35 Hari Awal Kehidupan

2518 Words
Dalam tradisi Jawa, jika bayi sudah genap berusia tiga puluh lima hari, biasanya keluarga akan mengadakan syukuran yang disebut selapanan. Pada acara selapanan ini, bayi akan dicukur rambutnya dan juga dipotong kukunya. Setelah itu, cukuran rambut dan potongan kuku akan disimpan bersama dengan tali pusar.  Tradisi selapanan merupakan cerminan hubungan harmonis antar manusia dan alam sekitar. Biasanya, sebelum upacara selapanan termasuk cukur rambut dan potong kuku, keluarga akan membuat bancakan berupa nasi lauk urap lalu dibagikan kepada warga sekitar dengan bungkus mangkok berbentuk pincuk yang terbuat dari daun pisang. Tidak jarang juga ada tambahan telur rebus, karena telur melambangkan awal mulanya kehidupan.  Malam ini, acara selapanan dan juga pengajian di rumah Budhe Endang telah selesai dilaksanakan. Rumah Budhe Endang tidak lantas sepi walau para tamu undangan telah pulang karena saudara saudara dan adik budhe Endang masih ada di rumahnya. Budhe Endang adalah kakak tertua dari Papa. Keluarga besar mereka berjumlah dua belas bersaudara, tidak heran jika sedang ada acara keluarga seperti ini, suasana akan sangat ramai walaupun tidak semua keluarga bisa datang.  Malam ini hanya enam adik dari Budhe Endang termasuk Papa yang datang ke acara selapanan cucu Budhe Endang. Jika dihitung, ada hampir empat puluhan orang, enam orang dari keluarga Bina ditambah Doyi dan Arini. Beruntung bangunan rumah Budhe Endang bergaya adat Jawa yang cukup luas, jadi tidak perlu risau jika banyak saudara yang menginap. Mengingat Nenek dan Kakek sudah tidak ada, jadi berkumpul di rumah kakak tertua adalah sebuah kewajiban agar silaturahim tetap terjaga. Saat ini Johnny dan Arini terlihat duduk di sofa ruang tengah, mereka sedang mengobrol dengan Mbak Sari yang menggedong sedang bayinya menimang menimang agar si dedek bisa lekas tidur karena malam yang sudah hampir larut. Rupanya dedek bayi terbangun, padahal saat acara tadi, dedek bayi terlelap dalam gendongan Mbak Sari. Di samping Mbak Sari ada Budhe Ratihㅡkakak Papa nomor 2, yang sedang memangku cucunya yang rupanya juga terbangun. Sedangkan yang lainnya, para ibu sibuk bergosip ria di dapur sambil mencuci piring, para ayah asyik menonton siaran bola yang sengaja dipasang layar tancap di taman, dan para anak muda sedang seru genjrengan memetik gitar walau jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.  예뻤어 날 바라봐 주던 그 눈빛 날 불러주던 그 목소리 다 다 그 모든 게 내겐 예뻤어 더 바랄게 없는듯한 느낌 오직 너만이 주던 순간들 다 다 지났지만 넌 너무 예뻤어 Anak-anak muda sedang menghayati setiap senandung nada nada lagu yang mereka nyanyikan. Walau lagu tersebut bukanlah lagu Pop yang berbahasa Indonesia, tetapi sepertinya hampir semua sepupu Bina tahu lagu yang dapat membuat ambyar tersebut. Saking menghayatinya, pemuda bernama Ares yang duduk di sebelah Doyi sampai merangkul dirinya dengan mata yang merem-melek. Doyi tidak lantas menghindar. Walau ia merasa sedikit risih dengan keambyaran yang tengah terjadi, tetapi bagaimanapun juga lagu tersebut sangat cocok di telinganya. Padahal ini kali pertama Doyi mendengar lagu yang tidak ia ketahui liriknya berbahasa apa. "Langsung sambung Separuh Aku," ucap Rohin sang gitaris, diikutin sorakan semua orang yang sangat antusias dengan lagu yang dibawakan band Noah tersebut. Dengar laraku Suara hati ini memanggil namamu Karena separuh aku dirimu Menyentuh laraku Semua lukamu kan menjadi milikku Karena separuh aku dirimu Petikan gitar terhenti. Semua orang mendadak diam, menunggu lagu apa yang akan mereka nyanyikan selanjutnya. "Wis, Rek. Kesel aku." Rohin menyerahkan gitar pada Anita. Gadis berusia tujuh belas tahun itu langsung excited karena ada satu lagu yang sedari tadi ia ingin nyanyikan. Jrenggg "Tebak, Cah. Ini lagu apa?" Jrenggg "Kita ... teman ... dekat."  Dari sekian banyak orang yang ada di sana, nyanyian tadi berasal dari suara Bina.  Anita yang memainkan gitar langsung tersenyum melihat sepupunya itu mengerti lagu apa yang ia maksud. Sedangkan Bina, ia terus bernyanyi sesuai irama, dan satu persatu para sepupunya ikut bernyanyi, termasuk Doyi yang ada di sampingnya. Maafkan aku jadi suka sama kamu Bina dan Doyi saling melempar tatapan dengan senyum.  Awalnya curhat, lama-lama kucemburu Maafkan aku yang mengharapkan cintamu Bila belum saatnya, kutunggu kau putus Aha aha Kutunggu kau putus Aha aha  Kutunggu kau putus Semua bersorak dan bertepuk tangan diakhir lagu. Sudah cukup larut, hampir jam setengah satu. Rasanya keseruan malam ini harus segera diakhiri. Anita sang gitaris terakhir, berdiri untuk mengucapkan sepatah dua patah kalimat. "Baiklah, saudara-saudaraku. Sepertinya sekarang sudah malam," ucapnya ala-ala pembawa acara di sebuah acara. "Berhubung kita semua saudara, jadi tidak mungkin kita saling cinta. Tetapi tetap, kita harus saling sayang." Semua orang yang ada di sana masih memperhatikan gadis yang baru saja naik ke kelas 3 SMA itu berpidato. "Jadi seperti yang kita ketahui, bahwa Mas Doyi bukanlah dari keluarga besar kita. Maka, saya berharap Mas Doyi bisa menjadi bagian dari keluarga besar kita."  "Setuju!" Bina berteriak paling keras sambil mengangkat tangannya. Lalu tangannya merangkul bahu Doyi sambil menepuk-nepuknya. "Kira-kira siapa yang mau jadi istri Doyi?" lanjutnya. Doyi yang dijadikan sasaran langsung melepas rangkulan Bina. Air mukanya mendadak kesal. "Apaan, sih!" ucapnya tidak terima. Namun hal itu justru membuat mereka semakin menggodanya. "Mas Doyi udah sering ikut acara keluarga kita. Berarti Mas Doyi juga harus jadi anggota keluarga kita. Setuju nggak?" Kini Ares berucap dengan semangat empat lima, walau dirinya sudah sangat mengantuk, berdiri saja sampai sempoyongan. Doyi yang merasa kesal langsung menarik tangan Ares dan sekonyong-konyong pemuda itu terjatuh di pangkuannya. Ia memekik kesakitan. Tidak sampai disitu, Doyi juga mendorong Ares sampai jatuh ke tanah, barulah laki-laki itu meringis bahagia karena dendam sesaatnya telah terbalas. "Sama Bina aja. Kan Doyi dari dulu nempelnya sama Bina!" Sepupu lainnya, namanya Jion. Ia berucap dengan penuh semangat yang membara. "Cocote nek omong dijogo!" Bina melemparkan tatapan tajam ke Jion, sepupunya yang tiga tahun lebih tua darinya. "Eh, mulut kalo bicara sama orang yang lebih tua itu yang sopan!" bisik Doyi sambil memukul paha Bina. Sayangnya, bisikan itu dapat didengar oleh semua orang. "Nah, kan. Doyi itu udah pinter, dosen muda, perhatian lagi." Rupaya rasa kantuk Ares telah hilang. "Kan selama ini elo, Bin, yang suka bangga-banggain Doyi." Namanya anak muda memang sering sekali suka berdebat, apalagi memperdebatkan hal hal yang tidak penting seperti saat sekarang ini.  Bina jadi kikuk, apalagi saat Doyi menatapnya dengan alis berkerut. "Yeee ... siapa juga yang bangga-banggain. Gue ngomong kaya gitu biar kalianㅡpara cewek, nggak usah ragu lagi kalo mau suka sama Doyi," kilahnya. Kini netranya tidak mau menatap Doyi. Ia berusaha menghindari tatapannya dengan Doyi  "Kalau aku sih mau, Mbak," celetuk Anita yang langsung mendapat sambutan berupa tatapan aneh sepupu-sepupunya. "Tapi kayaknya kita beda keyakinan, deh." Ekspresinya menurun, sedih, memandang gitar dan memetikkan sebuah nada galau. "Beda keyakinan gimana?" tanya Bina kemudian. "Iya. Aku yakin aku suka sama Mas Doyi. Tapi Mas Doyi nggak bakal yakin kalau suka sama aku." Ucapan Anita terdengar sarkas namun tetap saja memprihatinkan. Gadis itu agak ya sadar jika Doyi tidak mempunyai rasa padanya. Padahal, diantara kita semua tidak ada yang tahu tentang itu. Tawa langsung pecah, termasuk Doyi yang tidak percaya dengan apa yang dikatakan bocah tujuh belas tahun itu. Ia sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, ia hanya bisa menggelengkan kepala.  "Jadi, lo suka beneran sama Doyi?" "Jangan kaget gitu, ah, Mbak. Aku cuma bercanda." Plakkk Plakkk Plakkk Satu kacang kulit berhasil mendarat di puncak kepala Anita yang gagal menghindar. "Mbak Bina cemburu?" tanya Anita yang malah menggoda Bina yang sudah sebal di sana. Plukkk Plakkk Tiga sampai empat kacang kulit ia lemparkan lagi ke arah Anita. Namun sayang, lemparannya meleset. "Lo baru tujuh belas tahun. Sedangkan Doyi udah dua puluh lima tahun. Anjir! Beda delapan tahun." Bina menggebu gebu "Budhe Endang sama Pakdhe beda sepuluh tahun. Tapi aman-aman aja. Malah keliatan cocok banget." Yang berucap adalah Adis, sepupu yang seumuran dengannya. "Tapi kalo Anita ya nggak cocok sama Doyi. Lo aja deh, Dis. Lo kan cuma beda empat tahun sama Doyi," ucap Bina yang masih tidak setuju jika Anita nantinya berjodoh dengan Doyi. "Tapi sampean juga beda empat tahun to sama Mas Doyi?" "Mbuh, lah. Ngelak aku, pengen es teh." Bina langsung melenggang pergi begitu saja. Dirinya sangat sadar, jika dirinya ikut meneruskan perdebatan, pasti endingnya dirinyalah yang akan kalah dan dijadikan bulan-bulanan. Melihat Mas Johnny dan Arini yang sedang asyik mengobrol dengan Budhe Endang, membuat Bina mengurungkan niatnya pergi ke dapur untuk mencari es teh. Bina langsung melemparkan tubuhnya di samping Budhe Endang. Kemudian, budhe Endang langsung tersenyum dan malah mengelus puncak kepala Bina sampai merembet mengelus rambutnya yang halus alih-alih menegur Bina yang sedikit begajulan saat akan duduk di sebelah budhe Endang.  Biarpun usia Budhe Endang sudah lebih dari setengah abad, tetapi Budhe Endang masih terlihat bugar dan muda seperti usia empat puluhan. Selain Budhe Endang sangat memperhatikan kesehatan, Budhe Endang juga priayi yang ramah kepada siapapun. Hal itulah yang membuat beliau terlihat jauh lebih muda tanpa skincare mahal, tanpa perawatan ke salon, apalagi pasang susuk ke dukun. Biar pun tetangga suka bercanda bahwa budhe Endang pasang susuk, budhe Endang tidak pernah marah karena budhe Endang tahu betul jika tetangganya itu sangat iri padanya. Iya, budhe Endang sangat suka bertingkah jauh lebih sombong jika ada orang yang iri padanya. Prinsip budhe Endang adalah membuat manusia manusia yang iri pada kita menjadi semakin iri dan sampai batas keiriannya tidak bisa dihadapi. "Bina nggak tidur?" tanya Budhe setelah Bina menyenderkan kepala pada bahu perempuan berusia lima puluh sembilan tahun itu. Budhe Endang masih mengelus rambut hitamnya. Bina tidak menjawab, ia justru cemberut saking sebal kepada sepupu-sepupunya. Seketika, sesuatu terbesit di benak Bina. Ia menegakkan tubuh, berpikir, mengapa ia harus sebal kepada mereka. Padahal Bina juga pasti tahu kalau mereka hanya bercanda. "Kenapa sih, Bin?" tanya Mas Johnny, bingung dengan adiknya itu. Pasalnya mood Bina memang gampang sekali berubah-ubah tanpa alasan yang pasti, karena yang membuat moodnya berubah biasanya adalah hal hal yang sederhana dan tidak penting. "Mas, minta es teh." Tanpa aba-aba, Bina langsung menyeruput satu gelas es teh yang nangkring di meja di depan Mas Johnny. "Makasih," ucapnya setelah menghabiskan hampir separuhnya. Baru saja perempuan itu berniat ingin menghabiskan es teh Mas Johnny, Doyi tiba-tiba saja datang dan merebutnya. "Minta!" ucapnya kemudian duduk di sebelah Bina.  Tanpa basa basi lagi, tanpa mencari tahu siapa sebenarnya pemilik segelas es teh tersebut, Doyi dengan percaya diri langsung menghabiskannya dan menyisakan sedikit sekali. Glek, glek, glek. "Makasih, Bin." Ia lalu meringis saat mendapati wajah Bina sudah masam dan tentu saja sebal.  "Doyi nginep di sini juga, kan?" tanya Budhe. Air muka Budhe Endang selalu sumringah setiap kali menatap Doyi. Sungguh, aura Doyi adalah kesukaan para ibu ibu entah ibu yang sudah berumur atau ibu ibu muda. Pokoknya, Doyi itu menarik sekali!  Doyi mengangguk. "Inggih, Budhe." "Nanti cowok-cowok tidurnya di depan TV seperti biasa, jejer rapi kayak ikan pindang." Budhe terkekeh, pun dengan Bina, Doyi, Mas Johnny, dan Arini. "Kalau yang cewek nanti tidur di kamar, tinggal pilih mau tidur di kamar siapa, asal bukan kamar Mbak Sari." Bina dan Arini mengangguk. "Kasihan. Udah diijinin nginep, tapi Mas Johnny nggak bisa tidur bareng sama Mbak Arini." Plakkk "Itu mulut kalo bicara, ya!" "Aduh ...." Bina mengaduh sambil mengusap mulutnya yang barusaja ditampol Doyi. Sungguh, Doyi spontan saja menampol mulut Bina. Memang sudah biasa laki-laki itu menampol atau bahkan mencubit Bina jika Bina sedang bercanda, tetapi bercanda yang tidak pantas.  Doyi adalah tipe manusia seperti emak-emak yang tidak suka anaknya menjadi liar walaupun hanya perkataan saja. Tenang, Doyi melakukan hal itu bukan karena ia kasar, bahkan sama sekali tidak sakit. Bina saja yang terlalu lebay sampai mengaduh seperti itu. Dari empat orang yang lebih dewasa dari Bina, hanya Doyi yang menampolnya. Budhe Endang hanya terkekeh, sedangkan Mas Johnny dan Arini kompak memberikanannya tatapan tajam.  "Kalian sudah pacaran dua tahun, kan? Jadi kapan mau diresmiin?" tanya Budhe Endang yang langsung membuat Doyi tersedak. Pandangan mereka beralih menatap Doyi.  "Lah, ngapain lo keselek? Yang ditanya itu Mas Johnny sama Mbak Arini, bukan lo," ucap Bina pada Doyi, yang ditanya hanya menggeleng dan berdehem menetralkan tenggorokannya. "Doyi ...," ucap Budhe Endang sembari mengelus bahu Doyi walau mereka terhalang Bina. "Kamu seumuran kan sama Johnny? Ayo, nek sudah punya pacar jangan lupa kenalin ke Budhe, ya?" Jangan pernah heran jika Budhe Endang sangat akrab kepada Doyi, pun sebaliknya. Budhe Endang sangat suka kepada Doyi, apalagi saat mengetahui bahwa pemuda itu adalah laki-laki yang pandai. Budhe Endang selalu menyanjungnya dan Doyi selalu sombong pada Mas Johnny dan Bina jika sudah disanjung oleh Budhe Endang. "Halah, Budhe. Ada keu cewek yang mau sama dosen garang macam Doyi," ucap Bina. Nada yang keluar dari mulutnya, seperti logat Upin saat bergurau dengan Kak Ros yang bercita-cita menjadi dokter.  "Bocah tengik!" balas Doyi dengan menyiku lengan Bina. Bina meringis sambil mengusap lengannya. "Iya lo, Doy. Kayaknya gue belum pernah liat lo pacaran, deh," kata Johnny.  "Nah, kan, Mas. Emang kayaknya Doyi itu nggak laku. Masa udah dua puluh lima tahun tapi belum pernah keliatan pacaran." Masalah membuat Doyi dongkol, Binalah jagonya dan Bina juga pemenangnya. "Lah, udah dua puluh satu tahun juga gue nggak pernah liat lo pacaran." Doyi tidak mau kalah. Ia membalik perkataan Bina. "Kan gue nungguin lo." Ucap Bina dengan singkat. "What?! Jadi lo nungguin Doyi nembak lo, Dek?" "What?!" Bina menirukan ekspresi Mas Johnny. "Maksud gue, gue mau lihat Doyi pacaran dulu. Yakali gur pacaran, tapi Doyi jomlo. Kan kasihan." Doyi menjauhkan duduknya dari Bina. "Awas ya, lo. Ntar kalo tiba-tiba gue kasih undangan, lo bakal nangis tujuh hari tujuh malam." Doyi menatap tepat pada manik Bina, penuh arti yang tidak dapat Bina ketahui. Perasaan Bina sekonyong-konyong berubah. Was-was dan khawatir begitu saja merasu, yang membuatnya berkedip berapa kali saat ditatap oleh Doyi. Ia tidak bisa menerima tatapan itu. Budhe Endang yang sedari tadi hanya menyimak, kini mengambil alih percakapan. Beliau berdiri dan berpamitan untuk masuk ke dalam kamar. "Sudah, Budhe mau masuk kamar dulu. Arini, Bina, kalian kalau mau tidur di kamar Budhe, masuk aja ya," ucapnya sebelum melenggang pergi. "Ayo, tidur. Besok kalian harus pulang pagi-pagi, kan?" lanjutnya sebelum benar-benar melenggang. Agaknya Budhe Endang sudah sangat mengantuk. Sampai pertanyaan beliau mengenai kapan Mas Johnny akan meresmikan hubungannya dengan Arini tidak lagi ia indahkan untuk malam ini. Saat seharusnya Mas Johnny dan Arini yang mendominasi berbincangan dengan Budhe Endang, tetapi semua itu malah beralih pada Doyi dan juga Bina yang menjadi sorotan. Setelah Budhe Endang benar-benar menghilang di balik pintu kamar, mereka berempat masih di tempat yang sama. Suasana mulai hening, tetapi masih terdengar suara obrolan bapak-bapak yang ada di luar dan ibu-ibu yang masih asyik menggosip di dapur.  Mas Johnny dan Arini diam karena sedang menikmati kacang bawang, sedangkan Bina dan Doyi terdiam karena ada sesuatu yang mengganggu pikiran. Pikiran yang sangat menggangu perempuan itu adalah tentang perkataan Doyi yang katanya akan dengan tiba tiba mengiriminya undangan pernikahan yang akan membuat Bina menangis selama tujuh hari tujuh malam. Tetapi, yang Bina bingungkan adalah mengapa dirinya harus memikirkan hal itu? Bukankah biarkan saja Doyi menikah karena itu tidak ada hubungannya dengan Bina? Bukankah pernikahan Doyi bukan sebuah urusan Bina? Ah, Bina tidak tahu tentang apa yang dipikirkannya sekarang. Ia menggeleng sendiri dengan diamati Mas Johnny dan Arini yang bingung melihat sang adik geleng geleng kepala.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD