Haekal Harus Bilang WOW

2178 Words
Bina, Haekal, dan Pak Doyi saat ini sudah duduk manis di atas sofa di depan televisi yang menyala-nyala. Mereka masih tampak tenang walau sangat terasa kerisauan di hati Bina dan Pak Doyi karena pada akhirnya Haekal mengetahui tentang hubungan Bina dan Pak Doyi.  "Jadi gimana, kok Pak Doyi bisa kenal sama Bina? ... Bin, kok lo bisa kenal dan keliatan akrab sama Pak Doyi?" tanya Haechan begitu menggebu meminta penjelasan. Ia menatap Bina dan Pak Doyoung secara bergantian. Yang ditatapnya hanya bisa menelan ludah dan memikirkan harus menjawab apa. Sebenarnya Haekal tidak seterkejut itu. Tetapi yang namanya Haekal tidak pernah tidak bersikap berlebihan. Jadi menurutnya, ia tetap harus mendapatkan penjelasan sejelas mungkin tentang hubungan antara Bina dan Pak Doyi. Haekal sadar, itu semua memang bukan haknya. Namun jika Haekal bisa mendapatkan informasi tentang itu, sesungguhnya rasa penasarannya selama ini telah terjawab. Untuk sepersekian menit mereka berdua hanya diam. Pak Doyi sibuk mengelus krucil yang masih berada di pangkuannya. Sedangkan Bina sudah siap mengumpati Doyi dalam hati karena tiba-tiba saja datang pada saat yang tidak tepat. Ditambah Doyi yang sedari tadi tidak mau bercakap, membuat Bina tidak tahu harus berbuat apa. Bina takut, jika ia membuka mulut, ia akan salah bicara dan membawa dampak buruk bagi hubungannya dengan Doyi. Haekal kembali membuka mulutnya. "Kok nggak ada yang jawab, sih?" Haekal sudah gedek sendiri. Ia mengacak rambutnya frustrasi, lalu membanting tubuhnya di atas sofa. Tidak apa dikatakan lebay, sebab ia memang seperti itu. Haekal adalah manusia super lebay seantero dunia. Setelah mengembuskan napas lelah, ada sesuatu yang muncul dari gumpalan otak di dalam kepalannya. Haekal langsung teduduk tegak sambil mengeluarkan ponselnya. "Kalau nggak jawab, gue foto kalian, gue sebarin ke grup jurusan!" ancamnya dengan smirk yang sukses membangunkan jiwa bar-bar Bina dan Doyi. Haekal sudah bersiap dengan mode kamera pada ponselnya. "Satu, dua, ti-" "Gue sama Bina itu sahabatan. Mau apa lo?" Akhirnya Doyi berucap, walau terdengar sangat ketus. Haekalhanya ber-oh ria dan menurunkan ponselnya. "Oh doang?" tanya Bina terheran. "Terus, gue kudu bilang wow gitu?" Ekspresi Haekal saat berbicara sangat menyebalkan. Pak Doyi sangat ingin menjitak kepala Haekal, ia merasa sangat kesal dengan tanggapan Haekal setelah dia mengaku bahwa dirinya bersahabat dengan Bina. Tetapi apadaya, Krucil sedang ada di pangkuannya. Ia tidak mau mengganggu Krucil yang sedang asyik rebahan di atas pangkuannya. "Lo nggak penasaran kenapa gue bisa sahabatan sama Doyi?" tanya Bina pada Haekal. Doyi yang ada di sebelahnya kontan melebarkan bola mata melirik perempuan itu. Bisa-bisanya Bina lanjut bertanya ketika Doyi ingin segera kondisi ini cepat berakhir dan tidak usah dibahas lagi hal ini. "Ada hak gitu buat gue tahu?" jawab Haekal dengan santai. Ia ingin bersikap lebay, tetapi tidak tahu kenapa ia sedikit kesusahan membangkitkan jiwa lebaynya saat ini. "Ya mungkin aja lo kepo kenapa di kampus nggak ada yang tahu kalo gue sama Bina itu sahabatan. Nggak keliatan kan, ya?" Doyi lalu terkekeh. "Wah, Pak Doyi nggak sopan amat ngomong sama mahasiswanya pake elo-gue."  Rupanya hari ini laki-laki itu sedang menjadi Doyi, bukan Pak Doyi. "Terserah gue. Ini bukan di kampus." Haekal sedikit terhenyak. Namun bukan Haekal kalau tidak menyebalkan. "Mantap, Doy. Gue suka gaya lo!" Ia mengacungkan dua jempolnya pada Doyi     Bukan hanya Doyi yang membulatkan bola mata, tetapi berlaku juga dengan Bina. Keduanya tidak bisa percaya bahwa Haekal bisa sesantai itu berkata pada dosen muda yang terkenal galak seantero Universitas Matahaya. "Kenapa pada melorok gitu? Gue ganteng, ya?"  Sumpah. Ingin sekali authornim nabok pipi Haekal yang bahkan masih lebam:(( "Hm ... tapi kata Bina sih, gue itu manis. Semanis madu." "Eh, gue nggak pernah bilang lo semanis madu, ya!" Lalu percakapan didominasi oleh Bina dan Haekal yang asyik berdebat. Sedangkan Doyi merasa menyesal telah membawa Krucil pulang ke rumah Bina. "Dahlah." Doyi bangkit dari duduknya dan ia memindahkan Krucil ke pangkuan Bina. Perdebatan dua anak muda itupun terpotong karena Doyoung yang tiba-tiba melangkah pergi. "Woi, mau kemana, Doy?" bukan Bina yang bertanya, tetapi Haekal. "Jumatan." Setelah punggung Doyi tak lagi terlihat, Haekal sukses kesakitan karena cubitan di lengan kirinya. "Sakit, Bin!" "Sana lo, jumatan. Biar nggak kemasukan setan!" Akhirnya Haekal langsung terbirit berlari mengejar Doyi agar mereka bisa berangkat ke masjid bersama untuk sholat jumat.  --- "Kal." "Hm." "Kok lo nggak penasaran sama.hubungan gue sama Doyi?" Bina berusaha mengungkapkan apa yang menganggu pikirannya. "Pastilah gue penasaran. Banget malah." Haekal dan Bina sedari tadi hanya duduk di teras belakang sambil memainkan kerikil. Awalnya hanya saling diam, tetapi akhirnya mereka memiliki hal untuk dibahas. "Kok lo nggak nyuruh gue cerita?" "Gue mungkin berhak penasaran, gue berhak nyuruh lo cerita. Tapi kayaknya gue nggak berhak tahu masalah hubungan lo sama Doyi." "Kalau gue cerita, lo berhak denger kan ya?" Walau masing-masing dari mereka tidak saling tatap, tetapiobrolannya masih nyambung.  "Kalau gue cerita tentang hubungan gue sama Doyi, lo berhak denger kan, ya?" Bina mengulangi perkataannya. Laki-laki yang sedari tadi hanya menunduk menatap kerikil itu, kini mengangkat kepalanya. Ia kemudian mengangguk. "Gue kan pendengar yang baik." Ia tersenyum tulus menatap perempuan itu.  Sore ini tidak ada candaan seperti setiap kali Bina bersama Haekal. Rasanya sedikit aneh. Pasalnya, aura Haekal terasa lebih hangat dan tenang. Tidak seperti biasanya yang petakilan bin menyebalkan. Bina memeluk kedua kakinya yang ia lipat. Ia menatap lurus pada tiga pohon tomat ceri tak jauh dari pandangannya.  "Gue sama Doyi itu udah temenan dari gue lahir." Bina memulai bercerita tentang hubungannya dengan Doyi. Suasananya tenang. Hanya ada suara daun dari angin yang berembus dan kerikil yang saling beradu karena Haekal. Terkadang suara Krucil yang mengeong juga berhasil memecah keheningan. "Doyi seumuran sama Mas Johnny. Katanya pas gue lahir, Mas Johnny dengan senang hati mau berbagi adik sama Doyi." Bina membenarkan posisi duduknya. "Terus ya gitu. Kita bertiga jadi akrab banget-banget-banget-banget sampai sekarang." Wajah manis Haekal masih tenang menyimak cerita dari Bina.  "Tapi entah kenapa, semenjak dia diterima jadi dosen di Matahaya, pas itu kita masih maba, dia nggak mau kalo orang-orang tahu kalau kita itu sahabatan." Haekal merubah pandangannya menyamakan arah pandang Bina, yaitu pada tiga pohon tonat ceri. "Gue sempet kecewa, Kal. Sampai sekarang gue nggak tau apa alasan Doyi nggak mau orang-orang tahu hubungan kita. Gue sempet mikir ... apa gue ini terlalu malu-maluin ya kalau jejer sama dia?"  Bina mengembuskan napasnya panjang. Lalu menoleh menatap Haechan. "Kal, lihat gue, deh." "Hm ...." "Wajah gue ini apa kelihatan banget kalau gue itu bodoh?" Haekal tidak menjawab. Tatapannya berubah kosong menatap manik milik Bina yang terlihat berkaca-kaca. "Ah, atau mungkin gue kelihatan centil? j****y? Alay?" tanyanya dengan memaksa. Haekal belum juga buka suara. Ia hanya bisa berkedip seiring dengan degub jantungnya yang mulai tidak beraturan.  Laki-laki itu memberanikan diri untuk meraih tangan Bina. Ia menggengamnya tanpa penolakan dari perempuan itu.  "Sejak saat itu hubungan gue sama Doyi serasa renggang banget. Ini gue nggak tahu. Entah gue yang terlalu baper atau emang semua laki-laki itu nggak pernah pakai hati dalam hidup mereka." Air matanya lolos setetes. "Tapi kalau gue lihat, hubungan Doyi sama Mas Johnny masih oke-oke aja. Berarti bener, mungkin gue yang terlalu baper." Bina mengusap air matanya yang hanya setetes itu dengan kasar. Sejurus kemudian, usapan menenangkan ia rasakan di punggung tangannya.  "Sorry, Kak. Sebelumnya gue nggak pernah cerita tentang ini ke elo atau yang lainnya. Gue nggak mau kalau nantinya hubungan gue sama Doyi jadi tambah renggang." Bina menarik napas panjang untuk menetralkan emosinya. "Tapi Alhamdulillah, gue udah coba ngobrol serius sama Doyi, dan akhirnya hubungan gue sama dia jadi baik lagi setelah dua tahun berantakan." Bina tersenyum tipis.  "Hubungan?" Alis Haekal terangkat. Ia masih belum faham arti kata hubungan yang dikatakan Bina. Dengan matanya yang masih panas akibat air mata yang setetes, Bina masih menyempatkan untuk mengacak pelan rambut Haekal. "Persahabatan." Kemudian ia terkekeh. "Kayak gue sama elo." Kekehannya masih berlanjut. Mendengar Bina bercerita seintim ini memang baru pertama kalinya. Biasanya yang perempuan itu ceritakan adalah tentang karakter Upin dan Ipin, tentang kebucinannya pada orang tampan, dan tentang hal bodoh lainnya.  Kalau boleh jujur, jika dilihat dari fisiknya, Bina itu hanya mendapatkan rating 3,5 dari 5. Jika dilihat dari kepupulerannya di kampus, mungkin hanya 1 dari 5. Karena Bina memang benar-benar hanya mahasiswi biasa, mahasiswi kupu-kupu, mahasiswi yang sama sekali tidak terkenal walau di prodi mereka.  Orang lain mungkin menyetujui jika Bina memang kurang pantas jika disandingkan dengan Pak Doyi yang memang seorang yang cerdas. Tetapi tidak dengan Haekal. Sedari awal Haekal melihat Bina dan Pak Doyi dalam satu cangkupan penglihatannya, ada sesuatu yang unik yang mengganjal. Dan sekarang, Haechan sudah menemukan jawaban dari rasa penasarannya itu. Tentang bagaimana sikap Bina saat di kelas Pak Doyi, saat mengghibahi Pak Doyi, dan saat mengerjakan tugas dari Pak Doyi. Haekal bisa merasakan betul, Bina seperti sedang menunjukkan sesuatu. Bina  selalu mengatakan bahwa ia membenci Pak Doyi karena sikapnya yang menyebalkan setiap kali mereka berhubungan dengan mata kuliah akuntansi keuangan menengah tiga. Setelah berpikir beberapa saat, Haekal memberanikan diri untuk menanyakan suatu hal pada Bina. Laki-laki itu mengeratkan genggamannya pada tangan Bina. "Bin, apa mungkin lo kepengen hubungan lo sama Pak Doyi lebih dari sekadar sahabat?" ucapnya penuh kehati-hatian. Sontak saja Bina terkekeh. Ia memukul tangan Haekal yang menggenggamnya. "Kalaupun iya, hal itu juga nggak bakal kejadian." Kekehannya berakhir dengan senyum miris. "Jadi, lo suka sama Pak Doyi?" Bina mencoba untuk santai menanggapi pertanyaan Haekal. Ia menggeleng. "Gue nggak tahu." "Kok nggak tahu?" tanya Haekal heran.  "Soalnya gue nggak pernah deg-degan tiap ketemu sama Doyi, gue juga nggak pernah excited, etc, tiap ketemu sama dia. Beda banget kayak pas gue suka sama Mas Taeyi."  Jiwa bucin Bina agaknya sedang terbangun. Yang tadinya ia memaksakan kekehan dan tersenyum miris, kini tatapannya menerawang pada imajinasi yang cukup jauh berasama laki-laki yang sempat menjadikan ia b***k cinta.  "Bisa jadi jatuh cinta lo beda kalo sama Pak Doyoi. Soalnya lo sering ketemu dan bahkan udah akrab banget."  Bina terdiam. Rasanya ia ingin menolak kenyataan yang dipaparkan Haekal. Tetapi seberapapun ia berusaha menolak, perasaannya mulai membenarkan bahwa dirinya telah jatuh cinta dengan cara yang lain kepada dosen muda itu. "Kalau lo suka sama Pak Doyi, nyatain aja. Nggak papa."  Bina langsung melepaskan genggangam tangan Haechan. "Nggak lah, Kal. Gue aja nggak yakin sama perasaan gue. Lagian, Doyi udah ada Bu Riyah." "Emang Pak Doyoung sama Bu Riyah ada hubungan istimewa?" Bina mengedikkan bahunya, lalu menatap Haechan dengan intens. "Lo tahu nggak?" Nada bicara Bina berubah berbisik, sepertinya mereka berdua akan mulai rasan-rasan.  "Apa?" Haekal mendekatkan telinganya.  "Bu Riyah itu neomu-neomu beautiful, you know?" Haekal mengangguk menyetujui itu. "Terus?" tanyanya. "Bisa diketawain satu kampus kalau orang-orang tahu gue itu suka sama Doyi, ah ...." Bina meralat ucapannya, " Pak Doyi maksud gue." "Jadi, lo rela mendam rasa cuma gara-gara takut diketawain?" pertanyaan balasan dari Haekal langsung menembak tepat sasaran pada dadanya.  Bina bergeming, sedang mencari sesuatu untuk membela keputusannya. "Lo sadar nggak, Kal? Akhir-akhir ini Bu Riyah ganti style, jadi makin cakep bin anggun. Dari yang celana bahan plus blazer plus heels, doi sekarang lebih sering pakai gamis plus sneakers. Gila. Keren banget gitu, cocok di badannya Bu Riyah walau kelihatan lebih pendek dan berisi." "Ceritanya lo insecure?" "Masa, sih?" Bina berbalik bertanya. "Gini lho, Bin. Setiap manusia itu udah ada jodohnya masing-masing. Jodoh emang nggak bakal lari kemana. Tapi nggak ada salahnya juga kan, lo nyari jodoh lo ada dimana? Jangan karena rasa insecure lo itu, lo jadi nggak pede. Emang bener, jodoh lo nggak bakal diembat orang lain ...." "Kalo diembat orang lain, namanya bukan jodoh gue dong!"  "Diem dulu!" Haekal berancang untuk melanjutkan wejangannya. "Gue nggak tau nih, ya. Tapi mungkin lebih baik lo nyatain perasaan lo ke Pak Doyi. Kalau Pak Doyi nggak suka sama lo, ya berarti lo bukan jodohnya. Kalau Pak Doyi suka sama lo dan kalian berakhir di pernikahan, berarti kalian berdua emang berjodoh." "Apa jodoh itu selalu berakhir di pernikahan?"  "Kebanyakan sih, gitu." Haekal si pemberi wejangan amatiran itu sedang tidak percaya diri dengan jawabannya. "Terus gimana sama orang yang cerai?" "Mungkin jodohnya cuma sampai di sana. Mungkin dia bakal dapat jodoh baru lagi." Bina semakin bingung dengan apa yang dikatan Haekal. "Jadi, dia dikasih dua jodoh sama Tuhan?" "Mungkin." "Terus gimana sama orang yang belum nikah tapi udah meninggal duluan?" "Masih ada akhirat. Kehidupan nggak terbatas di dunia doang." Bina mengangguk paham. Kemudian ia kembali melipat kedua kaki dan menopang dagunya dengan kedua tangan. "Kira-kira gue bakal sempet ketemu jodoh gue nggak ya di dunia ini?" Tatapannya kembali lurus pada tiga pohon ceri. "Berdoa aja." "Lo juga berdoa?" "Hm." "Kalau boleh tahu, siapa nama orang yang lo ucap dalam doa lo?"  "Bina-" "Hah? Gue?" Bina menganga mendengar kata yang keluar dari mulut Haechan. Sedangkan laki-laki itu bersiap menoel kepalanya. "Emang nada bicara gue tadi bisa dibilang nada bicara sebuah jawaban?" ucap Haechan dengan ketus. "Hah? Gimana, Kal? Gue nggak paham." "Udahlah, Bin. Ngomongin jodoh mulu, berasa tua gue." Haekal hendak berdiri, tetapi lengannya ditahan oleh Bina.  "Apa jangan-jangan lo selalu sebut nama Miss Linda tiap berdoa, ya?" goda Bina dengan menyipitkan matanya.  "Gila, lo. Miss Linda kan udah berjodoh sama Pak Bulan." Kemudian Bina terkekeh, kontras dengan Haekal yang memasang tampang melas. Obrolan sore ini memang berawal tegang, tetapi tetap saja berakhir selengekan jika yang mengobrol adalah Bina dan Haekal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD