3. Caramel Macchiato

1675 Words
| Alford tidak main-main. Teman dan bisnis adalah dua hal yang berbeda. Soal temannya yang bernama Mer, yang sering membuatnya sakit kepala. Yang sering meminjam uang padanya, yang sering merengek padanya minta jatah libur. Dirinya saja tak pernah liburan. Ini, teman merangkap asistennya di coffee shop miliknya, merengek, memelas minta jatah liburnya. Dan tentu saja dengan banyak alasan. "Libur apa lagi, Merrrr?" Alford yang memang suaranya cempreng itu langsung melotot kesal ke arah gadis berambut sepunggung yang tengah menangkupkan dua tangannya. "Kerjaan gue 'kan banyak, Alf." "Nggak bakal sebanyak gue keleeeesss..." Alford menggulung lengan kemejanya, untuk memulai pekerjaannya. Laki-laki itu cemberut sambil tak berhenti mendumal. Mer tertawa dalam hati. Lagi pula gadis itu memang harus ambil jatah liburnya besok. Dia harus mencari informasi yang diembankan padanya oleh Jayusman. "Lo di suruh ngapain lagi sama si wartawan katrok itu?" usik Alford. "Nggak," kilahnya cepat. Alford menatap tak percaya. Mer pintar bersilat lidah. "Jangan sampe dia nyuruh lo nyerempet bahaya ya? Gue bisa digantung sama bokap kalo lo sampe kenapa-napa!" Alford tegas mengingatkan. Ini harus ia lakukan dengan tegas karena baginya Mer itu pemberontak. "Gampang soal itu mah, gue bisa ngomong sama Om." "Coba aja, gue pecat lo!" "Ancemannya Bro! Pecat trosss..." Lagi-lagi Alford melotot. Untunglah asisten gila dan cerewet itu cuma ada satu. Cuma Mer. Alford tak bisa membayangkan kalau pekerja lainnya sama gilanya dengan Mer. Bisa rugi usaha kafenya. "Tetangga lo masih ribut?" toleh Alford. "Ya gitu deh, toxic society udah mendarah daging sejak dulu kala. Karena berhubungan dengan mitos yang berkembang dalam masyarakat, belum soal taraf pendidikan yang sedikit banyak mempengaruhi. Susah Bro, karena masyarakat itu kayak netizen, selalu benar. Jadi bukan cewek aja ya yang selalu benar," cerocos Mer sambil mengeringkan wadah-wadah yang tadi ia cuci. Alford mengembuskan napas, salah dia bertanya tentang hal itu, pasti akan merepet panjang yang akhirnya akan mengupas issue sosial dan lainnya. "Lo jadi asistennya Mbak Najwa Shihab gih!" cetus Alford. "Siapa itu? Pegawai baru?" Alford merotasi bola matanya. Hampir saja dia melempar saringan kopi ke kepala gadis itu. Lalu terdengar kekehan Mer. "Darah tinggi kumat ntar, Bro. Cukup Mama lo yang sakit," celetuknya. "Modus lo, selalu aja nyambat Mama. Oh iya, Mama nitip makanan buat ntar lo bawa pulang. Lumayan, tuh gue simpen di kulkas." Mer mengacungkan jempolnya,"Gitu dong, Bos itu harus baik sama anak buah. Biar disayang hehehe..." "Sayang jenong lo!" "Jenong gini tuh tanda gue orang pinter, tahu?" "Orang pinter? Mbah dukun?" "Kampret!" Terdengar tawa Alford , senang dia menggoda gadis itu. Di goda seperti apa pun tak akan sakit hati, tapi jangan coba-coba kalian menghina dia, karena mulut pedasnya akan beraksi menyambar telinga kalian sampai memerah. Pernah suatu hari ketika Alford bertandang ke rusun, bermaksud menjemputnya, karena kafe harus buka lebih pagi. Asal muasalnya kafe miliknya itu dijadikan tempat syuting sebuah film. Otomatis membutuhkan tenaga ekstra dan itu tak lain adalah Mer. Siapa lagi yang mau bekerja keras seperti Mer? Alford tak masalah soal bayaran yang akhirnya koceknya harus ia rogoh lebih dalam. Tak apa. Saat itu penghuni rusun langsung rame, ribut, berghibah di depan mata orang yang kita ghibahin. Betul-betul tak punya attitude bersosialisasi! "Pantes ya Bu-Ibu, si Mer tuh pulangnya suka bawa banyak belanjaan, makanannya mahal-mahal ala cafe gitu, eh... Ternyata, mainnya sama koko-koko... " "Kasian emak sama adik-adiknya, hiyy... Dikasih nafkah haram..." "Heh! Masih pagi udah bacot aja! Malu sama ayam, tahu kagak? Ayam udah cari makan, nah elo-elo pada? Udah ghibah pagi-pagi, mending stelan gaya, ini apaan? Orang waras pake tank top ini mah pake beha! Gegayaan, kulit belang-belang gitu dipamerin? Mulus kagak, item iya!" Orang-orang itu langsung kicep! Lalu membubarkan diri. Alford bukannya tak kenal mulut Mer, hanya jarang-jarang dia mendumal sampe nyelekit seperti itu. Alford lebih tak ingin gadis itu terus tersakiti, makanya dia suka menggodanya atau sengaja judesin anak buah. Padahal gadis itu sudah ditawari pekerjaan tetap di kafenya, tapi Mer tak mau dengan alasan dia mau bebas. Dengan bekerja di banyak tempat, dia banyak mengenal tabiat dan karakter orang. Begitu katanya. Mer punya cara jitu untuk menolak secara halus. "Emang Bos Alf berani bayar 10 juta sebulan?" tanyanya saat Alford pernah menawarinya bekerja penuh waktu. "Aje gile! Kira-kira aja, Merrr! Lo pikir gue konglomerat apa?" Alford mengerang lalu melempar lap ke muka Mer yang langsung di tangkap gadis itu. "Hihi... Makanya kalo ntar lo udah kayaan dikit, boleh deh gue kerja tetap. Oke, Bos?" Mer menaik-turunkan kedua alisnya. Sejak itu Alford tak pernah lagi menawari Mer bekerja tetap di tempatnya. Sekali kerja paruh waktu dia bandrol tenaganya 250ribu sampai 500ribu per 4-6 jam. Kira-kira siapa yang mau bayar pekerja paruh waktu sebanyak itu dalam beberapa jam? Pantas orang-orang berpikir negatif tentangnya. "Omong-omong nih, lo baru buka kafe lagi, Bro. Emang lo udah yakin bakal serame kemaren-kemaren? Dibilangin ngeyel sih, si Cece itu suka make pil biru, kagak percaya. Untung bukan lo yang kena!" celotehnya, tapi kedua tangannya masih gesit bekerja menata dan melap toples-toples berisi biji kopi di atas rak itu. "Ye mene ketehe gue kalo die pake! Emang gue emaknye?" suara cempreng Alford mulai meninggi. "Ya makanya kalo gue bilangin ntuh, nurut 'napa Bos? Si Papa uring-uringan tuh, untung ada gue. Kalo kagak, disumpahin jadi Sun Go Kong lo!" "Monyet!" "Lah iya, Sun Go Kong kan monyet. Siapa bilang babi?" Mer menggendikkan bahunya. "Lama-lama ngemeng sama elo bikin gue botak!" "Jangan cemberut! Wajah Park Seo Joon lo ntar lumer... Udah, nggak ganteng lagi!" kikik Mer. "Woy! Park Seo Joon artis Korea, dudul!" bantah Alford. "Oh udah ganti toh? Ya udah Jacky Chen kalo gitu," "Buseeett, aki-aki dah!" sungut Alford Mer tak tahan lagi, dia tertawa terpingkal sambil memegangi perutnya. Mereka berdua daripada terlihat bos dan anak buah, lebih terlihat adik dan kakak. Karena macam Tom dan Jerry. "Awas tuh perut!" "I-iye... hahahaha..." "Keselek lo," Betul saja, Mer langsung terbatuk-batuk. Alford tampak kesal sekaligus kasihan. Dia mengulurkan sebotol air mineral yang tutupnya sudah ia buka. "Bandel dipiara sih," dengkusnya. Mer menyeka mulutnya yang basah. Menutup kembali botol air mineral itu. Masih ada sisa batuk hingga Alford menepuk-nepuk punggung kecil gadis itu. "Lo nggak check-up ya?" tanyanya curiga. "Belom sempet, Bro." "Sempetin elahhh, Papa kasih duit buat berobat lo bukan buat dikasihin ke tukang palak. Heran gue," ceroocos Alford. "Gue kasih buat nombok study tour Dika. Abisan Ibu malah kasihin ke tuh setan belau!" Alford menatap sahabatnya iba tapi tak paham juga dengan kehidupan gadis itu yang dilihatnya masih enjoy saja. "Asli, bokap lo kudu di seret ke penjara!" "Nah itu tahu. Tapi sekali lagi, dia bukan bokap gue ya Bro. Tiri. Bokap ti.ri!" tekan Mer. "Iye! Segitu aja ngambek!" "Harga diri gue merosot punya bokap kayak dia. Dendam gue nggak bakalan terpuaskan, Bro. Entah kalo gue yang mati duluan," cetusnya datar. "Eits! Ngomongin mati, mana ada malaikat maut ngomongin mati diri sendiri?" "Kamprettt!" Kemudian satu per satu pelanggan mulai berdatangan. Hari itu lumayan sibuk, mungkin beberapa pelanggan lama merindukan racikan kopi Alford. Lelaki jangkung dan putih itu tak pernah menyuruh Mer menjadi waiters, tapi terkadang bila sangat-sangat diperlukan, baru Alford mengijinkan. Alford hanya khawatir gadis itu selalu bersinggungan dengan masalah. Alford sudah kenal tabiatnya seperti apa. Tak pelak lelaki itu selalu khawatir karena sifat keras Mer yang tak bisa diganggu gugat. Berbeda sekali saat ia mengenal gadis itu pertama kali. Dengan rambut dikepang dua, wajahnya imut dan sikapnya malu-malu dan sedikit penakut. Seingatnya dulu, gadis itu belum tinggal di rusun tersebut. Tinggal di sebuah rumah petak dekat pasar. Kebetulan Mer kecil selalu membeli minyak tanah ke tokonya. Selain murah, Mama Alford selalu memberikan buah tangan untuk Mer. Jadi Mer suka sekali kalau berbelanja ke toko Alford, meskipun jauh jaraknya. Namun kini, gadis kecil berkepang dua itu berubah menjadi gadis kuat, tangguh, berbibir pedas, berlidah tajam tapi baik hati. Begitu panjang perjalanan perkenalan mereka sebenarnya. Maka dari itu Alford tak pernah sungkan padanya. Karena gadis itu sudah ia anggap sebagai adiknya, keluarganya. Dan gadis itu tengah meracik satu pesanan pelanggan dengan suka cita, caramel machiato. Sama seperti minuman favoritnya, dulu. Malam merangkak semakin larut, di detik berikutnya, jarum jam menunjuk ke angka 10 dan 12 tepat. Alford mengulurkan cangkir itu tepat ke hadapan gadis itu. Mer tersenyum,"Udah tahu nggak boleh banyak minum kopi gue. Tinggal separo nih," "Ck, lo bikin gue ngerasa bersalah aja, Mer." "Eyy... Nggak maksud, Bro! Udahlah, mana bayaran gue? Sesuai perjanjian ya, lebih dari 6 jam nih. Mana gue lama nungguin sampe anak-anak pulang, ish...ish... Bos macam apa pula kau, Alf?" dumalnya sambil berkacak pinggang. "Iye, nih. Jangan dihambur-hamburin! Pake yang bener," Alford mengulurkan sebuah amplop. "Yaelah, gue make duit mah bener, Bro. Buat belanja, sekolah adek-adek, kebetulan belum bayar listrik nih. Thanks ya Bro?" Mer menepuk-nepukan amplop itu ke keningnya. "Lo pulang ke mana? Ke kosan Hana?" "Hooh," "Hati-hati bawa duit tuh. Dibilangin gue transfer, nggak percayaan amat lo." Alford menyandarkan tubuhnya ke meja pantry. "Ah, ribet. Masa tiap gue butuh gue harus jalan noh ke deket pasar, trauma gue. Ada rumah dulu gue di situ," cetus Mer. Alford mendengkus,"Ya udah, gue anterin." "Duh... Baik banget punya bebeb," Mer mengelus lengan Alford. "Gue cekek lo ya Mer!" Mer terkikik, gadis itu selalu menggodanya, hanya menggoda saja, tak pernah serius, tapi tak pernah berhasil tergoda, karena Alford punya Steven yang selalu menyayanginya. "Lo setia-setia amat sih sama Si Steven?" Mer baru beres membereskan meja dan mesin kopi. "Kenapa? Cemburu lo?" "Ih jijay gue, badan berotot suka sajen. No level," Candaan di antara mereka memang sudah tak ada filter dan selama ini mereka baik-baik saja. "Insyaflah wahai manusia... Jika hidupmu bernoda..." "Basi lo!"Alford menoyor kepala Mer. "Jenong gue, Alf! Kalo otak gue kenapa-napa lo tanggung-jawab ya?" telunjuknya mengacung tepat ke wajah lelaki itu. "Makanya jangan sotoy, bahas Steven segala." Alford lalu mengunci kafenya. "Tapi gue serius, Bro. Lo nggak kasian sama Mama?" Mer menatap sahabatnya. Ia tahu sahabatnya itu sangat ingin berubah. Tapi mungkin belum ada jalan terbuka untuknya berubah atau memang lelaki itu sudah jauh tersesat. "Temui Romo Mangun," gumam Mer. Alford mengusak kepala Mer. Lalu mereka berdua berjalan di kegelapan malam, dengan menuntun motornya. Memecah sunyi yang ditingkahi suara-suara malam, yang terkadang mencekam, terkadang lirih juga terkadang penuh derap suka cita. |
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD