bc

Bibir Mer

book_age18+
237
FOLLOW
1.4K
READ
spy/agent
independent
versatile
tragedy
bxg
female lead
city
whodunnit
weak to strong
victim
like
intro-logo
Blurb

Siapa yang tahan sama pedesnya kata-kata Mer? nggak ada. Semua penghuni rusunawa itu memilih melipir, tak berurusan sama perempuan gendeng satu itu. Pak De' yang dihormati di rusun itu pun lebih memilih tak ikut campur. Tobat. Orang tua itu tak mau ban mobilnya terus dikerjai tiap hari.

Tak ada yang tahu bibir pedas Mer sebagai kamuflase dan distraksi dari rasa sakit hati yang mendera.

Cover by : Adrian A. Prabaswara

chap-preview
Free preview
1. bisik-bisik
Untuk apa aku dilahirkan Bila bersamaku akan ada lara yang turut dilahirkan Untuk apa aku dihadirkan Bila di sampingku tongkat malaikat pencabut nyawa menyalibku Untuk apa aku diinginkan Bila ternyata aku ditampik jadi momok berduri yang mengecewakan Untuk apa aku diselamatkan Bila di penghujung lahirku aku berakhir nestapa Aku hanyalah buih egois semata Aku hanyalah buah nista yang tak berongga Aku hanyalah busa bilasan dosa-dosa Dan aku hanyalah si buruk rupa Mer | | Petir menyambar-nyambar, sore itu hujan deras sekali. Seorang gadis kecil merutuk dalam hati menyesali kealpaannya membawa payung, padahal tadi ibunya sudah mengingatkan. Tinggal beberapa puluh meter lagi menuju rumah, ia membayangkan nasi panas dan jeroan ikan pemberian Mak Salamah, tetangga mereka yang berjualan ikan di pasar. Langkahnya menjejak jalanan becek yang  tak ia hiraukan sama sekali. Karena besok hari Minggu, sekalian akan ia cuci sepatunya besok subuh. Namun, tinggal beberapa meter lagi, tangan gadis kecil itu ditarik seseorang menjauh dari rumahnya. Saat akan berteriak, mulutnya dibekap. Tangan dan kakinya meronta. Menjambak dan menendang ke segala arah. Kini ia menyesal tak mengikuti ekstrakurikuler pencak silat seperti arahan wali kelasnya, Bu Ayumi. Orang itu terus menariknya semakin jauh. Tangan gadis itu melambai seolah meminta pertolongan, berharap ada seseorang yang lewat atau melihatnya. Namun jalanan sore itu tetap sunyi, pintu-pintu tertutup rapat. Tak ada seorang pun berlalu-lalang saat hujan deras seperti ini. Hatinya mencelos putus asa, tapi ia tetap berdoa, mohon pertolongan Tuhan, semoga sudi mengirimkan malaikat-Nya ke bumi. Ia dibawa ke dalam bangunan kosong,  yang kotor dan bocor di mana-mana. Ia hampir mati lemas karena bekapan  tangan laki-laki itu. Mulai dirasakannya sentuhan demi sentuhan di atas tubuhnya dan itu membuatnya tak nyaman. Setengah sadar dengan sisa tenaga yang masih ia punya, gadis itu meronta, menendang dan hampir berteriak kalau saja si lelaki itu tidak segera membungkamnya dengan mulutnya yang membuat ia mual. "TIDAAKKK!" Mer terbangun. Lagi-lagi ia bermimpi yang sama. Sudah sepuluh tahun, tapi tetap saja mimpi itu menghantuinya. Menyebalkan! Keringat yang membasahi kening dan lehernya, segera ia seka. Mengambil sebatang permen loli, lalu keluar, duduk dibangku yang ada di loteng sempit itu. Angin dingin pagi menusuk rusuk dari celah kaos kutungnya. Bulu roma pada  paha dan betisnya berdiri karena Mer hanya memakai hot pant. Arah pandangnya jatuh ke gerobak bubur ayam Sanusi yang nongkrong di bawah, di depan kosan Gerhana, sahabatnya. Perutnya menjerit. Dirogohnya saku jaket yang tersampir di paku dekat pintu. Lima ribu? Mer mendengkus, teringat kejadian tempo hari yang memaksanya mengungsi sementara waktu. Rasa kesal hari itu membumbung kembali membuat kedua tangannya mengepal. "Bapak j*****m!" Membayang lagi bagaimana perlakuan Suroso pada istrinya, Martinah. Berpindah-pindah demi menghindari lelaki tak tahu diri itu, tetap saja mereka ditemukan. Apa harus mereka pindah alam saja? Siapa tahu bapak tirinya yang pemabuk dan penjudi itu juga ikut pindah dan di masukkan ke dalam penjara neraka. Mer tentu akan bahagia sekali. Terdengar siulan dan suara tawa cekikikan dari arah bawah. Oh, sahabatnya sudah pulang. Kalau beruntung, Hana biasanya pulang membawa buah tangan. Beberapa suara lelaki menggoda Hana dan seperti biasanya perempuan itu membalas ala kadarnya. Satu atau dua kecup mereka dapatkan dari sang primadona. Mer meringis. Kepalanya melongok ke bawah, memastikan Hana baik-baik saja. Perempuan itu sudah lelah, kalau bisa tak usahlah disambung kerja rodi plus-plus juga di kosan. Seketika Mer ingin marah. "Woy! Bang***, kalo lo belum bekel kon*** jangan pernah ajak main. Muke gile! Gue laporin bini lo, nyaho lo!" teriaknya dari atas balkon loteng. "An***! Ada pawangnya. Awas lo ye, gue santet." Lelaki di bawah sana melotot sambil mengacungkan kepalan tangannya. "Ngemeng mulu, buktinya tuh santet nggak sampe-sampe. Salah alamat kali, udah dikasih kode pos belum? Atau yang lo sambangi itu dukun beranak? Ogeb dipiara!" selorohnya sambil berkacak pinggang. Terdengar lagi umpatan serta sumpah-serapah yang sudah biasa ia dengar dari lelaki itu yang sudah pergi menjauh. Mer menanggapinya dengan kekehan panjang. Lumayan ada hiburan kala perutnya lapar. "Bawa apaan, Na?" sambut Mer begitu Hana tiba di atas. "Cuma dim sum," sahut Hana, meletakkan sepaket dim sum yang sudah dingin di atas piring. Lalu mereka duduk bersila di atas karpet yang sudah kumal itu. "Lo dapet tamu aneh lagi?" selidiknya saat ekor matanya menyambar memar merah di bahunya. Hana tersenyum,"Syukur aja gue nggak mati juga." "Lo ingkar mulu, Na. Kapan coba lo keluar dari neraka ini?" dengkus Mer sewot. "Ntar, kalo lo atau gue udah kaya." "Basi! Kapan kayanya kalo kita dicekik terus? Atau lo cari kerjaan lain deh, gue bantu." Hana menatap Mer serius,"Lo pasti semaleman nggak makan ya? Udah gue bilang, kasbon aja dulu ke si Noni. Ntar gue bayar," "Ah, kebiasaan lo." "Mer, lo harus sehat." Hana menyentuh perut Mer. "Ck, iye. Gue nggak bakal mati duluan sebelum gue dapetin orang itu, Na. Tenang aja," ujar Mer. "Sok tangguh lo. Cepet makan. Lo ada duit?" Hana menyuapi Mer siomay kekinian itu. Gadis itu menggeleng,"Tinggal lima ribu. Setan itu ngerampok gue. Gue kadang nggak ngerti jalan pikiran nyokap. Sampah kayak gitu masih aja di ais-ais," "Karena cinta," "T** kucing tuh cinta! Toxic iya, racun idup tuh!" semburnya. Hana kembali menyuapi Mer, menatap lekat gadis yang entah satu atau dua tahun lebih tua darinya itu.  Lalu senyum terbit di keduanya. "Bukannya lo kerja di cafe Alford?" tanya Hana. "Gegara si seme itu tuh pake bawa-bawa temennya, ketahuan dia bawa pil biru.  Ya si Alf kena, ditatar dia di kantor polisi. Nggak tahu abis berapa dia dipalak," cerocos Mer. Mer memang seperti itu. Yang nanya cuma berapa kalimat, dia jawab berapa bait. "Paling dia pake orang dalem biar bebas kayak biasanya. Duit berkuasa, Sist. Apa pun asal lo punya duit, setan pun berubah jadi malaikat." Mer tergelak dengan enaknya hingga matanya berair. Hana menggeleng, kadang ia tak habis pikir dengan cara hidup sahabatnya itu. Hidup blangsak, kerja serabutan, jadi barista, kadang nyambi jadi juru ketik di kelurahan, itu pun karena Pak De', penggede di rusunawa di mana keluarga Mer tinggal. Atau jadi sopir di pool tabung gas milik orangtua Alford. Apa pun akan Mer lakukan untuk keluarga kecilnya. Demi Ibu dan tiga adiknya. Sebersit bangga menghangatkan hati Hana. Andai dirinya bisa setangguh dan sepongah Mer. Namun dia bukanlah Mer... ° Berkali-kali Mer melirik jam tangannya. Hampir jam makan siang. Namun orang yang ditunggunya tak kunjung muncul. Ia tahu ini bukan kebiasaan Jayusman, tapi ini menurutnya sudah keterlaluan. Dua jam dia menunggu di kantor polisi! Gegabah banget! "Pacarnya Jayus?" Mer mengerjap saat seorang perwira mendekat dan menanyainya. "Adek ketemu gede," sambar Jayusman tiba-tiba. Cowok gondrong berjambang itu mengacungkan dua jarinya, sign peace. Mer merotasi bola matanya. "Gue sampe lumutan, tahu?" bisik Mer sambil menarik Jayusman menjauh. "Sori. Di kantor sibuk," "Halah, basi! Nih, sesuai janji." Mer memberikan sebuah amplop. "Emang udah dapet? Cepet banget, hebat lo." Jayusman mengusak kepala Mer. "Berantakan nih," "Lo ikut magang aja sama gue. Mau? Ya, sambil nunggu cafe Alf buka lagi." "Tapi kan gue butuh duit cepet, Jay." "Semua juga gitu, Mer. Butuh cepet," Jayusman lalu mengalungkan name tag di leher Mer. "Eh, ini apaan?" "Simpen itu, siapa tahu lo butuh ntar buat nemuin gue. Oya, nih buat jajan. Gue kelarin tugas ya? Udah ini lo jangan kelayapan, musim razia!" kekehnya sambil berlalu masuk ke dalam kantor polisi yang memang orang-orangnya sudah Jayusman kenal dengan baik. Mer membalas lambaian Jayusman. Lalu melesakkan amplop putih itu ke saku bagian dalam jaketnya. Jangan kira, di tempat itu banyak sekali mata dan telinga. Bisa saja Mer jadi incaran polisi itu andai mereka tahu siapa dia. Dengan langkah ringan dia keluar dari pintu kecil pagar portal tersebut. Lalu menyetop sebuah angkot yang lewat di depannya. Kalau ada duit Mer ingin membeli motor, tapi bukan itu kebutuhannya sekarang. Kebutuhannya adalah jauh dari pria breng*** selayak lintah darat yang menghisap keringat serta darah ibu dan dirinya. Andai ada duit lebih, inginnya menyewa malaikat pencabut nyawa untuk mengirim bapak tirinya itu ke neraka. Namun boro-boro untuk hal sepenting itu, untuk makan dan uang sangu ketiga adiknya saja, dia harus kesana-kemari, kerja ini-itu, dan akan baru terkumpul setelah hari mulai gelap. Hari ini dia berniat pulang, sekadar menengok Ibu, Dika, Desta dan Diva. Oya, beberapa waktu lalu Dika bilang dia membutuhkan uang untuk ngeprint. Dika masih SMP kelas delapan. Beruntungnya Mer mengurus surat keterangan tidak mampu dan kartu-kartu ajaib lainnya, agar adik-adiknya bisa leluasa sekolah  dan hidup. Lumayan, bisa mengurangi beban hidup dan belanja.  Untunglah oksigen masih gratis. Tak terbayang bila oksigen saja kita harus membeli. Apalagi kehidupan serba keras di kota besar macam Jakarta. Ibu kota yang laku keras, mengundang laron-laron tak berbatas bak lampu indah menawan. Turun dari angkot, matahari makin menyengat kulitnya yang tak pernah terkena krim sunblok atau apa pun itu. Sebelah tangannya menenteng belanjaan sembako dan sebelahnya lagi makanan siap saji berlogo dua ayam jago. Baru menginjakkan kakinya di gerbang rusun, seperti biasa langsung ia bisa mendengar bisik-bisik dari para penghuninya. Celotehan anak-anak, tangisan bayi, suara pasangan dari Minang Ramona dan Ramadan yang saling menyahut, genjrengan gitar si Ben, sapaan ramah Pak De', dan sindiran jutek Mbak Dora. Semua terdengar begitu biasa. Saking seringnya Mer mendengarnya, jadi seperti kaset rusak yang diputar berulang kali setiap kali ia pulang ke rusun. Ini toxic yang sebenarnya. Sungguh menyebalkan! Benar-benar menyebalkan! Sampai di lantai tiga. Lantai dimana ibu dan ketiga adiknya tinggal. Ingin yang lebih murah, Mer harus bersiap dengan resiko betis ala abang-abang becak. Tak mungkinlah ia menyiksa ibunya. Dengan negosiasi yang cukup alot dengan Pak De', selaku sesepuh rusun dan orang yang dipercaya pengelola rusun, akhirnya ia bisa tinggal di lantai tiga. Nanti setelah ada duit, Mer janji akan pindah ke lantai dasar. Di sana ruangannya cukup adem dan besar. Ada harga ada kualitas. Benar kan? Pintu unitnya terbuka, suara cempreng Spongebob dari televisi yang menyala, tanda adiknya sudah pulang. Namun, ketika ia masuk seketika ia disergap pilu. Ibu dan Dika yang babak belur. Dua tangannya mengepal. "Di mana si babi hutan itu?!" |

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Love Match (Indonesia)

read
173.4K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.5K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.7K
bc

Ay Lub Yu, BOS! (Spin Off MY EX BOSS)

read
263.8K
bc

Pesona Mantan Istri Presdir

read
14.3K
bc

KUBELI KESOMBONGAN IPARKU

read
46.1K
bc

Pengganti

read
301.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook