Sidang Pagi

2994 Words
Belum selesai permasalahan yang menimpa Haekal sampai babak belur. Masalah tersebut sejatinya baru akan dimulai ketika semua orang yang ada di rumah ini melakukan satapan pagi bersama. Benar sekali, permasalahan ini baru akan dibahas ketika matahari sudah menyinari alih-alih membahas permasalahannya pada malam tadi.  Di saat meja makan sudah tersaji nasi kuning beserta lauk pauknya, di hadapan Haekal justru hanya tersaji segelas jus alpukat s**u lengkap dengan sedotannya. Kasihan laki-laki itu. Bibirnya jadi sariawan dan tidak bisa menikmati sarapan yang sudah disiapkan khusus oleh mama. Yang harusnya ia bisa mengunyah nasi gurih berwarna kuning, kini yang bisa masuk ke dalam mulutnya hanya alpukat lembut. Bubur saja tidak bisa masuk, apalagi telur gulung iris dan topping nasi kuning lainnya.  Haechan cemberut saja melihat semua orang yang sedang makan. Ia bisa membayangkan betapa nikmatnya sarapan nasi kuning di pagi hari. Gurihnya nasi, renyahnya kacang dan kering tempe, ditambah irisan telur gulung yang super lembut. Ah, Haechan hanya bisa meratapi nasibnya gara-gara Mas Johnny. "Alhamdulillah," ucap papa begitu air dalam gelasnya sudah habis. Sendok dan garpunyapun telah dibalik pertanda sudah selesainya sarapan papa. Dan tidak ada sibiji nasi pun yang tersisa di atas piringnya. Papa memang seperri ini. Ia juga mengajarkan kepada anak-anaknya untuk sebisa mungkin tidak menyisakan makanan barang sebiji nasi. Biar dikata maruk atau rakus, jangan pernah peduli, yang terpenting makanan yang kita ambil tidak mubazir. Karena sejatinya di luar sana masih banyak manusia yang kurang beruntung dan kelaparan.  "Enak banget, Ma. Besok Johnny mau deh sarapan nasi kuning lagi." Mas Jonny pun menghabiskan dengan bersih makanan yang ada di atas piringnya. Ia sampai keenakan karena masakan mama memang sangat sedap dan siapa pun tidak ada yang bisa menyangkal betapa nikmatnya masakan mama yang dibantu oleh Bina.   Haekal yang mendengar itu praktis memutar bola mata malas. Sebenarnya kebiasaan Haekal adalah menirukan perkataan orang dengan ekspresi menyebalkan. Tetapi apa daya, bibirnya saja sangat sakit jika digerakan walau hanya sedikit. Jadi, ia hanya bisa memutar bola mata alih-alih mengejek Mas Johnny dengan mulutnya. "Yasudah. Johnny berangkat dulu ya, Pa, Ma." Mas Johnny bernjak dari duduknya dan bersiap karena akan segera berangkat ke tempat kerjanya. Ketika Mas Johnny hendak menyalami tangan papa, tetapi papa malah menolak ditolak. "Kamu biasanya berangkat jam setengah delapan. Ini masih jam setengah tujuh. Kenapa buru-buru?" Air muka papa sangat serius. Memang sangat terlihat sekali bahwa Mas Jonny sudah hapal bahwa papa akan memberikan nasihat-nasihat dan yang pasti papa akan menanyai tentang penjelasan untuk kejadian tadi malam di mana Haekal babak belur karena serangan Mas Johnny.  "Anu, Pa. Johnny ada meeting pagi ini." Mas Johnny berusaha mencari-cari alasan agar dirinya bisa sesegera mungkin berangkat ke tempat kerja. Ia sampai terbata, hingga papa dan mama saja sudah bisa menebak jika Mas Johnny memang berusaha menghindar dari perbincangan yang akan didiskusikan pagi ini. "Bohong tuh, Pa!" ucap Bina mengompori. Ia masih tidak terima jika Mas Johnny kabur begitu saja setelah memukuli Haekal dan tanpa penjelasan sampai sekarang. Mas Johnny kembali membanting tubuhnya di kursi. Dirinya menarik napas dan mengembuskan dengan panjang. Ia harus mempersiapkan hati dan telinganya untuk mendengarkan nasihat papa. Memang dirinya tidak sedang s**l, hanya saja takdir mengharuskan Mas Johnny untuk bertanggung jawab sebagai pria dewasa yang telah memukuli anak muda seperti Haekal tanpa perlawanan bahkan tanpa alasan yang mereka ketahui. Piring kotor dan sisa sarapan telah tersingkir dari meja makan. Kini tibalah saatnya sidang dimulai. Susana menjadi sedikit tegang walau sudah beberapa kali hal seperti ini terjadi, apalagi ketika Bina atau Mas Johnny sedang saling mengganggu hingga menyebab kan kegaduhan entah Bina yang sampai menangis atau Mas Johnny yang sampai marah dan ngambek dengan Bina. Dasar, kakak dan adik yang unik. Papa menyatukan jari-jemarinya. "Jadi, siapa yang bikin kamu bonyok kaya gitu, Kal?" tanya papa menatap Haekal. Tatapannya tajam dan serius, ditambah teelihat sangat berwibawa.  "Mas Johnny." Haekal menjawab dengan pasti, tanpa embel-embel atau basa basi lagi. Ia juga marah dengan Mas Johnny. Bisa-bisanya laki-laki itu membuat wajah manis Haekal menjadi babak belur dan membut dirinya kesakitan. Mas Johnny tersentak mendengar jawaban yang diucapkan Haekal tanpa ragu. Ia membatin bahwa bocah satu ini sangat menyebalkan. "Kok bisa?" tanya papa lagi. Seratus persen fokusnya ada pada Haekal. Haekal menggeleng. Saat papa menatap Mas Johnny, putranya itu mengembuskan napas panjang. Lebih panjang dari yang pertama tadi. Mas Johnny sudah lelah dengan semuanya. Toh dirinya punya opini tersendiri mengapa dirinya memukuli Haekal sampai babak belur. "Salah siapa kalian berduaan di dalam kamar!" Mas Johnny mencoba membela diri. Ucapannya masih tenang walau terdengar satu tingkat lebih mengerikan. "Maksud kamu, Haekal sama Bina?" Mama yang sedari tadi diam, kini mengambil bagian. Sebenarnya mama juga penasaran. Tetapi mama tidak mau mengganggu papa yang sedang serius menginterogasi dua pria muda tersebut pada sesi sidang pagi ini. "Kok jadi bawa-bawa gue sih, Mas?" ucap Bina tidak terima. Matanya membulat dan sedangkan bibirnya ia manyunkan. Jangan lupa, alis Bina sudah berkerut. "Pa, Ma. Bayangin aja. Masa Haekal sama Bina ada di atas kasur. Haekal asyik rebahan, sedangkan Bina nangis sambil selimutan. Malam-malam lagi." Mas Johnny menjelaskan dengan apa adanya sesuai dengan apa yang ia saksikan tadi malam. Ia belum peduli dengan kemungkinan-kemungkinan lain yang terjadi yang tidak ada dalam pikirannya.  "Terus apa masalahnya, Mas?" tanya Haekal pelan. Sungguh, rahangnya masih nyut-nyutan. Ia sendiri bingung. Bisa-bisanya orang yang lagi asyik rebahan malah diseret yang ditonjok bogeman.  "Wah, gila lo, Kal!" Mas Johnny menunjuk ke arah Haekal. "Anak muda jaman sekarang, nih. Nggak ngerti tata krama." Lalu ia bertepuk tangan ria sambil menggelengkan kepala. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan kelakuan anak zaman sekarang yang apa-apa dianggap wajar. Hadeuh, Mas Johnny sampai mengelus d**a. Papa dan mama memilih diam menyaksikan perdebatan dua laki-laki itu. "Kok jadi bawa tata krama?" Kini Bina yang gantian bertanya. Ia juga bingung dengan apa hang dimaksud Mah Johnny. Walau papa dan mama sudah sangat paham apa yang dimaksud oleh putranya itu.  "Dek. Lo itu sama Haekal udah gede, kan? Udah dua puluh satu tahun, kan? Apa pantes dua anak manusia yang udah dewasa berduaan di kamar, satu kasur pula!" Akhirnya Mas Johnny mengucapkan apa yang ia maksud karena ia ingin segera mengakuiri semua ini dan berangkat ke tempat kerjanya. Ia memutuskan untuk blak-blakan saja.  Bina dan Haekal  baru menyadari hal itu. Benar sekali apa yang dikatakan Mas Johnny. Tidak seharusnya mereka berduaan di dalam kamar, apalagi dalam satu ranjang. Tetapi bagaimanapun juga, semalam Bina tidak terlalu mempermasalahkan, karena ia sangat terlarut dengan novel yang ia baca. Jadi, menurut Bina, ia tidak bersalah. Toh, kamar itu adalah kamar Bina. Jadi kesimpulannya, menurut Bina, Haekal lah yang bersalah. Okai, sekarang Bina mulai merasa bersalah karena dirinya telah menyalahkan Haekal. Seharusnya dirinya intropeksi diri tentang apa yang sudah terjadi, tetapi sepertinya dirinya sangat malu atau gengsi untuk mengakui bahwa dirinya sudah bersalah.  "Tapi emang gue dari tadi di kamar. Haekal aja tuh yang tiba-tiba datang." Bina rupanya memang masih tetap membela diri dan menyalahkan Haekal atas penyebab utama semuanya terjadi. "Tapi kan yang nyuruh gue ke kamar Bina, ya elo, Mas!" Ternyata Haekal sama saja dengan Bina. Dirinya juga membela diri dan tidak mau disalahkan. Dasar anak muda, apa susahnya untuk mengakui kesalahan. Mereka berdua sama-sama mencari pembelaan. Sama-sama tidak mau disalahkan. Padahal, mereka berdua telah terbukti salah karena melanggar aturan. "Terus, kenapa Bina sampai nangis? Kan gue nyuruh lo buat bilang ke Bina biar tidur di kamar mama." Mas Johnny kembali bertanya perihal hal yang sangat mengganggu di dalam pikirannya.  "Novel," singkat Haekal. Ia tidak mau menjawab panjang dan lebar karena terkadang pipi dan bibirnya masih nyut-nyutan. Mas Johnny sangat terkejut. Ia tidak pernah menyangkan bahwa  rupanya yang membuat Bina menangis semalam hanyalah cerita fiksi yang ada di dalam novel yang sedang Bina baca. Ia sampai menganga mendapati kebenaran itu. sepertinya memang dirinya benar-benar sudah sangat kesetanan dnegan pikiran yang mengerikan yang ia bayangkan tadi malam, sehingga ia langsung merasa emosi dan langsung menghajar Haekal tanpa perlawanan.  "Terus, kenapa lo rebahan di kasur?" lanjut Mas Johnny, masih mengulik untuk mendapatkan jawaban yang pasti atas rasa penasarannya. Ia tetap bertanya sedetail mungkin untuk memastikan bahwa dirinya benar-benar tidak kecolongan. "Kasur Bina empuk banget, Mas. Beda banget sama kasur di kost gue, walau sama-sama kasur busa." Jawaban jujur apa adanya dari Haekal tersebut sempat membuat mama tersedak. Bocah itu memnag terkadang terlalu polos dan mengatakan semuanya yang memang ia rasakan. Ah, terkecuali semua perasaannya pada Bina yang sampai sekarang belum pernah ia utarakan bahkan sepertinya laki-laki muda tersebut tidak berani dan tidak sanggup untuk mengutarakan semua perasaannya pada Bina.  "Berapa lama lo ada di kamar Bina?" Mas Johnny bertanya lagi. Tatapannya masih setia tajam menatap laki-laki yang selengekan itu.  "Berapa lama, Bin?" Haekal justru balik bertanya pada Bina. Sepertinya memang Haekal tidak menghitung berapa lama dirinya ada di kamar Bina. Toh menghitung berapa menit pun tidak ada gunanya buat apa. Sedangkan Bina mengedikkan bahunya. "Mana gue tahu." Bina menjawab dengan singkat karena memang hal itulah yang menurutnya jawaban paling tepat.  "Kok nggak tahu? Kalian bener-bener nggak macam-macam, kan?" Mas Johnny menatap kedua bocah itu lamat-lamat, terutama pada Haekal. "Cuma rebahan doang." "Cuma nangis doang." Jawaban mereka berbarengan. Mas Johnny diam sebentar, memijat pelipisnya yang tiba-tiba nyut-nyutan. "Untung semalam nggak ada setan." Ucapnya dengan perlahan. "Ada. Setannya lo, Mas." Haekal masih saja selengekan. Ia menjawab tepat pada titik emosi Mah Johnny yang meluap-luap. Hampir saja Mas Johnny menonjok pipi lebam bocah itu. Beruntung di sini ada papa dan mama. Kalau tidak, mungkin Haekal sudah babak belur dan dipastikan masuk rumah sakit. "Ehem ...." Papa berdeham. Otomatis semua orang diam. "Jadi, apa alasan kamu mukulin Haekal?" poin utama permasalahan ini akhirnya ditanyakan oleh papa. Ternyata sedari tadi Mas Johnny belum blak-blakan tetantang alasannya memukuli Haekal si bocah nakal. "Johnny kira Haekal udah nyakitin Bina, Pa." Mas Johhny berkata jujur apa adanya pada papa. "Ya gimana gue bisa cari gara-gara sama macan di kandangnya sendiri?" Padahal bibir laki-laki itu terluka, makan tidak bisa, tetapi nyerocosnya masih lancar luar biasa. "Lo berantakan banget semalam, Dek. Gue kira lo dipaksa ena-ena sama Haekal." Mas Johnny akhirnya berterus terang. Plakkk "Eh, mulut lo dijaga kalo ngomong, Mas!" Bina menyentak, ia tidak terima telah dituduh semacam itu. "Gue anak baik-baik nih, Mas. Sakit hati gue." Haekal merasa tidak terima. "Om, Tante. Masa saya nginep di sini malah dituduh yang enggak-enggak?" Adunya mendramatisasi suasana. Wajahnya dibuat-buat nelangsa. Papa dan mama tidak menjawab. Keduanya malah tersenyum menyaksikan perdebatan mereka. Dalam hati mama dan papa, seru juga ya perdebatan ini. "Pa, Mas Johnny jahat banget. Sumpah!" Bina membanting tubuhnya di punggung kursi. Ia menganga tidak terima. "Tapi salah kalian juga. Kenapa berduaan di kamar?" Bina berubah cemberut. Ternyata papanya tidak membela dirinya. "Tuh, dengerin!" "Kamu juga Johnny. Jangan suka main hakim sendiri." "Sukurin, Mas!" Kalau ada tamu yang kurang sopan dengan tuan rumah, itulah Haekal. Kesimpulan sidang pagi ini membuat Mas Johnny cemberut tidak karuan. Laki-laki dua puluh lima tahun itu sangat kesal. Pasalnya, keputusan papa dan mama adalah menyuruh Haekal tinggal lebih lama sampai lukanya membaik, yang berarti untuk beberapa hari ke depan Mas Johnny harus tidur satu kamar bersama Haekal di kamar Bina. Tidak sampai disitu. Besok dan lusa adalah akhir pekan dimana Mas Johnny banyak menghabiskan waktu di rumah. Satu bocah seperti Bina saja sudah sering membuat Mas Johnny mumet karena Bina yang sering manja, apalagi jika ditambah Haekal si bocah petakilan. Kalau begini, Mas Johhny sangat ingin mendapatkan lembur dua hari dua malam di kantornya saja agar ia tidak perlu bermumet ria bertemu dengan dua bocah petakilan yang bisa kapan saja dan dimana saja membuatnya kesal.  Rumah sudah kembali sepi. Papa dan mama sudah pergi berangkat ke pasar membeli bahan untuk berjualan bakso, dan sedangkan Mas Johnny sudah berangkat ke kantor ekspedisi tempat Mas Johnny bekerja sejak satu setengah jam yang lalu. Akhirnya Mas Johnny bisa lepas dari sidang pagi ini.  Kini tinggal lah Bina dan Haekal di ruang televisi. Lagi-lagi mereka duduk di atas sofa dengan menonton siaran yang sama yaitu kartun Upin Ipin kesukaan Bina.  Betul betul betul Tagline closing serial Upin dan Ipin sudah terdengar yang artinya kartun yang berasal dari negara tetangga itu sudah selesai. Lalu tiba lah sebentar lagi akan ada suara anak kecil yang keluar dari speaker televisinya. "Lampu si Aladin bisa keluar Jin." Haekal hanya bisa menganga melihat sahabatnya itu bernyanyi lagu aneh yang selaras dengan tayangan di televisi. Haekal kira perempuan itu hanya menyukai kartun Upin Ipin, ternyata tayangan pagi setelah Upin dan Ipin juga menjadi favoritnya. Benar-benar Bina masih suka menonton televisi ketika kebanyakan gadis seusianya sudah berpindah memilih scroll time line media sosial atau menonton film di platform berbayar. "Eee ... lampu ini bukan lampu sembarangan, sekali gosok Jinnya keluar." Bina masih asyik menyanyi  walau fokusnya sudah berpindah ke ponsel. "Lampu si Aladin bisa keluar Jin, namanya Mustofa suka bikin ... keajaiban." Bina merasa sangat ringan dan puas jika bisa memgekspresikan dirinya dengan bebas.  "Udahlah, Bin. Emang paling bagus ya elo itu ikut penelitiannya Pak Doyoung. Biar nggak gabut. Nanti lama-lama lo apal semua soundtrack pilem di TV." Haekal berucap begitu saja. Lagi-lagi pemuda itu mengucapkan nama sang dosen yang galaknya sedunia.  Lantas Bina berdiri hendak pergi ke dapur mengambil camilan. Ia tidak berjalan normal, tetapi dengan penuh gaya sambil bergoyang. "Happy happy family we are happy family. Setiap hari selalu gembira hati. Tertawa ha ha hihi." Ia mendekatkan wajahnya ke Haekal. Sontak saja laki-laki itu mendelik melihat Bina yang asyik bernyanyi. Tidak peduli, Bina kembali bergoyang. "We are happy fami--aduhhh!" Bina mengaduh tiba-tiba. Bina tersungkur tengkurap di atas lantai. Nyanyiannya yang tinggal sekatapun terputus. "HAHAHA." Tawa Haekal meledak. Ia sampai terpingkal-pingkal di atas karpet. Sejurus kemudian, tawa menggelegar dari seorang Haekal berubah menjadi rintihan. Haekal kini mengaduh merasakan pipinya yang nyut-nyutan bertambah nyeri karena tampolan Bina.  "Kurang ajar sih lo, Kal!" Bina menyentak tanpa merasa iba sedikitpun pada Haekal. Bahkan ia menampol Haekal dengan tenaganya yang tidak main-main. Bayangkan saja. Siapa juga yang tidak mengamuk jika sedang asyik menyanyi, eh malah kakinya disandung oleh laki-laki menyebalkan itu. Jadi, sudah sewajarnya jika Bina mengomel dan marah-marah. Jika Bina diam saja, hal itu malah patut untuk dicurigai. --- Bina dan Haekal masih saling kemusuhan dan saling diam. Akibatnya, laki-laki itu dengan seenak hati dengan bermaksud untuk jahil, membuka kandang Krucil yang ada di halaman belakang. Bina tidak menyadari itu. Bahkan mereka berdua juga tidak pernah menyadari bahwa Krucil telah keluar dari rumah, menuju jalanan dan entah kemana.  Haekal yang merupakan tamu di rumah ini otomatis tidak bisa bergerak bebas. Ia tidak bisa semena-mena menuju dapur atau ke ruangan lainnya. Saat dirinya membuka pintu kandang Krucil saja, ia beralasan bahwa ia ingin mencicipi tomat ceri di halaman belakang.  Tidak ada yang membuatnya gundah saat ia memetik tomat ceri itu dari pohonnya. Meskipum ia tahu jika pohon tersebut milik Bina dan juga Pak Doyi. Haekal sangat mencoba untuk biasa saja. Haekal sangat mencoba memikirkan semuanya dengan santai. Bahkan kalau bisa, ia tidak ingin memikirkan seberapa jauh kedekatan antara Bina dan Pak Doyi. Jika memang perasaannya tidak pernah terbalas, tidak apa. Setidaknya yang harus segera Haekal lakukan adalah mengungkapkan semuanya. "KALLL!!!" Mendengar Bina yang berteriak dari arah halaman belakang membuat laki-laki itu berjengit. Ia berdiri seketika dan matanya membulat. Pasti saat ini Bina telah menyadari bahwa pintu kandang Krucil terbuka dan sosok Krucil tiada di sana. "KALLL!!!" Derap langkah Bina terdengar semakin jelas. Deru napasnyapun terasa sangat panas dan membuat Haekal merinding seketika. Ia langsung merasa sedikit menyesal sudah melepaskan krucil. "Kal, Krucil ilang!" ucapnya dengan panik. Air mukanya sudah merengek sambil matanya yang memerah. Kontras dengan Bina yang sedang panik, Haekal malah justru tertawa lega dalam hati. Beruntung saja Bina tidak mencurigainya bahwa ia yang sudah membuka pintu kandang Krucil. Kalau saja Bina curiga, sudah pasti Haekal akan lebih babak belur lagi. "Cari dulu, nggak usah nangis!" singkatnya kemudian kembali duduk. Ia tidak mau ambil pusing. Bina memamg terlihat kasihan karena khwawatir dengan krucil, tetapi dirinya juga masih marah dengan Bina. Hah, seharusnya Haekal tidak bersikap seperti itu. "Udah gue cari dimana-mana tapi nggak ada ... hiks." Kini air matanya  lolos. Kemudian Bina lari keluar rumah, entah kemana. Bina mencari-cari Krucil bahkan sampai ke rumah tetangga. Selain menyandang gelar sebagai bocah petakilan yang menyebalkan, rupaya Haekal juga bisa dibilang laki-laki yang menjengkelkan. Ia malah asyik bermain game di ponselnya dengan santai, alih-alih membantu Bina mencari Krucil. Padahal jelas sekali bahwa dirinyalah biang keladi dari semua kejadian ini. "Salah siapa nabok pipi gue. Rasakan pembalasan gue." Haekal terkekeh seorang diri. "APA? JADI LO YANG NGILANGIN KRUCIL???" Bina berteriak mendengar ucapan Haekal. Bak sinetron azab saat Bina mendengar perkataan Haekal yang barusan. Amarahnya seketika naik dan tangannya langsung mencakar rambut Haekal. Ia tidak main-main saat menjambak rambut sahabatnya itu. "Bin, dengerin dulu!" Haekal berusaha memberi Bina penjelasan. "Nggak ada yang perlu lo jelasin!" Bina semakin mengunyel-uyel rambut Haekal tetapi dengan kasar. Untungnya itu tidak sakit. Kalau saja pipinya yang diuyel-uyel, sudah pasti Haekal akan menangis karena rasa sakitnya. "BIN!" "APA LO!" Bina melepas uyelannya. Matanya melorok menatap Haekal. "Iya. Emang gue yang buka pintu kandang Krucil. Lonya sih, tadi pake nabok pipi gue!" Akhirnya Haekal berkata jujur juga. "KALAU GUE NABOK YA BALESNYA NABOK, DONG! JANGAN BAWA-BAWA KRUCIL. KRUCIL NGGAK TAU APA-APA." Usai berkata dengan teriakan dan tanpa spasi, Bina praktis kehilangan energi. Perempuam itu merosot duduk di lantai. Kakinya selonjor dan tangannya menutup wajah. Tangisnya mulai kembali terdengar, lebih menyedihkan dari tangisnya yang semalam. "Bin ...." "Lo nyusahin aja sih, Kal. Lo tau nggak, Krucil kalo udah lepas kandang tuh bakalan ilang." Bina hanya bisa berkata dengan lemas. Ia sudah khawatir akan terjadi sesuatu dengan bola bulu kesayangannya itu. Haekal sudah berada di samping Bina. Ia duduk bersila sambil menatap perempuan itu penuh rasa bersalah. "Assalamualaikum, Bina." Suara salam terdengar menggema berasal dari ruang tamu. "Yuhu. Bina ... oh Bina. Assalamualaikum. Krucil lo nyolong rumput gue, nih!" Suara itu terdengar lebih dekat lagi, menuju ruang televisi.  Keduanya mendongak mendengar suara itu. Mereka menatap ke arah sumber suaraㅡruang tamu.  "Krucil tuh kambing apa sap--" Hening. Perkataan itu terpotong ketika laki-laki yang sedang menggendong Krucil mendapati Bina tidak sedang seorang diri di rumah, tetapi bersama seorang laki-laki yang sangat ia kenal rupa wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD