” Di mata Caesar, Ellie sungguh perempuan biasa yang tak ada mirip-miripnya dengan perempuan bangsawan yang kebanyakan angkuh. Ini pertama kalinya ia melayani seorang perempuan dan mendapat perhatian seperti itu. Cukup membuatnya terkejut. “Tidak perlu, Nona. Silahkan anda menikmati waktu anda.” kata Caesar menolak. “Baiklah. Bila ada yang kau perlukan, tolong jangan sungkan memberitahuku, Caesar.” balas Ellie ramah sebelum kemudian berlari kecil menuju gazebo beton menghampiri Hera. *** “Charles,” panggil Eugene sengit. “Ada apa, Yang Mulia?” sahut Charles tenang tanpa melepaskan fokus dari para pekerja kapal di pelabuhan sedang memindah kotak kayu berisi pasokan makanan dan barang dagangan. Tangannya sibuk mencatat dan mengabsen barang ekspor tersebut dengan teliti. Melihat hal ini lama-lama membuat Eugene muak. “Mau sampai kapan aku harus di sini?” Charles menggumam sejenak memerhatikan buku catatannya sebelum menyahut Eugene. “Sebentar lagi juga selesai, Yang Mulia.” Eugene langsung berdecak. “Kemarin dan lusa kemarin kau juga bilang begitu!” “Yang Mulia,” desah Charles akhirnya menoleh menatap tatapan sengit Eugene yang sudah tidak tahan berada di pelabuhan setelah tiga hari menetap. “Ini sudah tugas dan kewajiban anda.” “Aku hanya diam mengamati seperti biasanya. Satu-satunya yang bekerja di sini adalah kau, Pak Tua,” decak Eugene membuat Charles menatap sengit karena dipanggil tua. “Bagaimana kalau anda mendinginkan kepala anda dengan berjalan menyusuri perkotaan, wahai tuan muda terhormat?” tanya Charles ramah namun sarat akan kemarahan yang menggebu. Eugene melengos. “Mengapa aku harus menurutimu.” “Kepala anda bisa dingin dan berpikir lebih jernih. Tentu saja anda bisa menemukan hadiah untuk Nona Elliana.” Alis Eugene meninggi mendengar penuturan Charles. Ia sudah tiga hari menetap di perkotaan untuk tugas ekspedisinya di pelabuhan. Yang ia lakukan selama tiga hari hanya diam mengamati para pekerja dan sesekali menemui beberapa bangsawan yang datang ke Alterius menaiki kapal. Hari ini Eugene mencapai batas kesabarannya. Daripada diam di pelabuhan, usulan Charles ada benarnya. Lebih baik Eugene pergi menyusuri perkotaan untuk mendinginkan kepala. Ketika Eugene bangkit dan beranjak, Charles bersuara, “Hati-hati di jalan, Yang Mulia.” Eugene melengos. Lama-lama kesal juga memiliki kepala pelayan seperti Charles. Pria tua itu pasti sekarang berpikir Eugene berjalan menyusuri perkotaan untuk mencari hadiah Ellie. Tapi gagasan itu tidak salah juga. Sudah lama ia meninggalkan Ellie di istana. Gadis itu terkejut ketika Caesar datang dan memberitahukan keterlambatan kepulangannya, lalu merasa kesepian. Membawakannya beberapa hadiah pasti akan membuatnya senang. Begitu pikir Eugene. Maka, Eugene memasuki toko perhiasan. “Selamat datang di La’Mour, Yang Mulia Grand Duke. Saya merasa terhormat atas kedatangan anda ke toko saya. Silahkan melihat-lihat koleksi perhiasan terbaru di sini, beritahu saya bila anda butuh bantuan.” ucap pemilik toko perhiasan La’Mour, Sir Allandis. Ini bukan pertama kalinya Eugene datang ke tokonya sehingga beliau sudah cukup mengenalnya. Eugene menyusuri etalase kaca, menatap berbagai macam perhiasan diletakkan dengan rapi di dalamnya. Ini memang bukan pertama kalinya Eugene mendatangi La’Mour, tapi ia mulai bingung memikirkan perhiasan yang cocok untuk Ellie. Eugene belum pernah membeli perhiasan untuk perempuan, mana bisa ia memikirkan perhiasan yang cocok untuk Ellie. “Apa hanya ini saja yang tersedia?” tanya Eugene pada Sir Allandis yang setia menunggu di sampingnya. “Masih ada yang lainnya juga. Hari ini banyak perhiasan berkualitas tinggi yang baru saja datang dari Kerajaan Mountaque. Apakah anda ingin melihatnya?” Anggukan Eugene membuat Sir Allandis undur diri sejenak untuk mengambil pasokan perhiasan terbaru. Eugene yang sendirian pun kembali menyusuri perhiasan-perhiasan yang terpajang. Berusaha lebih keras lagi memikirkan perhiasan yang cocok untuk Ellie. “Yang Mulia, bagaimana kalau kalung ini?” usul Raymond menunjuk salah satu kalung yang terpajang paling kanan dalam kotak kaca. Eugene pun menoleh, menatap kalung berliontinkan tiga berlian biru tua kecil yang tampak sederhana namun elegan. Berlian biru tua itu langsung mengingatkan Eugene pada mata biru Ellie. “Menurutmu dia akan suka?” tanya Eugene skeptis. “Tentu saja. Saya sangat yakin.” jawab Raymond. Eugene kembali menatap kalung tersebut. Dari tampilannya yang sederhana namun elegan dan cantik itu benar-benar mengingatkan Eugene pada sosok Ellie. Hingga ia pun ragu apakah Ellie yang sederhana itu akan menyukai perhiasan-perhiasan semacam ini. Selain itu, apa yang akan Ellie pikirkan saat Eugene menyodorkan hadiah ini? Eugene bingung. “Permisi, Yang Mulia, ini perhiasan terbaru yang saya bicarakan.” ucap Sir Allandis setelah para pegawai toko meletakkan kotak-kotak perhiasan di atas etalase kaca dengan rapi. Seperti yang Eugene duga, perhiasan-perhiasan La’Mour tak pernah mengecewakan. Ia ingin membeli semua perhiasan terbaru tersebut bila saja Ellie tipe yang menyukai perhiasan. Sayangnya, gadis mungil itu bahkan merasa kaget di hari pertamanya memakai gaun sutra selayaknya perempuan bangsawan. Ya, Eugene menyadarinya. “Bungkus kalung berlian biru tua yang berada di paling kanan etalase kaca ini,” kata Eugene seraya menunjuk arah perhiasan yang ia maksud, “lalu pilihkan empat perhiasan yang sederhana tapi cantik dari koleksi terbarumu, kecuali cincin.” Sir Allandis menunduk hormat. “Baik, Yang Mulia. Kami akan langsung mengirimkannya ke Istana.” *** Eugene keluar dari toko La’Mour setelah menyelesaikan transaksi. Raymond yang setia mengikutinya pun menoleh melihat tuannya tidak beranjak dari depan toko. “Kenapa anda diam di sini?” tanya Raymond begitu saja. “Aku mempertimbangkan untuk pergi menemui Marquis atau tidak.” jawab Eugene seadanya. Raymond spontan melotot. “Menemui Yang Mulia Raja? Mengapa mendadak?” “Mendadak? Aku merasa orang itu sudah meraung memanggil namaku sejak kemarin.” “Meraung?” Eugene melengos. “Bersiap ke ibu kota.” TO BE CONTINUED P.S JANGAN LUPA KLIK IKON LOVE UNTUK MENDAPATKAN UPDATE CHAPTER TERBARU LEBIH AWAL
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD