Rasa Bersyukur

3417 Words
Bina dan Doyi sudah berpindah ke meja makan, dengan sepotong kue pandan topping buah-buahan di depan mereka masing-masing. Sengaja Johnny menyuruh mereka mengobrol berdua di meja makan, agar keduanya bisa saling membicarakan penyebab kerenggangan pertemanan mereka selama satu semester ini. "Bina ...." Doyi memulai percakapan. Bina menoleh, menghentikan aktivitasnya mengunyah kue pandan yang lezat itu. "Maafin gue, ya. Kalau selama ini gue nggak bisa jadi dosen yang baik, bahkan gue nggak bisa jadi temen yang baik juga buat lo." Bina meletakkan garpunya. Jika yang dibahas laki-laki itu adalah tentang perkuliahan, rasanya membuat Bina sangat bersalah, yaitu tentang bagaimana sikap Bina terhadap dosennya itu. "Hari ini hari ulang tahun kita, Doy." Bina menatap mata Doyi dengan sendu. "Hari ini gue udah dua puluh satu tahun. Nggak seharusnya gue bersikap kayak bocah selama satu semester ini, bahkan selama lo jadi dosen." Doyi ingin membuka mulut, tapi tertahan oleh perkataan Bina yang masih berlanjut. "Kayaknya emang penyebab kerenggangan pertemanan kita itu ada di diri gue. Mentang-mentang gue kenal sama lo, gue jadi sama sekali nggak ngehargain lo." Bina menghirup napas panjang, sejenak juga ia menutup matanya, lalu mengembuskan napas. "Ternyata hidup itu nggak mudah, ya. Kita harus pintar nempatin diri." Doyi tidak bergeming. Dalam pikirannya, ia sama sekali tidak merasa bahwa Bina adalah penyebab kerenggangan hubungan mereka. Dirinyalah penyebab semuanya. Ia sadar betul, sudah sangat sering ia mengabaikan perempuan itu. Misalnya, saat Bina mengucapkan selamat pagi, walau Doyi tahu itu hanya basa-basi. Doyi sangat sibuk. Sebagai dosen muda, pekerjaannya selalu menumpuk. Rapat sana-sini, penelitian, bimbingan, dan lain-lain. Sebenarnya, semua itu sudah terjadwal dalam hidupnya. Ada di hari senin sampai jumat, dan untuk sabtu dan minggu adalah hari bebasnya sebagai laki-laki muda. Sabtu dan minggu harusnya cukup untuk dirinya menikmati hari. Nongkrong bersama teman, bersepeda, atau sekadar main game di rumah Johnny, dan berakhir mengajak Bina jajan jagung bakar di alun-alun kota. Tetapi, semua itu tidak mudah untuk diwujudkan. Karena terkadang, pekerjaan mengharuskan Doyi sibuk pada hari itu. Atau saat Doyi benar-benar free, Doyi malah memilih untuk tetap diam di rumah, tidur, makan, dan melakukan hal yang membosankan, dengan dalih bahwa dirinya sedang lelah dan tidak mau melakukan apa-apa. Tidak jarang juga, saat Doyi telah berjanji untuk pergi bersama Johnny dan Bina, ia justru membatalkan secara sepihak, lagi-lagi dengan alasan ingin beristirahat. Mungkin bagi Johnny itu hal yang wajar, karena memang Johnny tahu betul bagaimana lelahnya bekerja. Namun, bagi Bina, perempuan itu tidak pernah paham. Yang Bina tahu, Doyi selalu menyebalkan setiap kali mereka sudah membuat janji. "Gue selama ini sok sibuk. Maafin gue yang selalu batalin acara main kita." Doyi menatap potongan tomat ceri yang sudah tidak menempel di kue pandan. "Itu karena lo terlalu capek kerja. Dan bodohnya gue egois, gue nggak bisa pahamin keadaan lo." Mereka saling menyalahkan diri mereka masing-masing. Rasanya, tidak ada yang ingin merasa benar. Padahal, sejatinya manusia adalah mereka yang ingin selalu benar. "Harusnya gue juga bisa ngertiin, lo. Harusnya gue tetep bisa main, jalan bareng sama lo." Laki-laki itu mengambil satu iris tomat ceri di atas kue. "Tomat ceri?" Bina mengangguk. "Panen sendiri. Pohon tomat kita sudah beberapa kali berbuah lebat." Ia menunjuk ke arah belakang Doyi. Pintu yang menghubungkan ruang makan dengan halaman belakang. Di sana, terdapat tiga pohon tomat ceri dengan buah yang masih banyak menggantung. Pohon ceri berusia hampir setahun itu adalah milik Doyi dan Bina. Mereka membelinya di pasar pasaran legi satu tahun yang lalu. Saat itu Doyi sudah menjadi dosen, namun mereka masih bisa menyempatkan waktu untuk jalan-jalan. "Wah, bibit tomat ceri!" ucap Doyi kala itu dengan senyum yang mengembang. "Beli tiga, yuk! Satu buat gue, elo, sama Mas Johnny!" "Emang Johnny mau rawat tomat ini?" Bina mengangguk antusias, "Kalau nggak mau, kita rawat bareng-bareng!" Percakapan satu tahun yang lalu yang samar-samar diingat oleh Doyi. Saat dirinya begitu antusias menemukan bibit tomat ceri di pasar. Seharusnya pohon yang sudah menyatu dengan tanah di halaman belakang rumah Bina tersebut mereka rawat berdua, tetapi Doyi justru mengabaikannya, padahal tomat ceri adalah buah kesukaannya. Hingga akhirnya, hanya Bina yang merawat ketiga pohon kerdil tersebut, yang sekarang menjadi topping kue ulang tahunnya bersama Bina. Doyi benar-benar tidak menyangka bahwa dirinya bisa melupakan pohon tomat ceri selama satu tahun ini. Doyi pikir, setidaknya jika ia tidak bisa merawat pohon itu, ia bisa menanyakan perkembangan pohon tersebut pada Bina. Sayangnya, Doyi benar-benar mencampakkan pohon yang dulunya masih bibit berukuran dua puluh lima senti. "Gue nggak nyangka. Ternyata pohon tomat cerinya bisa berbuah selebat itu. Padahal kita udah sepakat mau rawat bareng-bareng." Bina terkekeh. Perasaannya justru campur aduk melihat wajah Doyi yang lesu dan merasa bersalah. "Bener, sih. Bibit tomat ceri aja nggak berhasil gue rawat, apalagi pertemanan kita." Kata-kata itu sedikit menohok hati Bina. Rasa bersalah Doyi tak ayal membuatnya juga semakin merasa bersalah. Kalau saja salah satu diantara mereka tidak bersikap egois dan berusaha mengerti, pasti semuanya tidak akan seperti ini. Bina tidak harus merasa sebal setiap bertemu dengan Doyi maupun Pak Doyi yang seorang dosen. "Gue nggak tahu, Doy. Gue sebel sama lo, tapi gue sayang banget sama pohon tomat ceri itu. Jujur, pohon tomat ceri itu satu-satunya hal yang nggak bikin gue sebel, walau bibit itu ada berhubungan banget sama lo." ___ ⚠BHAM SQUAD⚠ 97 Pesan belum dibaca Bina: Haeyo, twitter, gais! 23:40 Ayuku: Yaampun, Bina! Akhirnya muncul 23:40 Markku : Kamu kemana aja, Bin? Kamu nggak kenapa-kenapa, kan? 23:41 Bina: Gue cuma lagi males buka hape. Makasih, ya, udah khawatirin gue. 23:41 Markku : Nggak buka hape kok sampai seharian. 23:41 Ayuku: Kita itu khawatir sama lo. Tapi, lo beneran nggak papa, kan? 23:42 Haekal : Sorry. Ini teh grup naon? 23:42 Bina: Ini teh grup belajar cara masuk neraka dengan mudah. 23:43 Haekal: Waduh, gue salah masuk grup, nih. Ngapain gue repot-repot belajar masuk neraka. 23:44 Ayuku : Kan lo juru kunci neraka @Haekal 23:44 Markku : Kamu kan udah diterima di neraka lewar jalur undangan @Haekal 23:44 Bina: Ngakakkkkk 23:45 Haekal: Alhamdulillah, gue berhasil bikin Bina ngakak. Nggak kayak lo @Ayuku @Markku yang malah bikin dosa. 23:45 Markku: Bodo 23:45 Ayuku: Bodo^2 23:46 Bina: Bodo^3 23:46 Haekal: Anjir kalian 23:46 Bina: Bodo^99+ 23:47 Markku: Nggak mau tau, besok kita kudu ketemu ya. 23:47 Ayuku: Iya, sebelum liburan. 23:47 Haekal: Kita nggak kenal! 23:47 Bina: Besok gue bawain kue pandan, mau? 23:48 Haekal: Gue cuma kenal sama bina. 23:48 Ayuku: Anjir 23:49 Markku: Anjir 23:49 Bina: Jadi, nggak mau kue pandannya? 23:49 Markku: Mauuu 23:49 Ayuku: Mauuuuu 23:50 Setelah membanting ponselnya di atas ranjang, Bina tidak lantas tidur walau hari sudah malam dan matanya sudah sangat mengantuk sekali. Perempuan itu melangkah keluar dan membuka pintu  menuju balkon. Saat pintunya terbuka, angin tengah malam yang terasa dingin berhasil menerbangkan anak rambutnya yang ia gerai, dan juga membuat bulu-bulu halus wajahnya berdiri saking sejuknya. Bina sampai bergidik sedikit merinding karena udara tengah malam ini. Ia menatap langit yang gelap dan hitam temaram. Tidak ada setitikpun cahaya bintang yang terlihat, bahkan bulan juga tidak nampak bersinar memamerkan cahaya indahnya. Bina menghirup napas dalam-dalam sambil menutup matanya. Walau udara yang sejuk berhasil menusuk paru-parunya, tetapi ia tidak peduli. Bahkan, saat ini yang ia rasakan adalah kesegaran udara malam yang sedikit membuatnya menjadi rileks dan tenang. Hari ini, adalah tanggal 4 Juni. Hari di mana dirinya sudah genap berusia dua puluh satu tahun, dan beberapa menit lagi dirinya akan berusia dua puluh satu tahun tahun lebih satu hari. Bina tersenyum menyadari betapa cepatnya umur seseorang bertambah, dan Bina langsung mengucapkan syukur di dalam hati atas kehidupannya selama dua puluh satu tahun ini menyertainya. Kehidupan yang tidak luput dari segala ujian dan cobaan, tetapi ia tetap bersyukur karena lebih banyak yang dalam kehidupannya yaitu sebuah kebagaiaan yang menemuinya. Jika ia lihat, usia dua puluh satu tahun dirinya memang tidak terlalu istimewa tetapi bagaimana pun juga ia tetap bersyukur. Ia masih menjadi Bina yang biasa, anak Mama dan Papa, dan juga adik kecil Mas Johnny. Keluarganya memang hidup dalam kesederhanaan. Mamanya seorang ibu rumah tangga, sedangkan Papa mempunyai warung bakso yang cukup terkenal di kota ini walau tidak sampai buka cabang tetapi sangat laris manis. Perjalanan keluarga beranggotakan empat orang itu juga tidak lantas berjalan mulus. Beberapa kali guncangan demi guncangan mengganggu kedamaian dan bahkan hubungan keluarga papa dengan tetangga sekitar. Seperti saat beberapa tahun yang lalu, saat Papa terpaksa menutup warung bakso yang sudah sangat terkenal sampai luar kota hanya karena fitnah orang yang tidak bertanggung jawab. Sampai butuh sekitar dua tahunan untuk Papa kembali membuka warung bakso dan mengembalikan semangat keluarga papa, sebelumnya Papa hanya mengandalkan gerobak bakso untuk berjualan keliling. Rumah bercat dominan putih yang cukup besar milik keluarga Bina juga pernah digadaikan hingga disita, beruntung masih bisa dikembalikan. Saat itu, Bina masih duduk di bangku SMA, ia dan keluarganya sementara tinggal di kontrakan milik Ayah Doyi yang memang sudah mereka kenal sejak lama. Ada satu masa dimana keluarganya hampir remuk karena putus asa. Saat itu Mas Johnny tersandung sebuah kasus. Kasus yang berhasil membuat Mama dan Papa sangat kecewa dan merasakan sakit sekali pada hati keduanya. Saat itu Orang-orang menggerebek rumah kontrakannya, Mas Johnny adalah yang mereka cari-cari. Seorang pria paruh baya dengan wajah sangar dan berkumis tebal memimpin penggeberekan tersebut, membanting pintu rumah, dan menarik kerah kaus hingga menjotos pipi Mas Johnny begitu Mas Johnny muncul di balik pintu dapur. "b******n, kamu!" kata pria baruh baya itu sambil menendang punggung Mas Johnny yang sudah tersungkur ke lantai. Sungguh, kekuatan amarah pria paruh baya itu sangat kuat. "Kamu b******n!" ucapnya lagi, lagi-lagi menendang tubuh Mas Johnny yang berusaha bangkit. Mama sudah menangis tersedu-sedu hingga bercucuran air mata di sana, pun juga Bina yang merasa syok dan kaget. Sedangkan orang-orang yang ramai hanya menonton layaknya acara yang sangat seu tanpa melerai perkelahian yang ada. Ah, bukan perkelahian. Pasalnya pria paruh baya itu sekonyong-konyong melakukan k*******n sepihak tanpa alasan yang jelas. "Pak, ada apa ini?" Mama berteriak masih dengan tangisnya dan dengan suaranya yang berubah menjadi serak-serak basah akibat tangisnya. Mencoba membantu Mas Johnny berdiri, namun malah tendangan pria paruh baya itu juga diluapkam ke tubuh Mama. Mama tersungkur, badannya ngilu karena benturan lantai yang dihantamnya. Bina masih tidak tahu harus berbuat apa, hanya syok dan menangis saja melihat semua keadaan yang sangat runyam. Mas Johnny tidak lantas diam saja melihat Mamanya itu ikut terkena tendangan tidak tahu diri dari sang pria paruh baya. Mas Johnny bangkit dan langsung menjotos pria itu tepat di batang hidungnya. Tidak lama, cairah merah mengalir, sepertinya batang hidung pria paruh baya itu patah. Mas Johnny sangat mengamini jika batang hidung pria itu patah. Memang siapa juga yang bakal tinggal diam jika sang mama dihantam tanpa alasan oleh orang asing? "Kamu b******n! Sekarang kamu berani tonjok saya?" ucap pria itu dengan memegangi hidungnya. Ia melirik tajam pada Mas Johnny yang masih mengatur napasnya. "Ayo! Seret b******n ini ke jalanan! Usir saja dari sini!" Pria itu memprovokasi. Mereka yang disana langsung menyeret Mas Johnny tanpa perlawanan. Papa yang baru saja datang dengan gerobak bakso yang sudah kosong, terburu-buru masuk ke dalam rumah. Papa terkejut bukan main melihat putranya terluka di sudut bibir dan sedang dikunci oleh beberapa orang. "Ada apa ini?" tanya Papa dengan bingung meminta penjelasan kepada siapapun yang berada di sana. "Anak bapak ini telah berbuat tidak senonoh sama keponakan saya. Keponakan saya sampai hamil karena dia!" Dia yang dimaksud pria itu adalah Mas Jhonny yang langsung saja bingung mendengar ucapan pria tersebut. Napas Papa seperti berhenti berembus. Papa memegangi dadanya yang sesak, namun ia masih berusaha tersadar walau jantungnya terasa sakit mendengar apa yang diucapakan pria paruh baya tersebut. "Tidak benar. Siapa yang bapak maksud?!" Mas Johnny berteriak melawan sambil berusaha melepaskan cengkeraman beberapa orang itu. Namun sekuat apapun ia melawan, Mas Johnny tidak bisa melepaskannya. Mas Johnny berbalik menatap Mama. Mama terlihat syok, matanya merah dengan tangisan, dan tangannya bergetar menyaksikan ketidakmungkinan. "Pa, Ma. Johnny nggak pernah berbuat seperti itu!" ucap Mas Johnny pada mama dan papa dengan kebingungan dan kekhawatiran yang luar biasa. "Halah. b******n macam kamu ini mana mau mengaku!" Pria paruh baya itu berteriak lagi. "Udah. Nikahin di KUA secepatnya!" Malam itu Mas Johnny dibawa ke rumah sang pria paruh baya. Papa dan Mama tidak bisa berbuat apa-apa, sekalipun Papa dan Mama meminta penjelasan dari Mas Johnny  dan sang wanita, namun tidak ada yang percaya. Para warga juga sudah terlanjur marah dan percaya dengan omongan yang berasal dari sang pria paruh baya. Sang wanita bersikukuh bahwa dirinya telah hamil dua bulan karena Mas Johnny. Dan seberapa kalipun Mas Johnny menyangkal, sang pria paruh baya akan mengeluarkan kata-kata yang memprovokasi warga. Papa mengusap wajahnya frustrasi. Seharusnya yang ia dapatkan setelah seharian berkeliling berjualan bakso adalah menikmati secangkir kopi hitam dan bercengkerama dengan anak-anaknya di halaman. Namun, apa yang ia dapat justru sebuah ketidakmungkinan yang dianggap nyata oleh banyak orang. Sebuah fakta kosong yang hinggap dalam kehidupannya sebagai ujian kehidupan. Hati Mama hancur. Malam itu, Mama luluh oleh provokasi. Dengan emosi yang lelah, Mama mundur dan memilih percaya bahwa putranya itu telah melakukan zina terhadap seorang wanita. Mama menangis di depan Mas Johnny, meminta penjelasan mengapa Mas Johnny melakukan hal yang jelas tidak pernah orang tuanya ajarkan. Mama marah, menampar Mas Johnny hingga tangannya sendiri memerah. Lalu, Mama terjatuh, pingsan, dalam dekapan Mas Johnny. Sedangkan anak bungsunya, Bina, ia memilih tinggal di rumah sendirian. Ia menutup seluruh pintu dan masuk ke dalam kamar. Ia menyelimuti tubuhnya yang bergetar karena tangis. Ia syok, sangat syok saat melihat orang-orang kesayangannya disakiti. Apalagi dengan semuanya yang terasa tiba-tiba tanpa aba-aba. Keesokan harinya, entah bagaimana, Doyi datang menjemput Bina dan membawanya ke KUA. Bukan untuk menikahi Bina, ya jelas sekali itu tidak mungkin, tetapi untuk menyaksikan dan menjadi saksi pernikahan Mas Johnny. Bina sempat menolak. Ia tidak mungkin sanggup datang ke pernikahan itu dengan kondisi emosionalnya yang masih syok. Tetapi setelah dibujuk, akhirnya Bina mau datang menyaksikan pernikahan Mas Johnny dan sang wanita. Bukan hanya air mata Bina yang menetes. Air mata Mama, Papa, bahkan Ibu Doyi yang menyempatkan juga diri untuk hadir dalam pernikahan sangat sederhana tersebut merasakan sakit dalam hati mereka masing-masing. Mas Johnny sudah rapi dengan memakai kemeja putih dengan peci warna senada, yang pasti pakaian tersebut sudah disiapkan oleh warga. Di sampingnya, seorang wanita memakai kebaya sedehana dengan riasan ringan yang justru membuatnya terlihat cantik. Setelah semuanya lengkap, selendang tersampir di keduanya. Penghulu menjabat tangan Mas Johnny setelah sebelumnya bertanya pada calon pengantin apakah sudah siap. "Saya nikahkan dan kawinkan, engkau, saudara Ahmad Johnny Algarizi bin Ahmad Maridi dengan Arini Warbyazah binti Sutristino, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar ...." Huek ... huek ... huek ... Penghulu menghentikan ucapan ijabnya ketika sang wanita tiba-tiba saja merasa mual dan muntah-muntah. Dalam hati Bina, ia bersorak. Alhamdulillah, katanya. "Maaf, apakah sang mempelai wanita sedang hamil?" tanya penghulu yang langsung dijawab anggukan oleh Mas Johnny dan semua saksi. "Maaf, ijab qobul ini tidak dapat dilanjutkan. Jika saja dipaksakan, pernikahan tidak sah karena mempelai wanita sedang hamil." Pernikahan akhirnya dibatalkan karena sang penghulu merasa jika pernikahan tidak bisa dilanjutkan ketika sang mempelai wanita dalam keadaan hamil. Pria paruh baya yang semalam menjotos Mas Johnny lantas marah-marah dan mengancam Mas Johnny untuk tidak melarikan diri. Pria itu juga meminta Mas Johnny untuk membiayai segala kebutuhan hidup sang wanita dan bayinya, padahal saat itu Mas Johnny belum lulus S1. Keluarga tidak dapat berbuat banyak, mereka dengan berusaha, ikhlas menyetujuinya. Ceritanya ini sangat panjang. Mas Johnny yang masih berstatus sebagai mahasiswa semester 2 itu berjuang mati-matian untuk memenuhi kebutuhan sang wanita dan bayi yang ada di dalam kandungannya. Mulai dari mengambil part time di kafe, di bengkel, dan berjualan ala danusan, sampai membobol tabungannya sejak sekolah dasar. Sekalipun Papa dan Mama menawari bantuan, Mas Johnny menolak. Menurutnya, Papa dan Mama tidak sepantasnya merelakan uang tabungan untuk permasalahan yang tidak jelas seperti ini walaupun jelas sekali Mas Johnny diharuskan bertanggung jawab. Sejalan dengan masalah yang sedang dihadapi, pelanggan bakso Papa semakin hari juga semakin berkurang. Apalagi mereka yang tahu tentang rumor kisah cinta bernoda Mas Johnny dengan Arini. Sang wanita alias Arinj bukanlah orang asing bagi Mas Johnny. Ia adalah mahasiswa Universitas Matahaya, yang bahkan satu fakultas dengan Mas Johnny. Arini cukup terkenal di kalangan mahasiswa di fakultasnya, bahkan sampai dengan fakultas sebelah karena kekasihnya ada di sana, Jefri namanya. Namun,  pasangan paling romantis itu digadang-gadang telah putus karena sang wanita yaitu Arini, telah jatuh hati kepada Mas Johnny. "Arini, kamu tahu kan kalau kita itu tidak dekat? Kamu tahu kan kalau kita itu tidak pernah melakukan semua ini?" tanya Mas Johnny setelah ia datang dari pasar membawakan mangga muda untuk Arini. Arini itu aneh, ia selalu hanya terdiam. Ia tidak pernah mengatakan sepatah katapun sedari mereka di KUA sampai saat ini. Tatapan Arini juga selalu kosong dan badannya semakin kurus saja. Hal itulah justru membuat Mas Johnny merasa iba dan khawatir, ditambah Arini adalah yatim piatu dari keluarga kurang mampu. Hal itu juga yang membuatnya tidak pernah absen barang seharipun menemui wanita itu, memberikan perhatiannya, walau ia tahu ini bukanlah tanggung jawabnya. Benar sekali, Mas Johnny merasa sangat kasihan dengan wanita itu. Saat itu kehamilan Arini sudah memasuki bulan ke enam, namun tidak ada tanda-tanda perut wanita itu membesar. Walau Mas Johnny selalu menemui wanita itu setiap hari, namun Arini selalu menolak jika diajak periksa ke klinik kandungan. Mas Johnny tidak pernah memaksa, ia pikir Arini akan pergi seorang diri atau bersama sang paman dan bibi. Sampai waktunya tiba, fisik Arini tidak menunjukkan perkembangan. Tubuhnya tetap seperti Arini sembilan bulan yang lalu, langsing dengan perutnya yang rata. Akhirnya, Arini mengatakan semuanya pada warga. Arini sengaja mengumpulkan warga ke rumah paman. Wanita itu mengatakan semuanya. Tentang bagaimana ia mengaku menyukai Mas Johnny, mengaku berpura-pura hamil, berikut dengan ngidamnya. Semua adalah tentang imajinasinya. Ia terlalu berlebihan dalam berimajinasi. Ia terlalu jatuh hati dengan Mas Johnny. Bahkan, setelah putus dengan Jefri, Arini semakin terobsesi dengan Johnny. Namun dirinya tidak ada keberanian untuk mendekati atau bahkan menyapa laki-laki tersebut. Arini terlalu kalut. Arini terlalu hidup dalam bayang-banyang kepalsuan. Arini telah terlalu jauh melangkah, hingga tidak bisa membedakan mana yang asli dan mana yang hanya imaji. Semuanya akhinya telah selesai, wanita itu mengakhiri semuanya dengan gelak tawa. Beberapa hari kemudian, jiwa Arini direhabilitasi. Sedangkan nama baik Mas Johnny perlahan-lahan telah kembali.  Dagangan bakso Papa juga berangsur membaik saat pelanggan yang datang semakin banyak setelah semua kesalahpahaman itu terselesaikan. Hingga bertahun-tahun telah berlalu, Arini kini sudah sembuh dan kembali berkuliah seperti biasa. Dan jangan kaget, saat ini Arini sedang merajut kasih dengan menjadi pacar Mas Johnny. Tidak masalah. Semuanya sudah diatur sang maha kuasa. Garis takdir sudah digambarkan olehNya. Fitnah yang menimpa Papa dan Mas Johnny justru membuat keluarga itu semakin kuat. Tidak ada kekuatan jika tidak ada rintangan. Semuanya adalah sebuah proses dari kehidupan. Dan kehidupan Bina, sangat bisa ditertawakan jika gadis itu dengan mudahnya berputus asa. Kehidupan Bina sejatinya belum apa-apa dibanding kehidupan Papa atau Mas Johnny. Tidak terasa, air mata Bina menetes. Bina sangat bersyukur saat ini. Hari ini ia masih memiliki kedua orang tua yang selalu sayang padanya, kakak laki-laki yang selalu melindunginya, para sahabat BHAM Squad yang selalu mensupportnya, dan juga Doyi yang akan menjadi sahabatnya kembali, semoga saja. Lagi-lagi hanya syukur yang bisa diucapkan perempuan dua puluh satu tahun itu. Mungkin saat ini ada banyak manusia berusia dua puluh satu tahun yang sudah menjadi orang sukses, manusia berusia dua puluh satu tahun yang sudah menikah, atau bahkan manusia dua puluh satu tahun yang masih pontang-panting menjalani hidup sebagai mahasiswa seperti dirinya.Tapi jangan lupakan ... tidak sedikit juga manusia berusia dua puluh satu tahun yang sudah terlebih dahulu dipanggil Sang Maha Kuasa. Bina bersyukur, sangat amat bersyukur. Bina berharap, mulai hari ini dirinya bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Bina juga ingin dirinya segera bisa menyelesaikan kuliahnya, lalu bekerja, dan membantu orang tua juga siapa saja yang memerlukan bantuannya. Bina sangat ingin menjadi berguna dalam hidupnya. Itu saja, semoga Tuhan belum memanggil namanya untuk waktu dekat ini. Bina harus kuat dengan kerasnya kehidupan yang mungkin akan ia dapatkan di masa depan. "Bina pasti bisa!" Perempuan itu mengepalkan tangan di udara yang dingin nan sejuk. Ia menatap mantap ke arah depan dan menguatkan jiwa-jiwanya yang memang sangat kuat. Setelah itu, Bina kembali masuk karena cuaca yang dingin berhasil membuatnya sedikit kembung. Dengan mengoleskan sedikit minyak kayu putih di leher dan perutnya, tidak lupa juga menghirup inhealer, akhirnya Bina memutuskan berdoa sebelum akhirnya kembali tidur dan berharap hari esok sangat lebih dan jauh lebih baik lagi daripada hari ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD