|
Mer mendesah resah. Ini bukan kali pertama ia ribut dengan ibunya. Setiap kali ia melontarkan cacian dan hujatan nama binatang pada sosok lelaki itu, yang seharusnya ia panggil Bapak, tapi bersikap tak layak sebagaimana seorang bapak.
"Gimana pun dia bapakmu, Mer." Martinah selalu menyanggah segala argumen Mer tentang bapak tirinya itu.
"Bukan! Dia bapak tiriku, Bu. Bapak. Tiri! Lagian Ibu dapet laki macem dia di mana Bu?"
"Lancang kamu, Mer!"
"Kenapa sih kalo anak ngomong soal kebenaran selalu dibilang lancang? Selama kita benar kenapa takut, Bu? Bapak udah nggak bisa diselametin. Terserah Ibu aja kalo masih mau ngurusin parasit model dia. Tahu-tahu kita udah jadi tengkorak aja," papar Mer.
"Bibirmu, Mer."
"Kenapa? Kenapa ibu betah nyiksa diri? Padahal ibu masih bisa bahagia walau nggak bareng Bapak. Ada aku dan adek-adek yang bakal ngurus Ibu," sahut Mer tak mau kalah.
"Bapak udah ngasih apa buat kita, Bu selain penderitaan dan rasa sakit?" racau Mer.
"Dia pulang cuma minta duit, pulang mabuk, atau cuma nidurin Ibu sebagai pelampiasan hasrat ego sesaat kala dia sendiri nggak bisa beli p***n loak di luaran sana. Berhenti jadi perempuan bodoh! Pintarlah untuk anak-anakmu sendiri," Mer makin menjadi.
Perempuan yang usianya hampir mendekati separuh abad itu tergugu menyudut di tepi ranjang. Sebelumnya Mer menyuruh Dika membawa adik-adiknya keluar.
"Semakin kamu keras kepala dan bersikap kayak gini ke Bapak maka dia akan membalas dua kali lipat dari yang dia dapatkan. Ibu cuma nggak mau kalian jadi korban amukan Bapak," Martinah masih mengisakkan tangisnya.
"Dulu sampai sekarang Bapak nggak berubah, Bu. Bapak tetap jadi parasit, enak kalo jadi jamur bisa kita makan. Lah ini? Hidupnya terlalu drama," Mer mengambil sprei baru dari lemari.
Dia tak suka aroma Bapak yang masih tertinggal di kamarnya, yang notabene kamar adik-adiknya. Mer tahu pasti Suroso mencari-cari benda berharga miliknya. Mer kapok menyimpan uang dan benda-benda mahal di rumah. Karena semua akan habis digasak Suroso. Lelaki tak tahu diri itu memang benalu yang sangat dibenci Mer. Padahal dia selalu menyetor uang hasil keringatnya yang ternyata dihabiskan di meja judi atau untuk membeli minuman. Apalagi sejak Suroso kerap main tangan pada Ibu dan adik-adiknya, Mer sudah tak sudi membagi hasil jerih payahnya.
Inilah yang diminta Martinah, pengertian Mer. Martinah ingin anak gadisnya itu menurut saja bila Suroso ikut meminta jatah.
Mer akan usahakan apa pun itu permintaan ibunya atau untuk keperluan adik-adiknya. Tapi tidak untuk Suroso! Haram hukumnya dia memberi apa pun untuk lelaki itu. Dan ya hukuman dari Suroso akhirnya harus Martinah dan anak-anaknya dapatkan.
"Jadi uang belanja udah Ibu kasihkan, biar Bapakmu itu anteng."
Mer memejam, kesal sudah sampai ubun-ubun. Mer tak pernah paham, hati ibunya itu terbuat dari apa? Mudah sekali jatuh iba pada kelakuan Suroso, yang jelas-jelas hanya memanfaatkan dirinya. Yang jelas bodoh dan sabar itu sangatlah berbeda!
"Ibu tahu apa yang udah aku lalui buat dapetin uang itu? Nyawa Bu! Kalo aku mati, aku nggak dapetin uang itu. Aku berusaha biar nggak mati, biar bisa lulusin Dika. Buat adek-adek. Bukan buat dihamburkan di meja judi, apalagi jajan p***n loak!"
Sepintas lalu apa yang dikatakan Mer tentu orang akan berpikir Mer anak yang durhaka. Namun karena mereka tak tahu itulah jadinya kurang respek dan memandang sebelah mata pada gadis pemberani itu.
Demi mendapatkan uang lima juta itu, ia harus berani, memompa adrenalinnya dan tak membiarkan nyalinya ciut melempem. Hampir saja penyamarannya ketahuan saat bos makelar kasus bernama Purnomo itu ternyata cukup jeli pada bawahannya.
"Kamu anak baru ya?" tanyanya.
"I-iya Pak," angguk Mer.
"Sebagai kurir kamu sudah mempertaruhkan hidupmu. Bagus, bagus." Purnomo tertawa lepas dan puas.
"Jangan sampai bocor, apalagi sampai ke tangan wartawan. Bisa berabe saya! Jabatan saya pasti akan dicopot sama presiden berhati kerdil itu."
Mer tak terlalu menanggapi. Toh pesan yang harus ia ingat adalah pesan dari Jayusman, bahwa ia tak boleh banyak bicara dan interaksi dengan orang-orang berbahaya ini.
"Hanya saja bila sampai bocor, nyawamu taruhannya. Paham?"
Mer terbeliak tapi segera tenang kembali,"Ya Pak."
"Kasus ini kasus sempurna, menyeret petinggi dan lobby-lobby mahal lainnya. Jadi jangan kecewakan saya," Purnomo menepuk bahu Mer.
Lalu lelaki tua itu mengulurkan dua buah amplop padanya.
"Lain kali pakai rekening bank, biar aman!" cetusnya.
"Saya malah berpikir itu sangat riskan Pak. Kecuali saya punya rekening di Bank Swiss," sahut Mer.
Purnomo terbahak,"Ya, ya... Kamu memang cerdas."
"Ya sudah, pergilah. Info itu penting. Ingat! Jangan coba-coba untuk membelot," kata Purnomo.
"Iya Pak." Mer mundur dan berlalu dari hadapan Purnomo.
Tanpa sepengetahuan Purnomo, gadis itu masih berdiam diri di balik pintu guna merekam semua perbincangan lelaki beruban itu dengan orang yang saat ini tengah dihubunginya.
"Info masuk. Kasus ilegal logging dan percobaan pembunuhan Bu Samantha akan tercover,"
"Ya, siap Pak. Darwis Santoso akan segera habis, tinggal tunggu waktu Pak."
Mer mengernyit, Darwis Santoso? Nama itu terdengar familiar di telinganya. Namun ia harus segera pergi kalau tak ingin terlibat dan ketahuan Purnomo. Lagi pula ini misi terakhirnya. Karena ia sudah terlalu lama wara-wiri di dunia per-kurir-an berbahaya itu.
"Bukannya kamu dekat sama si boss tabung itu, Mer? Ibu nggak enak sama tetangga, mereka suka nanya ini itu." Martinah melipat sarung dan selimut yang berserakan. Mer terhalau dari ingatannya tentang pekerjaan yang menyerempet maut tersebut.
"Jawab aja nggak tahu. Atau cukup diam," sahut Mer.
"Kalo jadi simpanan orang ya harusnya kamu bisa lebih pinter, pinter nyenengin, pinter bawa diri agar terus disayang. Kan kalo disayang kehidupan kita pasti berubah, Nduk."
Mer mendengkus, melorot sudah rasa kangennya pada keluarga. Tadinya dia ingin menghabiskan waktu bersama adik-adik dan ibunya. Namun ternyata dia yang malah dapat sambutan yang membuat hati miris karena gerimis. Teganya sang Ibu demi kehidupan berubah lebih baik, ia memilih menukar anak gadisnya. Namun Mer tak bisa menyalahkan Martinah begitu saja. Martinah seperti itu karena perlakuan nasib, dan orang-orang di sekitarnya. Martinah cuma korban dari kesulitan hidup. Begitu pun dirinya juga adik-adiknya merupakan korban dari bagian kesulitan hidup Martinah dan Suroso.
Mer tersenyum getir, ia menyambar jaket dan tas selempangnya.
"Harus ya, dandan senorak itu?" Martinah menilik raut anaknya.
"Lipstik itu jangan terlalu tebal. Laki-laki nggak suka, tipis saja tapi bikin ketagihan," imbuh Martinah.
"Ya, bukannya dandan ngedatengin duit? Ibu pengen aku kayak Hana kan?" tajam mata Mer menatap ibunya.
"Kalo kerja kayak dia ya jangan, cari penyakit! Tapi kalo kamu cantik atau pinter senggaknya ada orang yang mau sama kamu, minimalnya liat wajahmu, bukan d**a kamu yang rata begitu."
"Ibu!"
Segala d**a yang jadi perdebatan dua perempuan beda generasi itu. Mer tahu kalau ibunya itu bermaksud agar dia tidak terlalu memikirkan nasibnya dan adik-adiknya. Kadang solusi yang perempuan tua itu lakukan hanya dengan mengimbangi omelan gadisnya agar dia masih terjaga dalam kewarasan. Dia tak ingin ikut-ikutan gila seperti suami atau pun penghuni rusun. Dengan bicara sarkas setidaknya ia masih bisa menunjukkan sisi kemanusiaannya sebagai ibu. Daripada berbibir manis tapi itu cuma perangkap untuk lebih menjerumuskan dirinya ke dalam lembah hitam.
"Ibu nggak mau bermanis-manis sama kamu tapi malah membuatmu gamang. Cari kebahagiaanmu sendiri, Mer. Jangan terus memikirkan kami. Kamu itu perlu hidup, masih muda, nikmati masa mudamu Nduk. Syukur-syukur kamu cepet dapet jodoh, biar terlepas dari beban harus menghidupi adik-adikmu."
"Lah? Kalo aku pergi, yang bikin Dika jadi dokter siapa nanti?"
"Wealahhh, jadi dokter itu kebagusan buat kita. Emangnya Ibu kamu ini bodoh apa? Ibu tahu berapa puluh juta yang harus kita bayar ke kampus. Nggak usah ngeyel. Cari orang kaya, kawin. Udah!" sungut Martinah.
Kembali Mer tertegun. Dia merasa kalah. Kalah oleh keadaan, kalah oleh nasib, kalah oleh omelan Martinah yang menusuk.
"Tapi uang dan kaya bukan segalanya, Bu."
"Kamu cari cinta? Cinta ada di tong sampah!" sarkas Martinah.
*
Mer kembali ke kosan Hana. Baru sampai pintu, dia melihat sepasang sepatu asing di depannya. Mer mengurut pelipisnya, mendadak sakit kepalanya. Dia tak pernah setuju sahabatnya itu menerima tamu di kosan. Selain risih, dia tak ingin traumanya muncul kembali.
Mer tak mungkin menunggu karena pasangan itu pastinya akan sampai malam bergumul di sana. Akhirnya Mer menyeret langkahnya keluar. Dia tak suka jalan tanpa arah tujuan. Dia lalu menelpon sahabat lainnya.
"Alf? Di mana?"
"Oh, oke." Setelahnya dimasukan lagi ponselnya ke dalam tas.
"Hei, pacar lo ada?"
Mer menatap lelaki kribo, wajah bercodet, dan bergelang bahar tersebut. Hana pernah cerita tentang orang ini. Dia anak buah Markus, mucikari Hana.
"Ada. Lagi tidur dia," sahut Mer datar.
"Panggilin! Bos nunggu di depan,"
"Bos Markus?"
"Ya siapa lagi?"
Gawat! Kalo Bos Markus tahu Hana nerima tamu di kosan, habis tuh anak!
"Ya udah, tunggu di situ." Mer kembali masuk, gegas naik ke kamar mereka. Mer tak peduli pasangan itu tengah mendesah ruah atau berganti posisi.
"Mer!" pekik Hana.
"Lo di tunggu Markus di depan, si Kribo jemput di bawah tuh."
Mer melengos begitu lelaki itu menutupi tubuhnya dengan selimut. Dan Hana langsung berlari ke kamar mandi.
Mer berkacak pinggang dengan tubuh masih memunggungi lelaki tadi.
"Jangan pernah pake Hana di kosan. Gue nggak suka! Kalo nggak ada duit, nggak usah nge-sok!" cetusnya jutek.
"Aku sayang Hana," balas lelaki itu.
"Boleh ketawa nggak? Hahaha... Kalo bener lo sayang, lo nggak bakal pake dia, t***l! Kalian makhluk berekor emang nggak tahu diri!"debasnya sambil turun.
"Sebentar lagi dia turun, lagi mandi." Mer lewat begitu saja, tapi tiba-tiba si Kribo ini mencekal lengannya kuat.
"Ada siapa lagi di atas?" tanyanya curiga.
"Pacar cowok gue lagi tidur. Habis enak-enak kita," jawab Mer sekenanya.
Si Kribo menatap nyalang,"Bukan tamu kan?"
"Bang, elo pernah main 1 lawan 2 nggak? Nah itu dia, ngerti kan?" Mer menaik-turunkan kedua alisnya.
Si Kribo berdecih tak suka. Mer terbahak. Baginya untung kalau anak buah Markus yang super galak dan kejam bahkan melebihi bosnya itu tak menaruh minat padanya. Toh gadis itu pun tak sudi tubuhnya dijamah lelaki beringas, buas dan kejam macam Si Kribo. Yang selamat dari dari jamahan monster satu ini hanyalah mereka berdua. Mer dan Hana. Tak ada satu pun perempuan penjaja nafsu yang mampu meladeni Si Kribo. Dia bukan manusia. Dia monster semacam hell boy yang didatangkan Markus untuk menyiksa para budaknya.
Beruntung, Hana turun hingga Si Kribo tidak menanam rasa curiga lebih dalam lagi. Sorotnya tajam memindai Hana dari atas kepala sampai kaki. Markus memang tak membutuhkan anjing pelacak, sepertinya Si Kribo saja sudah cukup.
"Dasar dugong, kayak kebo kalo udah molor!" celoteh Mer untuk meminimalisir rasa curiga lelaki kejam itu.
Hana hanya menyengir,"Ayo. Di mana Bos?"
Mer selama mengenal Hana, belum pernah sekali pun ia bertemu Markus. Dan entah apa yang akan terjadi pada Mer, jika saja gadis itu mengenal Markus.
|