BAGIAN 3 (BULLY)

1358 Words
Relly mengerjapkan matanya, sejenak mengumpulkan kesadaran dan segera melirik ke arah jam yang bertengger manis didinding. Masih jam setengah lima, dan tubuhnya seakan enggan diajak bangun, matanya masih ingin terpejam dan melanjutkan tidur hingga beberapa jam ke depan. Dia melirik ke samping, suaminya itu masih nyenyak dalam tidur dengan memeluk pinggangnya yang berisi. Relly beringsut dari dekapan sang suami, dia menatap ke nakas, air putih dan obat membuat dirinya menarik nafas dalam. Dia menatap suaminya yang sekarang meraih guling untuk dia peluk tanpa membuka mata tentunya. Dia segera meraih obat itu meneguknya dalam sekali minum. *** Relly sudah bersih, dia segera keluar dari kamar mandi dengan menggunakan baju santai. Dia duduk di tepi ranjang, menepuk pipi suaminya yang masih tertidur. "Bangun. Sholat subuh dulu." Arta mengerjapkan matanya, dia menatap seseorang yang tersenyum manis menatap dirinya. Dia membalas tersenyum dan tanpa aba-aba dia menarik tubuh berisi istrinya dan memeluknya erat. "Masih ngantuk," gumamnya pelan. "Bangun. Cepetan, Mandi sana." Arta enggan melepaskan pelukannya. "Bangun, mandi dan sholat subuh sama aku, atau enggak usah bangun dan nanti malam enggak usah ngerengek karena enggak tidur bareng aku?" Arta langsung melepaskan pelukannya dan bangkit dari tidur. Dia segera beranjak, mencuri ciuman singkat pada istrinya dan segera masuk kedalam kamar mandi. Tidur sendiri adalah hal yang paling dia hindari setelah menikah. Relly terkekeh geli melihat suaminya yang langsung bangun ketika di mancam seperti itu. Dia segera menyiapkan keperluan untuk shalat, baju koko beserta sarung untuk sang suami, sajadah dan mukena untuk dirinya. Lima belas menit berlangsung, suaminya itu sudah keluar dengan handuk yang membingkai sebagian tubuhnya yang tegap. "Mbul, pakein," ujarnya manja. Relly mengangguk dan memakaikan baju koko Kepada suami. Persis seperti anak yang tengah di pakaikan baju. "Nanti aku antar ya?" Tangannya yang kekar memeluk pinggang istrinya. Relly yang sibuk mengancingkan baju pun mendongak. "Enggak usah." Arta cemberut. "Kenapa sih enggak mau?" "Kan kemarin udah aku jawab." "Nanti pake mobil baru aja. Biar enggak ada yang tahu itu aku. Nanti setelah antar kamu aku kembali ke rumah ambil mobil aku, ya ya ya?" Relly terdiam sejenak. Arta memang sudah membeli mobil baru, mobil yang dia sengaja belikan untuk istrinya itu. Mobil mewah yang harganya tidak bisa dibilang murah. "Kalau bolak-balik nanti kamu kecapekan," lirih Relly. Arta menggeleng. "Enggak. Aku enggak capek. Ya?" Relly dengan pasrah pun mengangguk. Arta senang bukan main, dia memeluk tubuh berisi Relly dengan erat. "Lepas ih. Pake Sarungnya. Waktu subuh hampir selesai." Arta melepaskan pelukannya dan segera mengenakan sarung kemudian mereka berdua mengambil wudhu. Mereka melaksanakan sholat dengan kusyu', Relly memang tidak berhijab, namun kewajiban sholat berusaha untuk dia jalankan. *** Relly tengah sibuk dengan alat dapur, dia sedang fokus membuat sarapan untuk dirinya dan sang suami. Lengan kekar memeluk tubuhnya dengan erat. Hembusan nafas hangat membuat dirinya menoleh. "Ngagetin aja, sih. Lepas dong. Aku lagi masak ini." Arta menggeleng. Dia mengecup bahu istrinya yang terbuka. Relly di buat jengah dengan kelakuan suaminya. "Arta..." Lirihnya. Arta yang mendengar suara sendu sang istri akhirnya menghentikan kegiatannya. "Pengen kamu," ujarnya enteng. Relly memukul tangan Arta pelan, matanya melotot ke arah sang suami yang menatapnya dari samping. Arta tertawa kecil. "Bercanda ih. Sensian banget sih, Mbulnya Arta." Relly menarik nafas lega. "Lepasin dulu. Hampir matang nih, nanti gosong kalau kayak gini terus." Selepas mengatakan itu suara bel berbunyi. Arta tersenyum, tanpa berbicara dia melepaskan pelukannya dan segera menuju pintu. Relly menggelengkan kepalanya, tidak biasanya suaminya itu mau membuka pintu. Relly mengedikkan bahu dan segera melanjutkan acara memasaknya. Setelah selesai, dia segera membawa makanan tersebut ke meja makan. Menatanya rapi. Aroma lezat masakan membuat dia tersenyum. Dia yakin suaminya itu akan menyukai masakannya. Saat dia berbalik, matanya membulat, menatap satu buket bunga indah, dengan ukuran yang tidak terlalu besar membuatnya menatap kagum akan susunan bunga yang di tata cantik. "Arta?" Arta tersenyum. Dia mengecup kening Relly singkat dan menyerahkan bunga itu kepada isterinya. "Suka?" Relly menerimanya dan mengangguk antusias. Dia mencium aroma wangi yang menguar dari bunga itu. "Kenapa kasih ini?" Arta menarik pinggang Relly, mereka saling berhadapan dengan netra yang saling menatap. "Harus ada alasan suami kasih sesuatu ke istrinya?" Relly menggeleng dia memeluk Arta dengan erat. "Terima kasih." Arta tersenyum dan membalas memeluk istrinya. "Duduk gih, kita sarapan," ujar Relly setelah melepaskan pelukannya. Arta mengecup kening Relly sekejap, kemudian duduk dikursi. Dengan telaten Relly menyiapkan makanan untuk sang suami, dengan mata berbinar bahagia Arta menyambutnya dengan senyuman tulus. "Terima kasih, Sayang." Relly tersenyum dan mengangguk. Dia mengambil makanan dan segera memakannya. "Sayang?" Relly Mendongak. "Kenapa?" Melihat raut wajah sang suami masam rasa khawatir masakannya tidak enak membuat dirinya menggigit bibirnya. "Kalau enggak enak enggak usah di makan. Nanti makan di luar aja." Relly menarik piring yang ada dihadapan Arta. Arta menggeleng. Dia berdiri dan menarik Relly berdiri juga. Dipeluknya sang istri dengan erat seraya mencium kening istrinya dengan lembut. "Masakan kamu enak banget!" Ujarnya antusias, kemudian melanjutkan ucapannya, "aku enggak salah pilih istri. Udah cantik, baik, bisa masak enak. Aku bangga sama kamu." Sekali lagi, Relly dapat merasakan kecupan sayang dari Arta. Dia melepaskan pelukannya, mendongak menatap sang Suami. "Beneran masakannya enak?" Arta mengangguk dan mendudukkan Relly di kursinya. Laki-laki tampan itu juga duduk dikursinya tadi. Memakan makanan itu dengan lahap. "Beneran enak?" Arta mengangguk. Dia meminta Relly mengambil capcay lagi. Dengan kebahagiaan yang membuncah dia menuruti permintaan suaminya. **** Relly menatap suaminya yang sedari tadi mengerucutkan bibirnya kesal, hanya karena dia meminta untuk menambah kecepatan mobilnya, suaminya itu langsung ngambek. Relly menatap suaminya dengan tatapan jengkel. Laju mobilnya benar-benar pelan, ingin berlama-lama dengan dirinya, alasan yang di lontarkan saat dia protes. Lima menit lagi OSPEK akan dimulai, dan dia baru setengah jalan. Dia rasanya ingin berteriak dan menangis, dia takut dihukum karena telat. Namun, suaminya itu tidak pengertian terhadap dirinya. "Bisa di percepat Enggak sih? Aku udah telat Arta," rengeknya. Arta melirik sekilas kepada sang istri. Dia menggenggam tangan sang istri, melihat sang istri hampir menangis membuat dirinya iba. Dia segera menambah laju kecepatan mobilnya. Relly menatap bangunan megah yang ada di hadapannya, dia sudah telat lima belas menit, yakin jika dia akan di hukum. "Udah Sampai. Maaf ya?" Relly menghapus setitik air mata yang turun, dia hanya takut di hukum yang aneh-aneh oleh senior. "Sayang?" Relly menoleh di Sambut dengan tatapan mengiba dari sang suami. "Enggak apa-apa. Aku turun dulu. assalamualaikum." Relly mencium tangan sang suami dengan lembut. Di hadiahi kecupan sayang dari Arta. "Waalaikum salam. Hati-hati ya. Jangan capek-capek. Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku. Salah satu pekerja aku ada di sini, untuk mengawasi kamu." Relly mengangguk. Dia segera turun dan berhenti untuk memastikan suaminya benar-benar pergi. Setelah benar-benar pergi dia masuk ke dalam kampus itu dengan jantung berdegup kencang. "Hei kamu! Sini!" Relly Memejamkan matanya saat seseorang dengan jas almamater kampus meneriaki dirinya didepan semua mahasiswa baru. Dengan tertunduk dia melangkah di tengah-tengah senior dan MABA. "Baru juga masuk. Sudah telat. Harusnya jam berapa kamu sampai di sini?" Senior wanita dengan tatapan judes itu menatap Relly tajam. "Jam 7, Kak," jawabnya gugup. "Dan ini hampir setengah delapan. Silahkan lari sepuluh putaran mengelilingi lapangan ini." Relly meneguk ludahnya kasar. Haruskah dia lari mengelilingi lapangan yang ditengahnya ada Maba dan senior? "Heh cepat!" Semua menatap Relly dengan tatapan yang meremehkan. Bisik-bisik membuat Relly Ingin menangis sekarang juga. "Mana kuat gadis gendut itu lari keliling lapangan selebar ini? Aku yakin, hanya satu kali putaran saja dia akan pingsan." "Gadis gendut tidak akan bisa lari." "Kasihan sekali dia. Dia tidak mungkin kuat." "Cepat!" Relly menarik nafas dalam. Dia berjalan ke pinggir lapangan untuk menaruh tas. Dia berusaha untuk tidak melihat tatapan mata semua orang yang seakan mengulitinya. Relly sudah tidak sanggup lagi, dia sudah lari dua kali, namun nafasnya sudah sesak. Dia memang tidak terbiasa lari. Dia berhenti, mengatur nafasnya yang tersengal. "Kenapa berhenti cepat lari!" Relly lari lagi, hingga diputaran ke empat, tubuhnya limbung di tanah. Suara gelak tawa membuat Relly meneteskan air mata. "Makanya punya tubuh itu yang kurus." "Gendut sih!" "Udah kek paus terdampar." Semua orang tertawa hingga seseorang datang dengan teriakan yang lantang. "Apa-apaan ini! Diam semua!" Semua orang terdiam saat sosok tampan, dan sosok idola itu berteriak. Seseorang dengan tergesa-gesa mendatangi Relly. "Hei kamu tidak apa-apa?" Itu sekiranya Kalimat yang di dengar Relly sebelum kesadarannya terenggut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD