Meminta Izin

1107 Words
Tujuan Bina dan Doyi datang ke warung bakso milik papa dan mama bukan karena mereka ingin makan bakso lagi. Perut mereka juga telah penuh. Rupanya satu porsi bakso Solo yang dikira Bina terlalu sedikit, ternyata cukup mengenyangkan. Jika Bina boleh membandingkan, kuah bakso yang dibuat papa dengan bakso Solo yang barusaja ia makan memang berbeda. Benar kata Doyi, kuahnya lebih segar dan tidak sebening kuah bakso papa. Tetapi tetap, bakso khas Malang buatan papa lebih sedap. Ini hanyalah soal selera. Jika disuruh memilih, Bina ingin dua-duanya saja. Makan siang dengan bakso buatan papa dan makan malam dengan bakso Solo. Pasti nikmat sekali hidupnya. "Om, Tante. Saya mau izin ngajak Bina keluar," ucap Doyi di depan kedua orang tua Bina. Yang diajak bicara malah tertawa. "Ya sana main aja. Ngapain ndadak datang kesini. Nanti Bina juga ngabarin lewat WA." Papa terkekeh sembari menyeruput es teh. Sedangkan mama mengangguk setuju. "Rencananya mau ngajak Bina ke Batu. Kemungkinan pulangnya malam, Om, Tante." Doyi berucap dengan ramah seperti saat dulu ia seirng mengajak Bina pergi keluar bersama. Papa mengusap dagunya yang tidak berjenggot. Ia sedang memikirkan apakah harus memberi izin kepada Doyi untuk mengajak putrinya pergi sampai malam atau tidak. Kemudian mama menyahut penasaran, "emangnya mau kemana aja kok sampai malam? Mau lihat bintang di puncak?" tanya mama pada dua anak manusia yang muda itu. Doyi tersenyum dan mengangguk, membenarkan apa yang mama tanyakan. "Puncak di mana sih, Ma?" tanya Bina pada Mama. Ia memang tidak tahu, jadi lebih baik untuk ditanyakan. Bina itu memang jarang sekali dolan. Jangan heran jika dirinya yang sudah dua puluh satu tahun itu tidak tahu jika di Malang ada puncak. Yang pasti bukan puncak gunung Semeru apalagi Merbabu. Puncak yang dimaksud Doyi dan mama adalah sebuah landasan terbang paralayang di perbukitan Batu. "Tapi kalian ada bawa jaket?" Bukannya menjawab pertanyaan dari sang putri, mama justru menanyakan hal lain lagi. Memang jaket adalah hal utama yang harus dibawa jika pergi ke tempat dataran tinggi yang dingin apalagi di malam hari. Jika tidak memakai jaket, bisa-bisa masuk angin. Keduanya menggeleng sambil meringis. "Pulang dulu ambil jaket. Kalau malam udara dingin." Mama memberi mereka saran, lebih tepatnya mama menyuruh mereka untuk mengambil jaket dahulu di rumah sebelum bernagkat. "Tapi gimana sama Mas Johnny, Ma?" tanya Bina kemudian. Ia langsung teringat dengan Mas Johnny saat terakhir kali bertemu dengan Doyi. "Masmu ajak aja kalau mau," celetuk papa sebelum bangkit karena ada pelanggan yang datang. Mama mengangguk. "Kalau nggak mau ngajak Mas Johnny, ya nggak usah diajak. Mas Johnny pasti mau malam mingguan sama Mbak Arini." "Iya, sih. Tadi Mas Johnny udah ke Batu sama Mbak Arini. Katanya mau makan siang. Jadinya Mas Johnny nggak jadi nganter Haekal sampai Surabaya, Ma." Adik semata wayang Mas Johnny memang sangat wasis jika sudah mengadu. "Akhirnya Bina yang nganter sampai terminal, terus disusul sama Doyi." Lalu Bina terdiam. Ia baru menyadari suatu hal. Bina kemudian beralih menghadap Doyoung. "Eh, Doy. Kok lo bisa tahu kalau gue lagi nganterin Haekal ke terminal? Bukan Mas Johnny kan yang nyuruh?" Doyi menggeleng. "Jadi, Haekal?" Laki-laki itu kemudian mengangguk. Bina berpikir dalam-dalam. Sebenarnya apa tujuan Haekal menyuruh Doyi ke terminal, agar bisa pulang dengannya? Padahal Bina sama sekali tidak pernah berfikir untuk menelfon Doyi agar dirinya bisa pulang bersama. Sungguh. Bina mulai merasa, jika sepertinya sahabatnya itu memberinya kode agar dirinya jujur tentang perasaannya pada Doyi. Kemudian Bina mengembuskan napasnya panjang-panjang di depan mama. Praktis senggolan dari laki-laki yang ada di sampingnya itu menyadarkan Bina dari otaknya yang sedang berusaha berfikir. Rupanya kesadaran Bina tentang tidak sopannya ia mengembuskan napas panjang di depan mama hanya sesaat. Ia kembali bergelung dengan pikirannya.  Yang harusnya saat ini dirinya merasa kesepian karena Haekal pulang, tetapi hal itu sama sekali tidak bisa Bina rasakan karena kehadiran Doyi. Ketakutannya akan kesepian itu tidak terbukti. Haekal pulang, semuanya masih baik-baik saja. Bahkan, ia merasa tidak ada yang terjadi dalam hidupnya. Masih sama, saat masih ada Haekal dan saat Haekal sudah pulang. Sepertinya apa yang dikatakn Haekal tentang jangan mengandalkan seseorang memang benar. Setiap orang tidak pernah selalu bersama-sama. Dan jika kita tidak terlalu memikirkannya, semuanya akan baik-baik saja. Tetapi, apa jadinya jika sosok Doyi tidak muncul dan Bina harus pulang sendirian dari terminal. Bina yakin saat ini dirinya sudah ada di rumah, tidak pernah mencicipi bakso Solo, tidak mampir ke warung bakso papa, dan tinggallah ia seorang diri terkurung dalam rumah sembari menikmati kenangannya dengan Haekal. Bina tidak percaya dengan apa yang ia bayangkan. Jika tidak ada Doyi, Bina akan sangat kesepian. Ah, tidak. Bina menggeleng. Mama dan Doyi terheran melihat sikap perempuan itu. "Kenapa sih, Bin?" Lagi-lagi perempuan itu menggeleng, tetapi kesadarannya kembali karena celetukan mama. "Nggak papa, Ma!" ucapnya mengelak. "Ini masih tanggal muda. Doy, kita nggak usah pulang ke rumah. Kan lo udah kerja, beliin gue jaket, dong!" ucap Bina kemudian tanpa komando dari otaknya. Melainkan yang mengomando ucapannya adalah hatinya. Bina rasa jika mereka pulang ke rumah terlebih dahulu dan bertemu dengan Mas Johnny, bisa-bisa Mas Johnny akan melarangnya pergi. Bina juga berencana akan menanyakan langsung pada Doyi tentang apa yang terjadi sebenarnya pada dirinya dan Mas Johnny. "Kamu nggak boleh bikin tekor abang kamu, Dek!" Rupanya ayah mendengar apa yang dikatakan Bina pada Doyi. Mama tertawa. Sedangkan Doyi sudah menyunggingkan sebelah bibirnya karena sebal. "Nah, kalau Doyi itu abangnya Bina ... harusnya nggak masalah dong kalau beliin jaket buat adik tercinta!" Bina masih berusaha merayu laki-laki itu. Doyi mendengus sembari mengaduk es teh manis di hadapannya yang tinggal seumprit. "Untung lo bukan adek gue. Jadi gue nggak perlu beliin apa yang lo mau." Praktis mulutnya manyun. "Papa, kata Doyi, Bina itu bukan adeknya!" adunya setengah berteriak. Mendengar pengaduan itu membuat Doyi gemas sekali ingin menyumpali mulut Bina dengan es batu. Tetapi daripada es batu tersebut mubazir, lebih baik ia kunyah sendiri saja. "Lha emang kamu bukan adeknya Doyi. Kamu adeknya Mas Johnny." Papa kembali terbahak. Obrolan berlangsung cukup lama. Walau warung bakso cukup ramai, tetapi papa masih bisa mengobrol dengan Doyi walau tidak saling bertatapan. Sesekali papa tertawa karena ucapan Doyi sangat menohok dan membuat Bina sebal. Selain itu, ucapan papa juga merendah kala pria paruh baya itu menceritakan betapa beratnya memiliki anak seperti Bina. Dan bagi Bina, obrolan ini harus segera disudahi karena ia mencium aroma tidak sedap pertanda bahwa dirinyalah yang selalu dijadikan korban setiap dua laki-laki itu berbincang. "Jangan lupa mampir ke masjid kalau udah adzan." Papa tidak menolak saat punggung tangannya dicium Doyi. Beberapa wejangan juga diberikan pada mereka berdua. "Jangan ngebut. Jangan meleng. Kalau capek, istirahat dulu. Kalau lapar, makan. Kalau dingin, pakai jaket. Kalau nggak jadi ambil di rumah, beli yang baru. Hahahaha." Tawa papa tergelak. Kali ini Doyi juga ikut tertawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD