Ellie menatap bayangan dirinya yang terpantul pada cermin tegak di hadapannya. Penampilannya lebih baik dari pada sebelumnya. Wajah Ellie yang bersih nan cerah kembali terpasang. Wajah cerah yang sudah lama tidak Ellie lihat sejak pada pelayannya pergi dari rumah. Lalu, gaun sutra berkualitas yang menyelimuti tubuhnya membuat Ellie sangat cantik.
Semua ini terasa asing. Sekian lama Ellie tidak mengenakan riasan, gaun sutra berkualitas, dan pelayanan yang maksimal dari seorang pelayan, membuat Ellie sangat asing. Dalam satu malam, kehidupannya kembali ke kehidupan putri bangsawan yang selayaknya.
Oh, lihatlah wajah cerah bersinar di cermin itu, apakah itu benar-benar wajah Ellie? Ellie pun merasa asing dengan wajahnya sendiri.
“Baik, sudah selesai, Nyonya.” kata Hera mengakhiri tatanan rambut pirang madu Ellie. “Setelah ini Nyonya turun ke ruang makan untuk sarapan. Mari saya antarkan.”
Ellie memutar badan untuk menghadap Hera. “Emm…, kau bisa memanggilku Ellie. Jangan panggil aku dengan sebutan Nyonya.”
“Mohon maaf, Nyonya, tidak pantas bagi saya untuk memanggil nama anda secara langsung,” tolak Hera sambil sedikit menundukkan kepala.
“Tapi, saya juga tidak pantas untuk dipanggil Nyonya di istana ini,” kata Ellie pelan, nyaris bergumam, “kalau begitu, panggil saja dengan sebutan Nona. Bagaimana pun juga, aku belum menikah.”
Hera mengangguk patuh. “Baiklah, Nona. Kalau begitu, mari saya antarkan ke ruang makan.”
Ellie berjalan di belakang Hera, menurut tanpa banyak bertanya. Rasanya begitu segan bersikap di depan Hera padahal perempuan itu hanya seorang pelayan muda. Mungkin ini berefek dari sekian lamanya Ellie tidak dilayani oleh pelayan sehingga dirinya menjadi begitu kaku di depan pelayan. Tapi Ellie tidak bisa diam begitu saja. Setidaknya, ia harus tahu bagaimana bisa sang Grand Duke membawanya ke istana Alterius.
“Emm…, Hera?” panggil Ellie dari belakang, spontan membuat Hera berhenti berjalan untuk memutar badan ke belakang, menatap Ellie. Melihat itu, Ellie melambaikan tangan pelan. “Ah, aku hanya memanggilmu saja untuk menanyakan sesuatu. Kita lakukan sambil berjalan saja.”
Hera mengangguk patuh. “Baik, Nona. Silahkan ajukan pertanyaan anda, saya akan berusaha menjawabnya.”
Setelah mereka kembali berjalan, Ellie pun mengajukan pertanyaan pertamanya, “Bagaimana bisa aku datang ke istana Alterius? Apakah… mungkin… Yang Mulia Grand Duke yang membawaku?”
“Benar, Nona. Yang Mulia Grand Duke yang membawa anda ke istana Alterius semalam bersamaan dengan kepulangan beliau dari mengejar salah satu buronan. Sepengetahuan saya, anda ditemukan di tengah hutan dekat kaki pegunungan Alphens.”
Ellie sedikit tersentak. Jadi, semalam nasibnya beruntung. Perempuan mungil itu meneguk ludah, merinding memikirkan bagaimana jadinya bila tidak diselamatkan oleh Grand Duke.
“Kita sudah sampai, Nona.” ucap Hera ketika sampai di pintu ruang makan.
Tiba-tiba jantung Ellie bergemuruh kembali. “Apakah Grand Duke ada di dalam juga?” tanyanya memastikan, kembali gugup.
Hera memutar badan menyamping, tangannya sudah siap menarik pintu. “Saya kurang tahu, Nona. Biasanya, Yang Mulia tidak pernah sarapan di ruang makan. Entahlah untuk hari ini.”
Ellie mengigit bibir bawahnya. “Ah, begitu….”
Setelah Hera membuka pintu, Ellie terdiam takjub memandang ruang makan yang begitu luas. Ada meja makan panjang terletak di tengah ruangan, meja teh di sebelah jendela, dan sudut sofa dengan perapian kecil untuk menghangatkan diri. Ellie yakin luasnya ruang makan melebihi luas kamarnya di rumah.
Ellie benar-benar kagum hingga tak berani melangkah masuk. Takut-takut tingkah cerobohnya muncul dan merusak keindahan ruang makan tersebut.
“Apa yang kau lakukan?”
Ellie terlonjak kaget. Ia menoleh ke belakang, matanya spontan membulat mendapat figur Eugene berdiri di dekatnya. “Ya—Yang Mulia?”
Eugene mengangkat alias, lagi-lagi merasa tergelitik dengan raut kaget Ellie yang begitu lucu. “Masuklah dan segera duduk sebelum hidangannya dingin.”
“Ah, iya, Yang Mulia,” ucap Ellie kaku, lantas melangkah masuk. Ia duduk di salah satu kursi dengan gerakan sama kakunya. Nyaris Eugene tak dapat menahan senyum gelinya.
Eugene duduk di kursi paling ujung, sangat jauh dari Ellie. Keheningan pun terjadi. Keheningan yang mencekam bagi Ellie. Gadis itu sedikit menunduk, kedua tangannya saling bertaut keras. Benar-benar tidak tahu harus bersikap seperti apa di depan Eugene. Sementara, pria itu juga sama diamnya. Eugene menopang dagunya dengan tangan, mata tajamnya mengamati Ellie tanpa bersuara.
Bukan Eugene yang biasanya.
Entahlah, mungkin karena ini adalah pertama kalinya Eugene sarapan di ruang makan ditemani seseorang. Rasanya seperti mendapat mainan baru yang mengesankan.
“Em…, terima kasih banyak, Grand Duke. Berkat anda, saya selamat,” kata Ellie membuka pembicaraan. Ia mendongak saat bersuara, kemudian kembali menunduk setelah ucapannya selesai.
“Setelah ini, kau ingin ke mana?” tanya Eugene tanpa basa-basi. Iris hijaunya menatap Ellie lekat-lekat.
Ellie mendongak, membalas tatapan Eugene. “Saya ingin pergi ke Kerajaan Douphens untuk memulai hidup baru saya di sana, Yang Mulia.”
“Jadi, itu sebabnya semalam kau pingsan di tengah hutan?”
Ellie mengangguk kecil. “Benar, Yang Mulia. Semalam, kereta tidak beroperasi karena wilayah sebelah sudah terkena badai salju. Jadi, saya nekat melewati hutan untuk melewati pegunungan Alphens.”
Eugene mengangkat alis, cukup terkejut dengan nyali gadis mungil itu. “Kenapa kau tidak menyewa penginapan saja dulu?”
“Uang saya sangat menipis untuk menyewa penginapan, Yang Mulia.”
Eugene mengernyitkan kening. Apa yang membuat Elliana Efran sampai nekat memasuki hutan, alih-alih kembali ke rumahnya dan berangkat keesokan harinya.
“Kenapa kau sangat terburu-buru?” tanya Eugene masih mempertahankan kerutan di keningnya.
Ellie menggigit bibir, ragu untuk menjawab sejujurnya. Jika ia berbohong, mudah bagi Eugene untuk mencari tahu kebenarannya. Dan Ellie tidak mau berurusan dengan kasus berbohong pada Grand Duke. Maka, ia menjawab dengan jujur, “Semalam, ada orang-orang mencurigakan yang berjalan di desa. Hal itu membuat saya takut dan ingin bergegas pergi dari desa.”
Eugene tidak menanggapi. Pria itu hanya mengangguk sekilas seiring sarapan datang. Keduanya pun memperbaiki posisi, bersiap menyantap sarapan dengan tenang. Sesuai dengan tata kramanya, tidak boleh berbicara sebelum makanan di meja telah selesai dimakan.
Dalam keheningan yang menyelimuti, Ellie melirik Eugene. Sang Grand Duke tersebut melahap sarapannya dengan tenang. Tidak ada lirikan datang darinya. Tidak ada suara dentingan sendok sama sekali. Hal itu cukup mengesankan bagi Ellie yang belum pernah bertemu sesama bangsawan. Rumornya memang benar, bahwa para bangsawan hidup penuh dengan tata krama.
Makanan yang disajikan benar-benar makanan berkelas pula. Makanan seperti ini sudah lama sekali tidak Ellie jumpai. Sejak pelayan terakhir mengundurkan diri, Ellie tidak pernah memakan makanan berkelas lagi. Ia memasak makanannya sendiri tanpa mendapat pengetahuan memasak. Lama-lama, Ellie sedikit menguasainya hingga mampu membuat daging panggang yang tentu kualitasnya tak sebaik masakan koki.
Dapat kembali melahap makanan berkelas membuat Ellie bahagia. Tapi, ia tidak terlena. Cepat atau lambat, Ellie harus segera pergi ke Kerajaan Douphens sesuai rencana awal. Tidak mungkin baginya untuk terus merepotkan Grand Duke Alterius seperti ini.
“Kau harus banyak makan.”
Ellie sedikit terkejut. Secara otomatis kepalanya mendongak, menatap Eugene yang sudah selesai makan. “Maaf?”
“Kau harus banyak makan. Kau terlalu kurus,” ujar Eugene usai membersihkan area bibirnya menggunakan serbet makan.
Ellie mengangguk. “Baik, Yang Mulia. Saya sangat berterimakasih.”
Selanjutnya, Ellie melahap sarapannya kembali. Ia menurut pada ucapan Eugene dengan mengambil side dish dan meminum s**u lebih banyak. Tanpa Ellie sadari, Eugene menikmati kegiatannya mengamati Ellie makan. Pria itu tidak bersuara, pun tidak melakukan apa-apa selain mengamati Ellie. Hal ini cukup mengejutkan Charles yang setia berdiri di belakang Eugene. Sebab, biasanya Eugene langsung meminta dibawakan beberapa berkas setelah selesai makan.
Charles mulai merasa senang karena sepertinya Eugene mulai tertarik melihat perempuan selayaknya pria normal.
Ketika Ellie selesai makan, Eugene bertanya, “Luka di keningmu masih sakit?”
Ellie mengerjap sesaat. “Iya, Yang Mulia.”
“Bagaimana caramu mencuci wajah?” tanya Eugene. “Pelayan melayanimu dengan baik?”
Kening Ellie sedikit berkerut, cukup terkejut sang Grand Duke mengajaknya berbincang. “Saya mencuci wajah tanpa membasahi area kening saya. Pelayan melayani saya dengan baik, Yang Mulia. Terima kasih.”
Eugene berdehem ringan sebagai tanggapan. “Apa kau yakin ingin pergi ke wilayah Douphens?” tanyanya.
Meski cukup tersentak, Ellie menjawab dengan lugas, “Saya yakin, Yang Mulia. Wilayah Douphens merupakan wilayah yang makmur seperti wilayah Alterius.”
“Jika kau mau, kau bisa tinggal di sini.”
Ellie terbelalak kaget. “Mana bisa saya merepotkan anda, Yang Mulia.”
“Kau tidak merepotkan,” Eugene memejamkan mata sesaat, “justru kau menjadi tanggung jawabku sebagai Grand Duke Alterius. Memberi jaminan hidup adalah kewajibanku.”
“Ta—Tapi Yang Mulia….”
“Kau juga belum menjawab pertanyaanku.”
Ellie mengerjap. “Maaf?”
“Kau belum memberi alasan kenapa kau tidak bisa memberitahuku nama keluargamu.”
Spontan, Ellie menunduk. Ia kembali mencengkram gaunnya. Rasa takut menyelimuti hatinya. Walaupun Eugene tidak pernah bertemu Count Efran, Ellie takut Eugene akan memberi perhitungan pada ayahnya tersebut. Bisa saja hukuman atas tindakan melalaikan tugas dan kewajibannya sebagai pemimpin Alterius. Ellie tidak mau hal itu terjadi.
Melihat binar keraguan pada wajah Ellie membuat Eugene mengurungkan niatnya. Pria itu berdiri lalu melangkah diikuti Charles. Bersamaan dengan itu, Ellie segera berdiri dari kursi untuk mengantar kepergian Eugene keluar dari ruang makan.
Sebelum Eugene keluar, pria itu berhenti di hadapan Ellie. Ia menatap gadis mungil tersebut. “Tak usah memaksakan diri. Kembalilah ke kamar untuk beristirahat.” ujarnya sebelum kemudian pergi meninggalkan Ellie.
Secara spontan, Ellie menghela napas lega. Untuk kali ini ia selamat dari Eugene. Selanjutnya, Ellie harus menyiapkan skenario terbaik dan masuk akal bila Eugene kembali bertanya.
***
“Charles,” panggil Eugene setelah menduduki kursi kerjanya. Setelah Charles berdiri di hadapannya, Eugene berkata, “Perintahkan Raymond dan para kesatria untuk mencari anak buah Count Efran.”
“Maaf?” tanya Charles sedikit tak paham. “Anak buah Count Efran?”
“Ya. Anak buah yang disuruh menculik Ellie semalam,” jawab Eugene tenang sembari mulai mengerjakan tugas-tugasnya. “Bawa mereka hidup-hidup. Masukkan ke penjara istana sebelum dihukum gantung.”
Charles mengangguk paham. “Baik, Yang Mulia.”
“Aku akan mengirim surat peringatan pada Count Efran. Bilang pada Damian untuk bersiap mengantarkannya secara resmi.”
Charles terbelalak. “Surat peringatan?”
Eugene menghela napas. “Kenapa lagi, Charles?”
“Apa maksud anda dengan surat peringatan? Anda ingin memulai perang?!”
“Tidak,” tolak Eugene mendecih kecil. “Terkait tindakan kejamnya pada putrinya sendiri.”
“Apakah anda hendak mengancamnya untuk tidak memberi masalah pada Nona Elliana, Yang Mulia?”
“Begitulah,” Eugene menghela napas pelan, “lakukan sekarang, Charles.”
“Baik, Yang Mulia.”
Dengan begitu, Charles pergi menjalankan perintah Eugene. Meninggalkan Eugene sendirian di ruang kerjanya. Pria itu langsung menyandarkan punggung seraya mengembuskan napas panjang. Tidak ada yang mengetahui betapa rumit pikiran Eugene sekarang.
Pernikahan? Memangnya Eugene berhak memaksakan kehendak sebesar itu kepada Ellie yang tampak serapuh itu?
TO BE CONTINUEDP.S. TERIMAKASIH UNTUK KALIAN YANG SUDAH MENYEMPATKAN MEMBACA CERITA INI! KLIK IKON LOVE SEBAGAI APRESIASI, Y