ANNA
--
Setiap malam ketika aku terbangun karena suara tangisan Emma, aku selalu memikirkan sebuah pelarian. Aku bisa memesan tiket penerbangan menuju London, menyewa sebuah motel murahan selagi aku mengurus segalanya. Jika mendesak, aku bisa menghubungi orangtuaku dan meminta bantuan. Mereka tidak akan marah atas tindakanku, tapi Ben akan membenciku. Laki-laki itu akan mencariku hingga ke ujung dunia dan merebut Emma dariku.
Aku tidak menginginkan hal itu. Aku pernah bermimpi kabur dari bangunan tua ini, kemudian, aku terbangun di pagi harinya dengan perasaan gelisah. Tidak ada tempat untukku dan Emma di dunia ini, dan aku tidak memiliki cukup uang untuk membiayai hidup kami. Pada akhirnya aku kalah. Aku akan berakhir di tempatku: di atas ranjang kami yang mulai terasa keras. Ben berada tepat di atasku, laki-laki itu mendorong tubuhnya lebih keras ke dalam tubuhku, dia akan melakukannya berkali-kali dengan nafsu yang menggebu-gebu, tapi aku tidak membalasnya, bahkan aku mengabaikannya. Itu tidak seindah percintaan kami saat kali pertama kami bertemu. Itu tidak membuatku merasa b*******h lagi dan aku sudah muak. Aku ingin lepas dari semua ini.
Cahaya redup lampu tidur di kamar itu mulai berbayang. Tatapanku jatuh pada cahaya yang membias di atas lantai yang dilapisi oleh karpet merah. Dinding-dinding seakan ikut bergerak sementara itu hawa panas mulai mengairi tubuh kami. Aku bisa mencium aroma kulit Ben yang berbaur dengan keringatnya. Dulu, aku akan sangat menggila-gilai aroma ini, sekarang aku tidak yakin lagi. Ben mencapai pelepasannya dalam hitungan menit. Aku menyadari setidaknya dia mengalami klimaks sebanyak duakali – sementara aku tidak. Aku masih berbaring di tempatku ketika Ben berguling menjauh. Tiba-tiba saja kulitku terasa panas dan aku ingin menyingkirkan aroma tubuhnya secepatnya.
Aku melakukannya persis ketika Ben tertidur. Aku membasuh sekujur tubuhku dengan air dan membilasnya dengan cepat. Ketika aku berkaca, aku melihat pantulan diriku di cermin. Wajah menyedihkan itu kini menatapku lurus, ia seakan sedang berusaha mengejekku. Ha! Lihatlah dirimu! Wanita yang semakin gemuk dengan p****t belemak, dan wajah yang pucat.
Aku menghantamkan tinjuku ke kaca itu keras-keras, berharap dapat menyingkirkan ekspresi menyedihkanku dari sana. Tubuhku merosot di dinding dan aku hanya duduk diam di sana untuk waktu yang lama.
Emma masih tertidur ketika aku berderap menuju dapur dan diam-diam mengeluarkan botol alkohol yang kusembunyikan di lemari. Aku meneguk cairan itu sekali – duakali, merasakan sensasi menyenangkan itu membakar tenggorokanku, kemudian aku melakukannya lagi, menuang hingga habis. Tubuhku limbung ketika aku bergerak untuk kembali ke kamar, namun aku baru mencapai ruang kerja pribadi Ben ketika aku melihat setumpuk berkas di atas mejanya. Ben selalu melarangku untuk menyentuh pekerjaannya, tapi kali ini aku akan melanggar. Aku mencari-cari di antara tumpukan berkasnya hingga menemukan sebuah agenda. Diam-diam, aku menyelipkan agenda itu ke sakuku kemudian aku bergerak dengan tenang saat kembali ke kamar.
Ben tertidur nyenyak seperti bayi yang polos. Tubuh telanjangnya dibanjiri oleh cahaya lampu dan nafasnya bergerak dengan teratur. Selama sesaat, aku hanya memandangi laki-laki itu, kemudian tatapanku beralih ke luar jendela, tepat dimana rel kereta di seberang menatap rumah kami dengan hampa. Tidak ada kereta yang melintas. Bagus.
Kemudian aku teringat wanita yang berdiri di terowongan itu. Aku tidak bisa mengenali wajahnya, tapi aku mengenali tampilannya. Itu Grace, wanita itu selalu mengikutiku seperti seekor anjing. Aku tidak pernah merasa aman selama wanita itu masih terus mengikutiku, tapi aku tidak yakin tentang apa yang akan menghentikannya. Dia menginginkan Ben, dan dia juga membenciku karena menempati rumah ini – bukannya aku mau, aku terpaksa melakukannya. Yang kuinginkan hanyalah angkat kaki dari bangunan ini secepatnya.
Saat ini yang menjadi masalah seriusnya adalah bagaimana cara menyingkirkan wanita itu. Aku tidak ingin membahayakan putriku dan Grace jelas-jelas sudah gila karena berpikir bahwa Emma adalah Lizzy, bayi perempuannya yang meninggal akibat satu insiden tak disengaja. Aku tidak yakin bahwa itu suatu insiden yang tak disengaja, aku mencurigainya, dan Ben sudah pasti sengaja menutup-nutupi hal itu dariku untuk mengindari anggapan betapa gilanya Grace.
Aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tahu latar belakang wanita itu: dia mengalami trauma di masa kecil yang membuat mentalnya terganggu. Kakak perempuannya, Nancy, meninggal dengan cara yang tidak wajar. Laporan yang dibuat kepolisian menyatakan bahwa kematiannya telah ditetapkan sebagai kasus bunuh diri. Orangtua Grace juga aneh, ayahnya adalah seorang pemabuk yang suka memukuli istri dan anak-anaknya. Nancy mungkin menjadi salah satu korbannya. Aku masih bertanya-tanya apa benar kematian saudara perempuan Grace murni sebagai kasus bunuh diri.
Kondisi mental Grace sudah kacau, tapi dia berhasil menutupinya. Grace lulus sebagai sarjana psikologi dan menjalani praktek selama bertahun-tahun. Dia juga pernah bekerja di rumah sakit sebagai ahli terapis, hingga kematian putrinya dalam satu insiden yang 'tak disengaja' telah menguak sosok Grace di balik topeng yang ia kenakan selama ini. Wanita itu gila, sudah kuduga. Ben selalu mengelak, tapi aku bahwa itu adalah satu-satunya alasan mengapa ia meninggalkan Grace demi perselingkuhan kami.
..
- LAST WITNESS -