part 4

736 Words
Hujan turun semakin deras saat kapal barang yang dikuasai Ezra melaju di tengah Sungai Mahakam. Lampu-lampu dek berkelap-kelip, menerangi wajah Haily yang serius mengawasi radar kecil di kemudi. Haily : “Ada sesuatu di depan… jaraknya sekitar lima ratus meter.” Ezra : “Apa itu?” Haily : “Tidak tahu… tapi bergerak.” Ezra meninggalkan kemudi, berjalan ke haluan kapal. Angin kencang membuat air sungai memercik ke wajahnya. Dari balik tirai hujan, ia mulai melihat siluet beberapa perahu kecil membentuk setengah lingkaran, menghadang jalur mereka. Tiba-tiba, suara peluit nyaring terdengar. Dari perahu-perahu itu, pria-pria bersenjata mulai menembak. Peluru menghantam badan kapal, memercikkan serpihan besi. Ezra berlari kembali ke kemudi. Ezra : “Pegang kemudi! Aku akan mengurus mereka!” Ia meraih senapan serbu, lalu berlari ke dek samping. Menyandarkan tubuhnya pada pagar besi, ia membidik salah satu penembak di perahu dan melepaskan tembakan — pria itu jatuh ke air, terbawa arus deras. Namun saat ia bersiap menembak lagi, terdengar THUNK dari bawah kapal… diikuti bunyi BEEP berulang. Haily : “Ezra!! Mereka pasang ranjau tempel di lambung kapal!” Waktu terasa melambat. Ezra melompat ke sisi kapal, memegang tali pengaman, dan menuruni sisi licin itu. Dengan satu tangan, ia meraih ranjau magnetik berlampu merah yang menempel di badan kapal. Hujan membuat pegangan hampir terlepas. Haily : “Cepat! 10 detik lagi!” Ezra : “Diamlah dan fokus kemudi!” Ia mencabut alat penonaktif yang diselipkan di sabuknya, menempelkannya ke ranjau. Lampu merah berubah jadi hijau tepat di detik terakhir. Belum sempat menarik napas, Ezra mendengar teriakan dari belakang. Salah satu perahu berhasil merapat, dan tiga pria bersenjata naik ke dek. Pertarungan jarak dekat tak terelakkan. Pukulan, tendangan, dan tebasan pisau saling beradu. Ezra berhasil menjatuhkan dua lawan, tapi yang terakhir mendorongnya ke arah pagar kapal. Tubuhnya hampir jatuh ke sungai deras yang bisa menyeretnya ke kematian. Haily berteriak, melemparkan pisau lipat ke arahnya. Ezra menangkapnya di udara, lalu menancapkannya ke leher lawan. Tubuh pria itu terkulai, jatuh ke air. Kapal mereka akhirnya berhasil melewati pengepungan perahu. Nafas Ezra terengah, darah bercampur air hujan menetes di dek. Haily : “Kau baik-baik saja?” Ezra : “Tidak. Tapi kita masih hidup. Dan itu cukup.” Di depan, sungai mulai menyempit, mengarah ke sebuah dermaga kayu tua yang samar-samar terlihat di balik kabut. Ezra : “Kita sudah dekat… siap untuk masuk ke sarang naga.” Dermaga kayu tua itu berderit ketika kapal barang mereka merapat. Kabut tebal menggantung di atas air, menutupi pandangan ke hutan lebat di belakangnya. Ezra melompat ke darat lebih dulu, pistol di tangan, matanya menyapu sekeliling. Haily mengikuti, menutup kepala dengan tudung jaket, sambil membawa tas peralatan. Haily : “Tempat ini seperti ditinggalkan…” Ezra :“Tempat yang terlihat mati biasanya paling berbahaya.” Mereka bergerak melewati gudang kecil yang setengah runtuh. Di dalamnya, bau oli dan peluru bekas bercampur dengan aroma tanah basah. Rak-rak kosong berjejer, tapi di ujung ruangan ada pintu besi yang baru dicat. Ezra merunduk di samping pintu, mendengarkan. Tidak ada suara. Perlahan, ia mendorongnya terbuka… Tiba-tiba, sebuah suara familiar terdengar dari kegelapan. “Kau terlambat, Ezra” Lampu di langit-langit menyala, memperlihatkan sosok tinggi besar berambut cepak, memakai rompi taktis hitam. Wajahnya penuh bekas luka, tapi mata itu—mata dingin dan penuh perhitungan—tak mungkin salah. Feri Ginanjar Mantan partner Ezra di tim operasi khusus. Dulu, mereka berdua menjalani misi berbahaya bersama, saling menyelamatkan nyawa lebih dari sekali. Ezra : “Kupikir kau mati di Aleppo.” Feri : “Aku memang mati… sampai mereka memberiku alasan untuk hidup lagi.” Ia menoleh, dan dari bayangan muncullah belasan pria bersenjata, mengelilingi Ezra dan Haily. Ezra : “Kau bekerja untuk mereka sekarang?” Feri : “Tidak. Aku menjadi mereka.” Feri melangkah maju, jarak hanya beberapa meter dari Ezra. Feri : “Kau tak mengerti, Ezra. Kita dilatih untuk membunuh demi negara, tapi negara itu sendiri membuang kita. Di sini… aku yang mengatur permainan.” Ezra : “Kalau begitu, permainan ini berakhir sekarang.” Ezra bergerak cepat, menembak lampu di langit-langit. Ruangan gelap gulita. Dalam kekacauan, ia menarik Haily ke belakang rak-rak besi, peluru beterbangan di udara. Di tengah gelap, suara Feri terdengar lagi, dingin dan datar. Feri : “Tak peduli seberapa jauh kau lari, Ezra… aku akan selalu lebih cepat.” Ezra tahu pertemuan ini bukan akhir — ini hanya pembukaan dari duel yang tak terhindarkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD