Perintah Untuk Pergi

1859 Words
Saat ini Doyi sedang berada di dalam kamar. Sedari tadi ia hanya duduk di meja kerja, menatap deretan gambar dirinya bersama Bina dan Mas Johnny. Agaknya laki-laki itu sedang memikirkan sesuatu yang ada hubungannya dnegan Bina dan juga Mas Johnny. Apalagi kalau bukan tentang persahabatan mereka. Ttetapi, bukankah semuanya sudah baik-baik saja? dan bukankah Doyi tidak pernah ada masalah dengan Mas Johnny?  Jika di kamar Bina sama sekali tidak ada foto yang terpajang, berbeda dengan di kamar Doyi. Di dinding kamar ini hampir semuanya dipenuhi gambar. Mulai dari foto dirinya dan Bina juga Mas Johnny, hingga foto keluarga besar. Karena Doyi itu suka fotografi dan ia menginterpretasikan hasil jepretannya sebagai sebuah kenangan. Kata Doyi, kenangan bisa luntur dalam ingatan dan hanya bukti seperti sebuah foto lah yang dapat membuat otak kita teringat akan kenangan indah yang pernah dilalui.  Kemudian ponselnya ia tatap dengan gamang. Di sana menampilkan ruang obrolannya dengan Mas Johnny pagi tadi. Johnny: Jangan ke rumah gue dulu, ya. Jangan nemuin Bina. 07:42 Seutas pesan itu berhasil membuatnya tidak berdaya. Kalau boleh jujur, tanpa berbasa-basi, tanpa harus njlimet muter-muter lagi, Doyi sangat yakin jika dirinya menyukai Bina. Simpel saja. Laki-laki mana yang tidak bisa jatuh cinta pada perempuan yang sedari dulu sangat dekat dengannya? Mungkin benar jika selama menjadi dosen di Universitas Matahaya hubungannya dengan Bina menjadi lebih renggang. Mungkin benar juga jika orang-orang mengira bahwa Pak Doyi memiliki sebuah hubungan dengan Bu Riyah karena mereka yang terlihat sangat dekat. Tetapi bagaimana dengan Miss Linda, bukankah mereka juga sangat dekat? Atau mungkin karena Miss Linda sudah bersuamikan Pak Bulan, jadi tidak ada yang menaruh curiga apabila ada hubungan spesial antara Pak Doyi dan Miss Linda? Dunia tidak kejam. Yang kejam adalah penghuninya. Doyi tidak pernah menyesali pekerjaannya sebagai pengabdi pendidikan di kampus. Dirinya hanya mulai lelah dengan orang-orang yang ada di sana. Apalagi dengan mereka yang sama sekali tidak tahu tentang hubungannnya dengan Binaㅡmereka yang selalu menjodoh-jodohkan dirinya dengan Bu Riyah. Awalnya Doyi mengira jika ia merahasiakan hubungannya dengan Bina, semuanya akan baik-baik saja. Memang benar, semua baik dan tidak ada masalah di pekerjaannya. Hanya saja masalah tersebut selalu menghampiri pikiran. Saat mereka tidak sengaja bertemu di kampus, otomatis Doyi tidak bisa menyapa perempuan itu. Pun dengan Bina, ia juga tidak akan menyapa dirinya saat berada di kampus.  Ternyata kepura-puraan untuk tidak saling mengenal itu cukup menyakitkan. Ada rasa yang berkecamuk di dalam dadanya saat melihat Bina asyik dengan teman-temannya. Doyi memang tidak pernah menjadi pengatur dalam hidup Bina, pada siapa saja perempuan itu berkawan. Ia hanya merasa cemburu. Saat Bina bisa berbincang ria dengan orang lain, tetapi tidak dengannya. Adanya kesepakatan itu, membuat hubungannya menjadi renggang. Harusnya Doyi sadar. Sebagai mahasiswi, Bina akan sering menghabiskan waktunya bersama teman satu perkuliahan. Dan sebagai Dosen, dirinya juga akan menghabiskan banyak waktu dengan rekan seperdosenannya. Semakin Doyi mencoba tidak peduli dengan kerenggangan hubungannya dengan Bina, semakin ia selalu memikirkan perempuan itu. Tetapi setiap kali ia memikirkan perempuan itu, pikirannya yang lain mengajak untuk menjauh. Memikirkan sebuah hubungan ternyata serumit ini. Bahkan lebih rumit dari menyiapkan berbagai abah-abah untuk presentasi. Ponsel yang digenggamnya kembali bergetar, lalu menyala menampilkan sebuah pesan dari seseorang. Ia tidak berniat membukanya, karena pesan tersebut sudah bisa ia baca melalui batang notifikasi. Setelah itu ia kembali teringat dengan dua tahun yang lalu, dimana dirinya dipertemukan dengan cinta lamanya saat SMA. "Loh, Doyi? Kamu Doyi, kan?" Pertemuan pertamanya ada di aula FEB. Saat itu mereka baru saja diresmikan menjadi dosen Universitas Matahaya, walau statusnya masih dosen kontrak. Hal itulah yang menjadi alasan Doyi meminta Bina untuk berpura-pura tidak mengenalinya saat berada di kampus, alih-alih agar Bina lebih rajin belajar dan tidak mengandalkannya. Usianya yang saat itu masih 23 tahun dengan kecerdasan yang luar biasa, tidak lantas membuat dirinya benar-benar dewasa. Saat ini bisa ia simpulkan, bahwa dirinya telah salah membuat keputusan. Hanya karena cinta lama, ia rela mempertaruhkan persahabatannya, yang bahkan saat itu Doyi sadar sekali jika dirinya sudah menaruh rasa pada Bina. Namun laki-laki itu menolak apa yang dirasakan. Ia memilih jalur lain, dan siapa tahu perasaannya pada Bina sedikit demi sedikit akan luntur. Tetapi ternyata semua itu tidak pernah terjadi. Perasaannya yang lebih dari sekadar sahabat itu terus saja terjadi, walau hampir setiap hari dirinya bertemu dan berkomunikasi dengan cinta lama. Perasaan suka kala Doyoung SMA, tidak pernah muncul lagi. Cinta lama bukan berarti pacaran. Doyi telah mengenal Bu Riyah sejak SMP. Mereka berada di program akselerasi yang sama, lalu berlanjut juga di SMA yang sama. Empat tahun berteman membuat Doyi terkesan dengan kepribadian Bu Riyah yang tidak hanya pandai. Bu Riyah adalah sosok perempuan anggun dan manis. Siapapun akan jatuh cinta hanya dengan menatap senyumnya. Sayangnya, cinta yang dinyatakan Doyi saat lulus SMA ditolak mentah-mentah. Alasannya klise, yaitu karena mereka harus lebih berjuang meraih universitas ternama dan mengesampingkan soal cinta. Doyi mundur dan cintanya tidak pernah terbalas. Doyi memutuskan untuk melupakannya walau sakit sangat terasa. Jangan pernah berpikir jika setelah mendapatkan penolakan dari Bu Riyah saat SMA, Doyoung langsung beralih mendekati Bina. Itu tidak mungkin, karena Doyi memang bukan tipe abege fakboi. Apalagi saat itu usia Bina masih dua belas tahun,  masih sangat belia untuk diajak berbicara tentang rasa. Jangan lupakan Mas Johnny juga. Ia terkenal nakal dan hobi tawuran. Jika tahu adik kecilnya ternodai oleh cinta anak remaja, bisa jadi hubungan persahabatan mereka sudah berakhir sejak lama. Kembali pada awal pertemuannya dengan Bu Riyah setelah enam tahun berpisah. Doyi rasa Bu Riyah adalah jalan lain yang harus ia tempuh untuk masa depannya. Bu Riyah terlihat semakin anggun dan cerdas. Ia rasa memang dirinya sangat cocok bersanding dengan Bu Riyah. Tetapi memang perasaan tidak bisa dibohongi. Satu detikpun selama dua tahun ini bekerja bersama Bu Riyah, Doyi tidak pernah merasakan perasaannya yang dulu datang lagi. Rasa yang muncul hanya sebatas kagum tanpa melibatkan hati. Sejalan dengan itu, perasaannya pada Bina semakin tumbuh walau hubungan persahabatan sangatlah renggang. Dan saat hari ulang tahunnya, dimana Bina merindukan kedekatan mereka, sejatinya itulah yang ia juga rasakan. Doyi bahagia kala itu, akhirnya hubungan tersebut tak lagi renggang. Doyi memutuskan untuk membuka ruang obrolannya dengan Bina. Sebuah pesan ia kirimkan setelah bergeming beberapa saat memikirkan pesan terakhir dari Mas Johnny. Doyi: Bina. Lagi apa? 19:13 Tidak lama pesannya tersebut sudah berganti centang biru, dan terlihat Bina sedang mengetik. Binaaa: Lagi nonton Upin Ipin sama Haekal. 19:13 Doyi: Gue tanya lagi apa, doang. Bukan sama siapa. 19:13 Binaaa: Gue kasih bonus jawaban, deh. 19:14 Doyi: Berdua doang? 19:14 Binaaa: Iyes. 19:14 Doyi: Johnny kemana? 19:14 Binaaa: Ke warung bakso. 19:25 Setelah menunggu balasan pesan dari Bina yang lebih dari sepuluh menit itu, Doyi praktis bangkit dan pergi ke rumah Bina. Tidak sampai lima menit, laki-laki itu sudah nyelonong masuk ke dalam rumah. Sesampainya di ruang televisi, semuanya normal. Tidak terjadi apa-apa. Hanya ada Bina dan Haechan yang sibuk menonton siaran Upin Ipin bersama camilan. Bina menoleh mendapati kehadiran Doyoung. "Lah. Ngapain kesini, Doy?" Laki-laki itu berjalan dengan lega mengahmpiri mereka. Lalu tubuhnya ia banting di sofa, di ruang kosong antara Haechan dan Bina. "Lo tiap hari emang sering main ke sini, Doy?" Sepertinya Haekal memang sudah mengubah tutur katanya pada Doyi. Ia sama sekali tidak merasa canggung, padahal kenyataannya Doyi adalah dosennya. Beruntung sang dosen muda tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Kayaknya udah jarang banget gue main ke sini," jawab Doyi dengan menatap langit-langit rumah. Diingatannya kembali tergambar bagaimana kerenggangan hubungannya dengan Bina selama dua tahun. Tiba-tiba saja laki-laki itu menegak. Ia memukul lengan Haekal dan Bina bergantian, membuat keduanya terkejut. "Kalian kenapa cuma berduaan di rumah!" omelnya kemudian berganti mencubit lengan mereka. "Au, apaansih lo, Doy!" Bina mengusap bekas cubitan yang cukup sakit. "Tau, nih. Harusnya kalau mau ngomong kayak gitu, pas baru dateng tadi." Haekal menimpali. Doyi tidak lagi menjawab. Justru dirinya sekarang ini terlihat seperti orang yang sedang frustrasi. Ia mengusap rambut dan wajahnya beberapa kali. "Lo kenapa sih, Doy?" tanya Bina yang bingung melihat sikap Doyi yang sepertinya sedang banyak pikiran. "Bin, Kal. Kalian paham nggak, sih, bahayanya kalian cuma berduaan di rumah?" tanya Doyi sangat serius. Lebih serius dari saat dirinya menerangkan materi di kelas. Bina dan Haekal terbengong sampai mulut mereka sedikit terbuka. "Ah ...." Napasnya ia embuskan dengan kasar. "Kalau lo cuma berduaan, yang ketiganya setan!" Nadanya berubah tinggi. Bukannya dibalas dengan serius, Haekal justru cengengesan. "Berarti setannya elo, Doy," jawabnya dengan santai. Emosi laki-laki itu akhirnya meluap. Saat ini dirinya sedang berbicara dengan serius. Tetapi Haekal malah menjawabnya dengan selengekan. Ia beralih menajamkan pandangannya pada Haekal. Ia menatapnya lamat-lamat dengan urat di pelipisnya, alisnya sedikit berkerut. "Gua lagi nggak bercanda, Chan!" ucapnya dengan nggeget. Kontan saja Haekal dan Bina terheran. Haekal berusaha mencari makna dari tatapan tajam dosennya itu. Sedangkan Bina masih terbengong menyaksikan. Suasana menjadi tegang. Bahkan suara bualan Upin Ipin sama sekali tidak merubah situasi. "Doy?" Ketiga anak manusia itu menoleh ke sumber suara. Ada Mas Johnny yang berdiri di ambang pintu ruang tamu. "Lo ngapain di sini, Doy?" tanya Mas Johnny sambil berjalan menghampiri mereka. Air mukanya nampak tidak suka melihat kehadiran Doyi di rumah ini. Doyi lantas berdiri. "John, kok lo ngebiarin Haekal sama Bina di rumah cuma berdua?" tanyanya meminta penjelasan. Johnny meletakkan plastik kresek yang ia bawa di sofa. Wajahnya yang sudah tidak enak dilihat itu lurus menatap manik Doyi. "Lo ngapain ke sini?" tanyanya lagi. Lalu laki-laki itu beralih menatap Haekal dan Bina bergantian. "Bin, Kal, kalian masuk kamar dulu." "Hah. Nggak mau, Mas. Gue nggak mau bonyok!" "Ck." Mas Johnny berdecak. Haechan yang tadi mencomel, kini ketakutan dengan tampang Mas Johnny. "Bina masuk kamar gue. Lo, Kal, masuk kamar Bina." Mereka berdua sepertinya sudah dapat membaca ekspresi dari Mas Johnny yang sedang tidak sedang main-main. Keduanya lalu menaiki tangga sambil berbisik satu sama lain. "Bin, kata lo Mas Johnny sama Doyi itu oke-oke aja." Haekal sangat berusaha untuk berbisik. Jujur, ia sangat penasaran karena ia merasakan aura-aura yang tidak enak ketika melihat Mas Johnny menatap Doyi.  "Ya gue mana tau, Kal. Mas Johnny juga nggak pernah keliatan serem kayak gitu mukanya." Kemudian mereka masuk ke kamar seperti apa yang tadi diperintahkan. Di depan televisi yang menyala-nyala, bersama Upin dan Ipin yang sedang bernyanyi riang gembira, Mas Johnny duduk dengan di sampingnya masih ada Doyi. Duh duh marilah semua goyang Upin Ipin "Lo ngapain ke sini?" Deh deh mari yok ikut goyang Upin Ipin. Mas Johnny yang merasa terganggu dengan nyanyian Upin Ipin tersebut lantas mematikan televisi. Lalu ia kembali meminta penjelasan mengapa Doyi datang ke rumah, padahal tadi pagi Mas Johnny sudah melarangnya. "John, gue cuma mau nemenin Bina sama Haekal," jawabnya. "Buat apa? Lo pikir Haekal itu elo?" Mas Johnny tidak menatap Doyi. Tatapannya malah lurus ke televisi yang sudah mati. Keheningan di rumah ini menambah tegang suasana yang terjadi. Untuk pertama kalinya dalam dua puluh lima tahun, Mas Johnny dan Doyi berbicara sangat serius sampai-sampai Bina tidak boleh mendengarnya. Sedangkan di lantai dua, Bina dan Haekal tidak lantas tidak peduli. Rasa penasaran mereka sangat tinggi, hingga keduanya menajamkan pendengarannya agar bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun setajam apapun telinga mereka pasang, tidak ada yang bisa mereka dengarkan. Dan malam ini, keduanya sukses tidur dengan bayang-bayang rasa penasaran. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD