HARI PANEN
Hari itu, di sebuah pertanian luas di bawah kaki gunung di daerah Jawa Timur, suasana tampak sibuk sejak matahari baru naik. Kabut tipis masih menggantung rendah, menyelimuti beberapa bagian ladang, tapi para petani sudah mulai mengangkat cangkul dan karung. Embun masih menempel di daun-daun kacang tanah, membuatnya sedikit licin saat tangan para petani menariknya dari tanah.
Di tempat inilah, kacang tanah menjadi sumber penghidupan. Tidak ada tanaman lain. Tidak ada padi, tidak ada jagung, tidak ada sayuran aneh. Hanya kacang tanah sejauh mata memandang. Tanahnya gembur, warnanya kecoklatan, dan kalau diinjak terasa empuk. Para petani bilang, tanah seperti ini adalah tanah terbaik untuk kacang.
Tidak ada hal aneh di pagi itu. Semua tampak seperti hari panen biasanya. Orang bekerja, karung ditumpuk, suara hewan jauh di hutan terdengar samar. Tapi justru dari hari yang kelihatannya biasa inilah, cerita yang tidak biasa akan dimulai.
Di pinggir ladang, berdiri seorang bapak-bapak yang seluruh orang di daerah itu hormati. Tubuhnya tidak tinggi, tapi caranya berdiri dan menatap membuat orang otomatis menaruh hormat. Mereka memanggilnya Juragan. Nama aslinya Wibowo. Usianya sekitar lima puluh, tapi guratan wajahnya masih menunjukkan garis-garis kekuatan dari masa muda. Ia bukan orang sembarangan. Tanah yang luas ini miliknya, dan para petani bekerja untuknya.
Juragan berdiri dengan tangan bersedekap, pandangan matanya menyapu seluruh ladang. Sesekali ia mengangguk kecil, seolah memastikan pekerjaan berjalan sesuai rencana.
“Manto!” serunya tiba-tiba.
Seorang pria kurus dengan kaos lusuh menoleh cepat. “Nggih, Juragan!”
“Karungnya itu, taruh dekat jalan. Jangan ditumpuk di sini. Nanti mobil susah masuk.”
“Baik, Juragan!” Manto langsung menarik karung besar—karung itu bahkan lebih tinggi dari dirinya. Ia menyeret, mengusap keringat, lalu kembali mengangkut lagi.
Juragan menghela napas. “Kok yo nek kerja sembarangan wae,” gumamnya, walau nada suaranya tidak benar-benar marah. Lebih seperti kebiasaan orang tua yang selalu ingin lihat pekerjaan sempurna.
Suara cangkul dan tawa para petani terdengar bersahut-sahutan. Ada yang sambil bersenandung lagu Jawa lama. Ada yang curhat tentang istrinya yang sedang ngambek. Ada yang komplain kenapa harga BBM naik terus padahal dia baru beli motor bekas.
Semua normal.
Setidaknya bagi manusia.
Namun di antara suara-suara itu, ada suara lain. Suara yang tidak didengar telinga manusia, tapi sebenarnya jelas sekali jika saja mereka bisa mendengar frekuensi yang berbeda.
“Woooow! Asyiiik! Bebas! Akhirnya keluar juga dari tanah!”
Suara itu datang dari satu kelompok kacang tanah yang baru saja dicabut dari semak-semak yang akarnya masih menggantung. Tanah basah menempel di kulit mereka, dan sebagian masih bingung kenapa tiba-tiba gelap berubah jadi terang.
“Aduh… aduh… pelan-pelan dong kalau nariknya! Kesrimpet aku!” keluh satu kacang di ujung akar.
“Diam kamu, yang penting kita keluar dulu! Aku sudah capek hidup di bawah tanah. Sumpek banget rasanya tiap hari cuma lihat akar dan cacing lewat,” balas kacang lain yang suaranya terdengar lebih ceria.
Satu kacang kecil yang masih tertutup kulit tipis bergetar kecil. “Ini… ini dunia atas ya? Kok terang banget? Mataku pedih! Eh… aku punya mata nggak sih sebenarnya?”
“Ya nggak punya lah! Kita kacang, bukan ayam!” jawab kacang yang lebih besar.
Para kacang itu masih bergelantungan di akar ketika tangan petani mencabut beberapa rumpun lagi.
Satu kacang berteriak kecil—teriakan versi kacang tentunya, yang kalau diperdengarkan ke manusia cuma seperti suara klik kecil.
“Woy! Jangan diayun-ayun begitu! Kaya mau dilempar ke jurang saja rasanya!”
Tapi tentu saja petani tidak tahu mereka sedang mengomel. Tangan petani hanya menggoyang-goyang tanaman untuk menurunkan sisa tanah dari akarnya.
Beberapa kacang terlempar ke tanah dan berguling beberapa kali.
“HEH! Aku belum siap turun! Ini siapa yang dorong?!” protes satu kacang yang jatuh paling jauh.
Yang lain tertawa kecil. “Sudah lah, nikmati saja. Kita akhirnya keluar. Dunia luas menunggu.”
Namun kegembiraan itu mendadak berhenti ketika… bayangan besar menutupi mereka.
Itu adalah bayangan Juragan Wibowo yang sedang mengecek hasil panen.
Kacang-kacang itu menahan napas. Kalau mereka punya jantung, mungkin degupnya sudah tidak karuan.
“Opo hasilé apik?” gumam Juragan sambil mengangkat satu rumpun kacang.
Dari sudut pandangnya, ia hanya melihat tanaman biasa. Tapi di sudut pandang kacang, mereka merasa sedang diangkat oleh raksasa.
“Waduh… waduh… jangan diremas! Jangan diremas!” teriak seorang kacang kecil yang posisinya agak terhimpit.
“Diam kamu,” bisik kacang lain. “Itu manusia. Pemilik tanah. Dia bisa memutuskan hidup atau mati kita.”
“…HIDUP ATAU MATI???” kacang-kacang lain langsung panik serempak.
“Tenang! Maksudku—dia bisa memutuskan kita masuk kategori bagus atau jelek. Kalau bagus, ya mungkin nasib kita lebih cerah…”
“Terus kalau jelek?”
“Kita bisa dibuang. Atau dipisah. Atau—”
Suara itu sengaja menahan diri.
“Aaah, sudahlah! Aku baru merasakan udara bebas lima menit, sudah dengar ancaman begini,” keluh satu kacang sok kuat padahal gemetaran juga.
Juragan menurunkan tanaman itu, lalu berjalan mengecek tumpukan karung.
Sementara itu, para petani terus bekerja, tidak tahu bahwa suara-suara kecil di bawah kaki mereka sedang mempertanyakan masa depan masing-masing.
---
Di ujung ladang, seorang petani bernama Tarjo menuangkan kacang hasil cabutan ke tanah untuk dijemur sebentar. Ia mengibas-ngibaskan debu dari bajunya, lalu merentangkan punggungnya yang pegal.
“Wah, panas mulai naik. Bentar lagi matahari nyelekit iki,” katanya pada temannya, Darmo.
Kacang-kacang yang jatuh dari genggamannya langsung berpencar seperti anak ayam panik.
“BRUAAAK!”
“Mampus aku! Jatuh lagi! Kulitku terantuk batu!” teriak satu.
“Aku juga! Haduh ini manusia kerja apa lempar-lempar sih,” keluh yang lain.
Kacang yang agak tua, suaranya berat dan bijak, menghela napas. “Kalian ini panik terus. Nikmati dulu. Kita tidak selamanya di sini.”
“Lho, maksudmu apa, Cak Tua?” tanya kacang kecil.
“Artinya…” si kacang tua menatap langit (padahal sebenarnya hanya menatap kosong karena dia tidak punya mata), “…kehidupan kita baru saja mulai. Kita akan dikumpulkan, dibersihkan, dijemur, mungkin masuk karung… dan setelah itu, tidak ada kacang yang tahu. Takdir kita beda-beda.”
“Serem amat ngomongnya…” gumam kacang kecil.
“Ya kenyataan memang kadang ngeri,” jawab kacang tua enteng saja.
Suasana di ladang semakin ramai. Suara burung beterbangan, suara motor dari kejauhan, suara petani tertawa. Sementara kacang-kacang itu mulai menyadari dunia luar ternyata jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan.
Di balik kesibukan itu, satu karung besar dipenuhi kacang tanah kualitas terbaik. Para kacang yang masuk karung itu merasa tempatnya sempit tetapi hangat.
“Kita mau dibawa kemana, ya?” tanya satu kacang yang baru masuk.
“Entahlah,” jawab yang lain. “Tapi setidaknya kita bersama. Kita satu karung, satu nasib.”
Suara dari luar karung terdengar.
“Manto! Karung nomor dua belas siap diangkat!” teriak salah satu petani.
“Nggih!”
Karung itu diangkat. Tubuh kacang-kacang di dalamnya naik turun, terlempar sedikit, saling bertabrakan.
“Aaaaakhhh! Pelan-pelan dong!! Aku baru patah kulit kemrin!” teriak kacang kecil.
“Wes, sabar! Kita mau pergi dari ladang! Ini petualagan kita dimulai!” sahut kacang yang lebih optimis.
Di luar, Juragan kembali memeriksa.
“Panené apik tahun iki,” katanya pelan.
Tapi ia tidak pernah menyadari bahwa panen kali ini berbeda. Ada kehidupan lain yang ikut bangkit. Ada kisah yang baru saja dimulai.
Dan kacang-kacang itu… baru merasakan satu hal:
Dunia ini besar. Dan mereka akhirnya bebas.