Chapter 15

901 Words
Semenjak perdebatan mereka di ruangan kerja yang menegaskan bahwa Dave memang sosok pencemburu akut akan kepemilikannya, Karyna menjadi lebih memerhatikan penampilannya. Jika biasanya Karyna tidak akan peduli pada apa yang akan orang lain lihat padanya, maka sekarang dia perlu menimang dengan sangat. Ada kecemburuan Dave yang bisa merusak suasana tiba-tiba dan Karyna tak mau kejadian semacam itu terulang. Namun, Karyna memberi garis bawah untuk prosesi pernikahan yang akan segera berlangsung. "Kita perlu bicara, Pak." Masih ditampung di rumah pria mapan itu, Karyna mengenakan baju tidurnya dan berdiri menunggu jawaban dari Dave yang mencari tontonan asik melalui televisi kabelnya. "Bicara soal apa?" balas pria itu tanpa menoleh. "Pernikahan kita yang menunggu hitungan hari." Dave langsung mematikan televisinya. Mendongak kepada Karyna yang masih setia berdiri. "Duduk. Supaya bicaranya lebih tenang." Karyna menurutinya. Seperti karyawan bukan calon istri, momen kaku antara keduanya masih saja terasa. "Kamu mau bicara apa mengenai hari pernikahan kita?" Ini lebih terdengar seperti pembicaraan antar bisnis, bukan hubungan yang mengandalkan intimasi pasangan. "Apa bapak sudah membayarkan hutang ayah saya?" tanya Karyna, mulanya. Ini topik pertama. Hutang yang memang harus digenapi untuk mengambil Karyna menjadi ibu dari anak-anaknya. "Kamu tahu jawabannya. Bukannya ayahmu tidak mengirimi pesan lagi?" Benar. Karyna memang sudah tahu jawaban pastinya. Sebab nomor bernama hutang sudah tidak pernah menghubunginya menjelang hari pernikahan. "Lalu, bapak apakan ayah saya bisa diam begitu saja tanpa merusuh meminta uang pada bapak?" Untuk bagian ini, Karyna sejujurnya juga bisa menebak. Dave bukan pria sembarangan yang akan menjadi suaminya. Dave lebih berbahaya jika bukan orang terdekatnya yang memahami. "Saya kirim mereka ke pemukiman yang jauh. Dia mendapatkan rumah, fasilitas lengkap, kebun untuk digarap—itupun jika ayah dan ibumu mau—dan apa lagi?" Dave berlagak berpikir. "Semuanya sudah saya penuhi. Tergantung apakah mereka membuat ulah atai tidak. Jika tidak, mudah saja semuanya berjalan seperti mereka adalah pasangan yang hidup berdua dengan kekayaan dari anaknya. Tapi kalau mereka berulah... saya pastikan mereka tidak baik-baik saja." Dave bisa melihat sedikit perubahan di wajah calon istrinya. Meski sebentar, tapi pria itu tahu Karyna memikirkan banyak kemungkinan terburuk. "Kamu keberatan jika mereka mendapatkan hukuman?" tanya Dave mencoba mengorek jawaban. "Saya nggak tahu jawaban untuk hal itu, Pak." Dave mengernyit. "Kenapa nggak tahu?" Bisa terdengar embus napas lelah Karyna. "Seburuk apapun mereka, saya tetap menjadi sepantas ini untuk kategori istri bapak karena usaha mereka. Bukannya saya ingin bersikap naif. Tapi memang begitu adanya. Saya tahu bahwa semua hutang ayah saya membebani, tapi mereka mengurus saya untuk menumbuhkan harapan agar saya bisa menjadi pihak yang bisa mereka andalkan untuk membayar semua hutang mereka." Dave berdiri, melangkah mendekati Karyna yang duduk di kursi seberangnya. Pria itu mengambil posisi tepat disisi Karyna, mengecup bahu telanjang perempuan itu sebelum berbisik. "Untuk ibumu, saya masih bisa maklum. Tapi untuk ayahmu... dia keterlaluan." Sukses saja bisikkan itu membuat Karyna menatap Dave sepenuhnya. Jarak wajah mereka begitu tipis, hingga Karyna bisa merasakan aroma napas pria tersebut. "Kenapa bapak bisa bicara ayah saya keterlaluan? Karena sepertinya bapak juga keterlaluan tidak memiliki hati sebagai pria. Kalian, pria, sama saja." Dengan berani Karyna mengucapkannya. Meski begitu, Dave meringis dan terkekeh pelan. Masih berusaha menciumi bahu terbuka Karyna. "Saya nggak seperti ayahmu, Ryn. Mungkin sesama pria memang memiliki tingkat brengseknya masing-masing, tapi saya tahu bagaimana cara menghargai perempuan." "Bapak sering main perempuan," kata Karyna kembali membantah. "Itu dulu. Sebelum saya tetapkan pilihan kepada kamu. Coba lihat belakangan ini? Ketika saya mengatakan pada kamu untuk menjadi ibu dari anak-anak saya, saat itu juga saya tidak melirik perempuan lain." "Kenapa?" Dengan cepat Karyna membalasnya. "Kenapa? Apa maksud kamu?" "Kenapa bapak tidak melihat perempuan lain?" Dave tidak langsung menjawab, dia sentuh pipi Karyna dengan jemarinya dan mencium bahu perempuan itu sampai terdengar bunyi yang biasanya hanya Karyna dapatkan ketika Dave mencium perutnya ke bawah. "Jawabannya jelas, Ryn. Karena saya tahu kamu adalah potensi perempuan cantik, menarik dan cerdas yang saya miliki. Utuh, untuk saya saja. Berbeda dengan wanita lain, yang mungkin saja tidak benar-benar menginginkan kecantikan serta daya tarik mereka hanya untuk saya. Jadi, kenapa saya perlu melirik lainnya? Jika saya bisa memanfaatkan potensi kamu sebagai milik saya seutuhnya?" Karyna menyelami mata pria itu ketika tatap mereka bertemu. Seburuk apapun seseorang, akan ada sisi baiknya. Begitu juga sebaliknya. Dave akan meraih wajah Karyna untuk melumat bibir perempuan itu ketika dia berpikir pembicaraan mereka usai, tapi nyatanya Karyna menahan d**a Dave dengan cepat. "Kenapa lagi, Ryn?" "Saya ingin memastikan, Pak." "Apa?!" "Apa bapak akan tetap cemburu saat hari pernikahan kita nanti saya harus memakai pewarna bibir merah?" "Ap—astaga! Kenapa pertanyaanmu aneh sekali, sih?!" Omel Dave yang merasa sudah kehilangan kesempatan mencium dan justru mendapat pertanyaan tidak penting. "Itu nggak penting, Ryn!" "Sangat penting, Pak! Jika saya tidak memastikan bapak bisa saja mengacaukan acara pernikahan kita sendiri." Dave meremas rambutnya, lalu mengusap wajahnya dengan kesal. "Oke, fine. Kamu benar, ini sangat penting. Jawaban saya, kamu boleh memakainya karena itu kebutuhan acara kita juga! Puas??!!" Karyna mengangguk. Lalu, Dave memanfaatkannya lagi untuk mencium perempuan itu. Kali ini memang berhasil, melumat bibir Karyna yang akhirnya sekarang mahir menggerakan dengan ritmenya sendiri ternyata mengasyikkan. Namun, saat Dave merebahkan tubuh Karyna di sofa dan menggigit puncak d**a Karyna dari balik baju tidur tipisnya, gerakan Dave kembali ditahan. "Apa lagi, Karyna!!!??" "Bapak harus puasa. Saya baru datang bulan sejak sore. Biasanya saya rutin mens delapan hari, sedangkan hari- H kita tinggal enam hari. Bapak harus puasa sampai kita resmi." Seketika saja Dave melongo bodoh. Sia-sia saja dia berusaha menggigit p****g Karyna kalau begitu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD